Ada ratusan ribu nama yang terdaftar dan pernah menulis di Kompasiana. Tentu saja, semuanya bisa menulis. Menulis tentang apa saja.
Dari tulisan yang sekadar bercerita tanpa butuh data-data atau latar belakang masalah, hingga "tulisan berat" yang untuk membacanya butuh segelas air putih untuk jeda. Tetapi, tidak semua orang di Kompasiana ini punya "energi menulis" seperti pak Tjiptadinata Effendy.
Saya belum pernah bertemu pak Tjiptadinata. Sekadar bercakap-cakap daring di kolom komentar tulisan di Kompasiana ataupun di media sosial. Tapi, tidak sulit bagi saya untuk menyebut beliau layak jadi "role model" bagi siapa saja yang ingin konsisten menulis di "rumah ini" (baca Kompasiana).
Rasanya, banyak orang di Kompasiana yang ingin kontinyu menulis. Bila sehari minimal menulis satu tulisan, itu terkesan sangat mudah. Apa yang susahnya lha wong cuma satu tulisan.
Ternyata, tidak mudah melakukannya. Seringkali, karena kesibukan kerja dan juga alasan mood, mem-posting satu tulisan rasanya susah luar biasa. Nyatanya, ada banyak pemilik akun Kompasiana yang akunnya "berdebu" karena saking lamanya tidak menulis.
Mengagumi energi menulis pak Tjipta
Nah, dalam hal energi menulis, saya salut dengan pak Tjipta--begitu saya biasa memanggil beliau. Hampir setiap hari, selalu ada tulisannya yang 'duduk manis' di etalase nilai tertinggi, terpopuler, ataupun artikel utama. Bagi pak Tjipta, menulis itu seolah seperti minum air. Tidak sulit.
Dua hari lalu, Pak Tjipta memposting tulisan berjudul "Inilah Artikel Saya yang ke-4800". Ya, 4800 tulisan di Kompasiana. Butuh waktu berapa lama untuk menulis tulisan sebanyak itu?
Pak Tjipta bergabung di Kompasiana tercatat tanggal 12 Oktober 2012. Bila dihitung, per 11 Mei 2020, beliau sudah sudah bergabung di Kompasiana selama 7 tahun 4 bulan dan 11 hari.
Tentu saja, 7 tahun 4 bulan 11 hari bisa menghasilkan 4800 termasuk sangat produktif. Padahal, usia beliau tidak muda lagi. Bila tidak salah, pada 21 Mei nanti Pak Tjipta akan berusia 77 tahun.
Saya sendiri yang pada 28 Desember nanti akan genap 10 tahun menjadi 'warga' Kompasiana, baru menghasilkan tulisan di angka 1000-an. Karena memang, dulu pernah on off. Kadang aktif. Kadang ngilang. Pernah dalam empat bulan hanya menghasilkan satu tulisan. Bahkan pernah benar-benar off tidak menulis selama 1,5 tahun. Â
Nah, semangat menulis pak Tjipta inilah yang patut dicontoh. Padahal, pak Tjipta pastinya juga sibuk luar biasa. Tetapi, karena cinta menulis, beliau bisa "bernegosiasi dengan waktu" untuk menulis.
Dari pak Tjipta, kita bisa belajar. Bahwa, menulis itu bukan urusan bisa atau tidak bisa. Tetapi, mau atau tidak mau. Selama ada kemauan menulis, tulisannya pasti jadi.Â
Mengemas tulisan semudah minum segelas air
Teladan lain dari Pak Tjipta yang bisa kita contoh adalah caranya mengemas tulisan. Beliau tidak menganggap menulis itu ribet sehingga dua jam tulisannya belum jadi. Tapi, pak Tjipta juga tidak berprinsip 'yang penting nulis dan banyak dibaca' atau 'yang penting lunas target posting satu hari satu berita'.
"Kalau sekadar mengejar kuantitas menulis, saya berani mengatakan bahwa saya bisa menulis setiap hari 10 artikel. Karena ide bisa datang darimana saja," begitu kata Pak Tjipta dalam tulisan "Inilah Artikel Saya yang ke-4800".
Tetapi memang, dari tulisan-tulisannya pak Tjipta, kita bisa merasakan bahwa ide menulis itu bisa datang dari mana saja. Apapun yang kita lihat, kita dengar, kita alami, ataupun yang dialami orang lain, bisa jadi tema tulisan. Menulis itu mudah saja bagi pak Tjipta.
Bahwa tulisan tidak harus tentang hal yang sedang viral untuk menarik minat pembaca. Hal-hal yang mungkin terlihat remeh-temeh, juga bisa dikemas menjadi tulisan bagus.
Beberapa petikan kalimat yang saya ambil dari tulisan "Inilah Artikel Saya yang ke-4800", menjadi bukti betapa menulis itu seperti minum air bagi pak Tjipta. Seperti minum air, tak perlu berpikir ribet untuk melakukannya. Tinggal minum saja.
Pak Tjipta menulis begini:Â
"Misalkan  saat lagi duduk sambil menyeruput secangkir kopi hangat, saat memandang sepasang burung pipit di pohon, langsung bisa menulis tentang bagaimana kita bisa belajar dari burung pipit yang harganya di pasar cuma 10 ribuan, bahwa ketika sarangnya diporak porandakan angin badai dan hujan, pasangan burung kecil ini tidak meratapi nasib, melainkan langsung kerja keras memperbaiki sarangnya yang sudah hancur. Dalam waktu sehari sarangnya sudah dapat ditempatinya lagi
Juga kalimat ini:Â
"Atau menyaksikan semut yang lagi menyeret sebutir beras, dapat dijadikan bahan tulisan,betapa seekor semut mampu memberikan teladan kepada manusia bagaimana hidup berbagi. Tidak pernah ada semut yang mendapatkan sebutir beras atau nasi,langsung menikmati seorang diri. Selalu dengan susah payah menyeret kesarangnya dan disana mereka makan bersama sama. Malu nggak kita ?"
Begitu juga kalimat ini:Â
"Atau ketika berjalan di siang hari, menyaksikan bayangan diri ikut terus kemana saja kita pergi .Maka dapat dituangkan dalam tulisan yang isinya mengingatkan agar jangan perna mau bersahabat dengan orang yang hanya mau menjadi bayangan kita, karena begitu cuaca mendung atau sinar matahari meredup maka bayangan hilang secara serta merta. Yang melukiskan, bahwa teman yang hanya ada disamping kita disaat kita sejak berjaya, tapi begitu hidup kita mengalami masalah, maka teman kita langsung menghilang seperti bayangan yang hilang disaat sinar matahari meredup".
Dari tiga kalimat itu, bisa disimpulkan bahwa selain tema menulis yang mudah didapat, pak Tjipta juga menulis dengan wawasan dan pengalamannya. Wawasan dan pengalaman yang tidak semua orang punya itulah yang menjadi kekuatan tulisannya.
Ya, Pak Tjipta tidak sekadar menulis. Tidak sekadar posting tulisan. Saya lebih suka menyebut beliau sedang berbagi pelajaran hidup lewat tulisan.
Karenanya, kita bisa "bercermin" dari tulisan-tulisannya. Kita bisa melihat cerminan diri. Kita serasa diingatkan untuk melihat kembali sikap kita. Lantas, termotivasi untuk menjadi lebih baik tanpa ada kesan menggurui.
Pada akhirnya, tulisan ini saya buat untuk menggugah semangat menulis. Termasuk bagi saya pribadi. Lha wong saya juga terkadang belum bisa menulis setiap hari di rumah ini.
Tentu saja, selain pak Tjipta, di rumah ini juga ada beberapa penulis yang bisa menulis semudah seperti minum air. Ada mas Katedrarajawen yang sudah menghasilkan 5006 tulisan. Ada juga Mas Susy Haryawan yang sudah menghasilkan 2613 tulisan.
Juga mas Zaldy Chan yang meski belum genap dua tahun di sini, tetapi sudah mampu mencipta lebih dari 1000 tulisan. Termasuk mas Arnold Adoe yang juga sangat produktif dalam menulis. Juga pak Hendro Santoso, seorang kakek yang semangat menulisnya masih luar biasa.
Semoga, panjenengan dan semuanya yang menulis di rumah ini, senantiasa sehat dan terus istiqomah membagikan cerita, pesan, dan informasi lewat tulisan di rumah ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H