Biasanya, saya sangat berhati-hati untuk menuliskan kata "semua" dalam sebuah kalimat. Harus dipikir ulang. Harus melibatkan logika. Apakah benar semuanya. Ataukah hanya sebagian besar tapi tidak semua. Saya tidak ingin keliru.
Semisal untuk konteks kalimat, semua orang senang bila dipuji. Apakah benar begitu? Belum tentu. Ada lho orang yang biasa saja bahkan menganggap pujian itu 'racun' yang melenakan.
Atau juga untuk konteks kalimat, semua pedagang senang bila mendapatkan untung besar. Apakah benar seperti itu?
Belum tentu. Di kampung saya, ada beberapa penjual sayur dan gorengan yang dalam berjualan malah senang berbagi. Meski mendapatkan untung, tapi mereka lebih senang menjaga hubungan baik dengan orang.
Apalagi bila kata semua itu dipakai untuk konteks, semua anak-anak senang belajar dari rumah di masa pandemi seperti sekarang. Tentu saja kata semua itu kurang tepat. Sebab, ada juga anak yang 'tersiksa' selama belajar di rumah.
Pendek kata, dalam menggunakan kata semua itu perlu hati-hati. Akan lebih aman bila memakai kata 'mayoritas', 'ada banyak', 'ratusan atau ribuan' dan sebagainya.
Namun, dalam konteks terdampak wabah Covid-19, penggunaan kata semua sepertinya benar adanya. Rasanya tidak perlu diperdebatkan. Bahwa, semua orang memang terdampak wabah ini.
Dari yang tua hingga anak-anak merasakan dampaknya. Orang kaya apalagi yang kurang mampu, jelas terdampak. Mereka yang tinggal di kota dan di desa, juga kena dampaknya.
Meski, dampak bagi setiap orang bisa berbeda. Ada yang terdampak secara ekonomi karena sulit mendapatkan pemasukan. Bahkan ada yang dirumahkan. Ada yang terdampak secara sosial karena tidak lagi bisa jalan-jalan atau menonton bioskop seperti dulu.
Termasuk, mereka yang mungkin tidak tahu menahu dampak wabah ini, ikut merasakan dampaknya. Semisal Lebaran kemarin, para orang tua di kampung tidak bisa bertemu langsung dengan anak-anaknya karena tidak bisa pulang kampung. Hingga dampak tidak bisa sholat di masjid dan bertemu tetangga seperti dulu.
Bahkan, tidak hanya kita, kucing-kucing yang tidak pernah tahu corona, rapid test, dan uji swab itu apa, pun ikut terdampak oleh wabah ini. Utamanya kucing rumahan yang untuk makan, selama ini hanya mengandalkan pemberian dari pemiliknya.
Karena tuannya merasakan dampak wabah secara ekonomi, jatah makanan untuk mereka pun menjadi berkurang. Tidak lagi seperti dulu. Sebab, anggaran untuk membeli makanannya kucing ikut terpangkas karena harus dialihkan untuk kebutuhan lainnya.
Seperti awal pekan kemarin, tiba-tiba ada kucing yang tidak dikenal, masuk ke halaman rumah. Dia bergabung dengan dua kucing saya selama ini 'tinggal' di rumah saya.
Rupanya, kucing yang kata anak-anak tinggal di rumah tetangga lumayan jauh itu datang ke rumah, berbarengan dengan jadwalnya dua kucing saya 'makan malam'. Karena tidak tega, kami pun ikut mempersilahkan dia ikut makan. Maksudnya, memberi porsi makanan untuknya.
Saya kira, sekali itu saja kucing tetangga itu datang. Ternyata, esoknya kembali lagi. Ya pas di jam makan malam. Ketika dua kucingnya anak-anak makan, kucing berwarna putih hitam itu sudah duduk manis di halaman. Seolah menunggu bagian. Â
Saya tidak paham, mengapa kucing tersebut mendadak ke rumah di masa pandemi ini. Padahal, sebelumnya tidak pernah. Entah, apakah karena ketika malam dia tidak lagi dijatah makan. Sehingga memilih mencari makan ke luar rumah. Ataukah memang dia memang belum puas makan di rumahnya.
Saya lantas mengandaikan, sebelumnya, mungkin kucing-kucing tersebut bercakap-cakap. Semisal kucingnya tetangga tersebut berujar kepada kucing saya, "hei Cero, bagaimana makananmu di rumah, aman-aman saja kah?".
Cero yang bulunya berwarna orens dengan badan sedikit gembul lantas menjawab, "aman-aman saja kok bro. Memangnya kenapa?".
Lantas, kucing tetangga itu kembali berkata: "Di tempatku kalau malam sudah tidak ada makanan, aku boleh ya makan di tempatmu,". Lantas, dijawab Cero: "Monggo, hayuuk ikut".
Jadilah persekongkolan tiga kucing itu berbuah manis. Mereka bisa mendapatkan makanan, tepatnya makan bersama di malam hari. Lantas, bisa tidur malam dengan nyenyak karena perut sudah kenyang.
Â
Akibat konspirasi kucing itu, saya pun ikut terdampak. Pembelian makanannya kucing pun ikut bertambah. Bila biasanya, sebungkus makanan kucing dengan berat 500 gram, lumayan untuk seminggu, kini habis hanya dalam beberapa hari. Â
Saya yang memang ikut merasakan dampak dari wabah ini karena beberapa fee pekerjaan menulis belum cair, hanya bisa menganggap kucing-kucing itu hiburan pelipur lara. Suara mengeong mereka dan sikap manja mereka kala tiduran di kaki ketika saya menulis, itu bisa membuat situasi pelik ini terasa adem.
Tetapi memang, kasihan bila kucing-kucing itu tidak diberi makan. Apa iya, mereka yang sama sekali tidak tahu-menahu wabah corona ini, harus ikut merasakan dampaknya. Bagaimanapun, seperti kita, perut mereka juga perlu diisi. Mereka butuh makan.
Saya lantas tercenung oleh ucapan istri. Sosok yang bagi saya kehadirannya membuat situasi sulit ini menjadi tidak terlalu terasa berat, berucap sederhana tapi mengena.
"Tidak apa-apa meski harus mengeluarkan duit lebih untuk membeli makanan kucing. Semoga, dengan memberi mereka makan, yang di langit akan semakin welas asih kepada kita". Barokallah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H