Momen perpisahan itu mengharukan. Bilapun dalam perpisahaan itu ada rasa puas, bahagia, dan gembira, tapi terselip haru. Begitu juga perpisahan dengan bulan Ramadan.
Kita mungkin merasa senang di akhir Ramadan ini. Sebab, kita bisa mengisi Ramadan kali ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Paramater nya, kuantitas dan kualitas ibadah kita lebih baik.
Kita mungkin merasa bahagia di penghujung Ramadan ini. Sebab, kita menyambut Hari Kemenangan dengan sebenar-benar maknanya setelah berpuasa 30 hari. Idul Fitri tiba. Â
Namun, bilapun ada rasa  senang dan bahagia, ada rasa sedih ketika berpisah dengan Ramadan. Hari terakhir Ramadan itu sendu.
Kita akan merindukannya. Apalagi bila kita merasa kurang maksimal beribadah dalam mengisi Ramadan kali ini. Seraya berdoa bisa dipertemukan kembali dengan Ramadan tahun depan.
Toh, terpenting sejatinya bukan perasaan puas, bahagia, atau gembira itu. Namun, terpenting adalah bagaimana hal-hal baik yang terbiasa kita kerjakan di bulan Ramadan, bisa terus dijaga. Bisa terus dilakukan. Nah, hal-hal baik itu kita sebut dengan "warisan Ramadan". Apa saja?
Merasa malu karena merasa diawasi
Dalam sebuah riwayat yang sering disampaikan para dai dalam tausiyahnya, dikisahkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW pernah dicurhati oleh seorang laki-laki yang gemar melakukan perbuatan dosa.
Kepada Rasulullah, laki-laki fasik itu menyampaikan bila dirinya ingin bertobat. Dia lalu bertanya tentang amalan apakah yang harus dilakukannya.
Mendapati pertanyaan tersebut, Rasulullah menyampaikan jawaban sederhana bila ingin berhenti bermaksiat. Rasulullah 'hanya' memintanya untuk tidak berbohong.
Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, laki-laki itu langsung menyanggupi karena merasa syarat itu mudah saja untuk dilakukan. Dalam hati dia bergumam: "kalau untuk tidak berbohong saja, apa susahnya".
Setelah berpisah dengan Rasulullah, laki-laki itu mendapati beberapa situasi yang menggodanya untuk bermaksiat. Namun, setiap hendak berbuat dosa, dia teringat pesan Rasulullah untuk tidak berbohong.