Idul Fitri datang lagi. Meski mungkin suasananya berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Inilah perayaan Idul Fitri dengan "new normal".
Kita melaksanakan Sholat Ied di rumah masing-masing. Kita membatalkan agenda mudik dan menyambung silaturahmi lewat cara virtual. Bilapun melakukan silaturahmi ke tetangga dekat, kita memakai masker dan tetap menjaga jarak.
Namun, apapun itu, dari hati, saya menyampaikan mohon maaf lahir batin. Untuk siapa saja di rumah ini, saya memohon maaf bila ada tulisan maupun komentar saya yang kurang berkenan.
Terlepas Lebaran tahun ini berbeda karena kita lebih banyak bersilaturahmi lewat gawai seiring tidak bisa 'unjung-unjung' sebebas seperti sebelumnya, tetapi ada satu hal yang tidak ikut hilang karena wabah virus ini. Yakni, kebiasaan "salam tempel" ke anak-anak.
Saya tergelitik oleh foto di grup WA keluarga. Ada seorang kerabat yang memajang foto putrinya sedang menghitung uang kertas dengan narasi begini "anaknya sedang menghitung pendapatan unjung-unjung Lebaran".
Ya, Lebaran memang periode menyenangkan bagi anak-anak. Mereka bak ketiban hujan rezeki. Namun, Lebaran bagi anak-anak sejatinya bukan hanya tentang mereka mendapatkan salam tempel. Ada beberapa hikmah bagus Idul Fitri yang bisa kita kenalkan kepada anak-anak. Â
Momentum 'memperbaiki' hubungan dengan orang tua
Tahun ini, saya dan keluarga seharusnya mudik ke rumah mertua di Jakarta. Kami sudah berencana mudik sejak akhir tahun lalu. Namun, situasi pandemi membuat kami mengurungkan niat itu. Meski begitu, silaturahmi harus jalan terus.
Toh, meski berlebaran di rumah masing-masing dan sekadar bertemu mertua lewat tampilan wajah di video, kita tidak sampai kehilangan makna Lebaran. Makna itulah yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak.
Makna paling utama, Idul Fitri adalah waktu terbaik untuk menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak terlepas dari salah. Ucapan kita mungkin pernah melukai perasaan orang lain. Perbuatan kita mungkin ada yang menyakitkan. Utamanya kepada orang tua.
Nah, sebagai anak, bila selama ini mungkin hubungan dengan orang tua kurang asyik, inilah momentum terbaik untuk memperbaiki hubungan. Saatnya menepikan ego untuk memohon maaf. Tentu saja, memohon maaf kepada orang tua bisa dilakukan kapan saja. Namun, Idul Fitri tentu punya cerita berbeda. Â
Selain meminta maaf, kita juga berterima kasih kepada orang tua. Bahwa selama setahun ini, orang tua pasti telah banyak berbuat baik kepada kita sebagai anaknya, minimal mendoakan tanpa anak-anaknya tahu.
Makna itulah yang saya ajarkan kepada dua anak saya yang tahun ini berusia hampir 9 tahun dan 7 tahun. Bahwa, dalam Idul Fitri, orang pertama yang harus mereka dahulukan untuk meminta maafnya adalah orang tua. Kalaupun tidak bisa berjabat tangan langsung, bisa melakukan video call.
Makna ini penting untuk diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Sebab, kelak ketika mereka tumbuh besar, mereka bisa 'berkaca' setiap Lebaran. Di manapun mereka menjalani hidupnya, mereka akan ingat pada orang tuanya.
Kita juga menyampaikan kepada anak-anak, bahwa ada hal yang tidak kalah penting dari meminta maaf. Yakni, belajar memperbaiki kesalahan. Semisal mau mendengarkan nasihat serta berbicara dengan lemah lembut kepada orang tua. Â
Membuang benci dan dendam
Selain memperbaiki hubungan dengan orang tua, makna Idul Fitri yang juga bisa diajarkan ke anak-anak adalah tentang memaafkan. Utamanya dengan kawan-kawan sepermainan mereka.
Seperti kemarin, ketika mereka bertemu dengan beberapa kerabat dan anak-anaknya yang usianya tidak beda jauh, si adik mendadak berujar: "adek nggak mau minta maaf sama anak itu, dia anak nya jahat".
Saya lantas menjelaskan bahwa di hari raya Idul Fitri, semua harus saling memaafkan. Meminta maaf kepada orang lain, serta membuka lebar-lebar pintu maaf untuk orang lain.
Ya, kita bisa menjadikan momen Idul Fitri untuk mengajari anak-anak agar membuang jauh-jauh rasa benci dan dendam dengan teman-temannya. Saatnya memulai hubungan baru yang lebih baik yang diawali meminta maaf dan memberi maaf kepada semua. Termasuk yang pernah menyakiti kita.
Tentang makna unjung-unjung ke rumah saudara, anak-anak juga perlu diberitahu bahwa tujuannya bukan untuk mendapatkan "salam tempel". Meski mereka memang mendapatkan itu.
Tapi, mereka harus diberitahu bahwa unjung-unjung itu untuk menjaga silaturrahmi dan seduluran yang sudah ada. Ibarat tanaman, ia harus rajin disiram dan diberi pupuk agar tumbuh sehat. Hubungan antar manusia pun begitu.
Bukankah ada ujaran bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur dan melapangkan rezeki?
Karena dengan bersilaturahmi, hati kita bisa gembira sehingga bisa lebih sehat. Kita juga bisa bertukar pikiran dalam hal mengedukasi anak ataupun mendapatkan usaha baru dari cerita kawan. Â
Mengatur "salam tempel" yang diterima saat Lebaran
Nah, ini yang juga tidak kalah penting. Ketika anak-anak mendapatkan banyak 'uang saku' dari saudara di hari Lebaran, mereka harus diedukasi perihal pemanfaatan uang tersebut.
Jangan sampai, karena merasa memiliki uang dalam jumlah banyak, karena merasa tidak diberitahu apa-apa oleh orang tuanya, mereka lantas memakai duit tersebut untuk keperluan yang kurang bermanfaat.
Biasanya, kami yang memegang uang salam tempelnya anak-anak. Namun, karena mereka sudah semakin besar, kini mereka menagihnya. Tidak masalah. Toh, itu uang yang memang diberikan untuk mereka.
Namun, ketika memberikan uang tersebut kepada mereka, perlu disertai anjuran. Semisal berpesan agar sebagian uangnya ditabung, dan sebagian lainnya boleh dipakai untuk 'keperluan' mereka.
Saya terbiasa berujar ke mereka, agar uangnya ada 'rasanya'. Maksudnya, jangan sampai uangnya tidak berasa karena langsung habis. Karenanya, saya menganjurkan uangnya ditabung, lalu sisanya untuk membeli peralatan sekolah, semisal buku tulis maupun kotak pensil.
"Kalau kalian bisa membeli alat sekolah dari uang sendiri, pasti kalian akan merasa bangga dan lebih sayang barangnya.
Selain semua makna itu, tentu saja, Idul Fitri merupakan hari kemenangan. Anak-anak juga merasakan kemenangan. Sebab, selama Ramadan tahun ini, mereka berjuang berpuasa penuh. Utamanya si adik. Tahun lalu, dia masih 'belajar puasa' dan sering menggoda kakaknya.
Tahun ini, dia kuat berpuasa hingga Maghrib. Palingan hanya di pekan awal Ramadan, dia tidak berpuasa karena sempat sakit dan menjalani rawat inap di rumah imbas terkena dengue fever. Â
Sebagai orang tua, tentu saya bangga karena kedua anak saya bisa berjuang berpuasa hingga maghrib. Tentu saja, rasanya senang, perjuangan untuk membangunkan mereka sahur dan menguatkan mental mereka bila siang mulai merasa lemas dan mengeluh lapar, ternyata berhasil.
Tentu saja, mereka pantas mendapatkan 'hadiah kecil' seperti yang saya janjikan di awal Ramadan bila mereka kuat berpuasa. Janji untuk mentraktir makan makanan yang mereka suka. Si bungsu sudah semangat memesan pizza.
Akhirnya, melalui tulisan ini, saya menyampaikan permohonan maaf tulus bila ada terpercik salah dalam tulisan-tulisan saya. Selamat merayakan Idul Fitri bersama keluarga, mohon maaf lahir dan batin. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H