Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan, Kalap Belanja Makanan, dan Penjual yang Terdampak Wabah Corona

2 Mei 2020   23:49 Diperbarui: 3 Mei 2020   00:31 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membeli banyak makanan dan minuman mungkin akan dianggap kalap belanja. Namun, ada banyak penjual yang terdampak wabah Covid-19. Mereka berjualan bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menyambung hidup/Foto: Hadi Santoso


Salah satu pemandangan yang membuat Ramadan berbeda dari hari-hari di bulan lainnya adalah waktu sore. Sejak dulu, periode sore di bulan Ramadan itu menyenangkan. Ada apa dengan sore di bulan Ramadan?

Sore Ramadan adalah waktu paling seru. Bukan hanya tentang akan datangnya adzan Maghrib. Namun, tentang momentum ketika ada banyak orang berjualan takjil.

Dari mulai aneka sayuran, ragam lauk kesukaan, minuman segar, kurma, hingga bermacam gorengan yang konon rasanya katanya lebih nikmat ketika disantap saat berbuka puasa.

Sore Ramadan juga menjadi periode 'ujian'. Apakah kita bisa menahan diri untuk tidak 'lapar mata' alias berbelanja makanan secukupnya. Atau malah kalap dengan membeli apa saja yang sekiranya enak. Padahal, tidak mungkin semua makanan itu dihabiskan saat berbuka puasa.

Perihal serunya fenomena sore Ramadan ini, saya sempat berpikir keseruan nya mungkin akan menghilang tahun ini. Saya sempat berpikir, wabah coronavirus disease (Covid-19) mungkin akan membuat orang malas untuk berjualan takjil. Mereka mungkin merasa pembelinya sepi. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya

Maklum, di kota tempat tinggal saya, Sidoarjo, sejak sebelum Ramadan, sebaran wabah Covid-19 terbilang tinggi. Bahkan, mulai 28 April lalu, wilayah Sidoarjo sudah diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk 14 hari ke depan.

Namun, pikiran saya itu ternyata keliru. Sore di awal-awal bulan Ramadan, jalanan di sekitar tempat tinggal tetap lumayan rame. Saya juga 'iseng' untuk berkeliling kampung demi mengetahui apakah masih banyak orang yang berjualan takjil. Minimal mengajak istri ngabuburit.

Mereka yang berjualan karena terdampak wabah Covid-19

Sebagai penikmat sore Ramadan, saya cukup hafal titik lokasi para penjual takjil dan penjual gorengan pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, dari hasil pengamatan, tahun ini berbeda.

Ada beberapa penjual takjil tahun lalu yang tidak lagi berjualan. Namun, ada beberapa penjual yang baru berjualan di tahun ini. Bahkan, jumlahnya lumayan banyak.

Insting saya sebagai 'mantan pekerja pabrik koran' pun langsung muncul. Saya jadi bertanya-tanya, apakah mereka ini merupakan warga yang terdampak wabah Covid-19.

Mungkin karena pekerjaan yang biasanya ditekuni kini sedang sepi atau bahkan mungkin sedang 'dirumahkan' oleh majikan mereka, lantas berjualan takjil menjadi pilihan demi asap dapur tetap mengepul.

Saya pun mencoba mampir ke beberapa penjual yang kebetulan saya lewati. Mampir untuk membeli makanan takjil dagangan mereka .

Nah, salah satu hobi saya ketika membeli takjil ataupun membeli makanan di pinggir jalan adalah mengobrol dengan pembelinya. Itu mungkin sudah bawaan karena dulu bekerja mewawancara orang/narasumber.

Sembari memilih makanan takjil yang akan dibeli, saya terbiasa bertanya beberapa hal. Semisal mulai jualan jam berapa, apakah jualan mereka ramai pembeli, hingga apakah berjualan gorengan pas Ramadan saja ataukah sebelumnya sudah berjualan.

Dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya mendapati beragam jawaban. Ada ibu yang bercerita bila baru berjualan takjil di bulan Ramadan tahun ini. Sebelumnya tidak. Penyebabnya, pekerjaan suaminya sebagai tukang ojek online sepi orderan karena wabah Covid-19.

Ada pula ibu penjual gorengan yang mengaku dulunya tinggal di wilayah Porong, Sidoarjo yang terendam lumpur, lantas berpindah dan kini jualan gorengan. Plus membuat sayuran dan lauk-pauk takjil di bulan Ramadan ini.

Ketika mengobrol dengan ibu ini, saya sempat tercenung ketika dia kemudian balik bertanya ke saya. Dia bertanya begini:

"Mas, nanti pas sudah PSBB, penjual seperti saya apakah masih boleh berjualan? Soalnya saya khawatir tidak bisa berjualan. Sementara saya dan suami sekarang hanya mengandalkan hasil jualan ini untuk bertahan hidup".

Merujuk obrolan dengan ibu-ibu para penjual takjil tersebut, saya merasa sudah menentukan pilihan tepat ketika membeli beberapa dagangan mereka.

Mungkin, bagi orang lain, saya sedang kalap belanja makanan. Lha wong beberapa makanan saya beli sehingga membuat tempat gantungan barang di motor saya mendadak penuh.

Ada bungkusan berisi sayur asem, pepes tongkol, sayur sop, dan perkedel. Ada pula beberapa gorengan seperti ote-ote, tahu isi, dan pisang goreng. Juga es degan dan es jeruk pesanannya anak-anak. 

Bukan kalap, beli dagangannya untuk menyenangkan mereka

Ya, dengan membeli makanan sebanyak itu dalam waktu bersamaan, memang akan dikira kalap. Berlebihan.  

Namun, bila mengetahui bagaimana perjuangan ibu-ibu itu untuk berjualan takjil dan berharap pemasukan setiap sore yang tentu saja tidak selalu ramai, saya tidak menganggap itu sebagai kalap belanja.

Toh, meskipun belanja lumayan banyak, tapi itu jelas masih bisa dimakan. Kalaupun tidak habis ketika berbuka puasa, lauknya masih bisa dimakan untuk sahut.

Justru, saya acapkali mengajari anak-anak dan keponakan untuk tidak berat hati menyisihkan duit kecil kepada orang-orang seperti itu.

Semisal ketika melihat seorang nenek dan kakek yang berjualan mainan dan makanan, yang harganya dua ribu atau lima ribuan, maka beli dagangan mereka kalaupun kita mungkin tidak terlalu butuh.

Belilah dagangan mereka. Sebab, mereka berjualan tidak untuk menjadi kaya dan mencari uang untuk bersenang-senang. Mereka itu bersusah payah berjualan demi mendapatkan untung yang sedikit. Sekadar untuk menyambung hidup saja.  

Nah, kembali ke urusan membeli takjil yang seolah kalap itu, ketika membeli dagangan mereka, meski memang akadnya jual beli karena memang kita membeli dengan menyerahkan uang dan mendapatkan barang, tetapi itu menyenangkan mereka.

Toh, mereka bukan 'pemain besar' yang punya banyak pelanggan. Mereka hanya berjualan di depan rumah atau mungkin kontrakan dengan memanfaatkan momentum sore Ramadan. Jualan mereka pun tidak terlalu banyak.

Siapa tahu, di rumah mereka, ada anak-anak yang mendoakan dagangan ibunya laris agar bisa makan sahur. Siapa tahu, ketika dagangan mereka laris, mereka jadi punya semangat untuk terus bertahan melawan wabah Covid-19 yang memang berdampak luar biasa bagi hampir semua orang, terlebih kalangan menengah ke bawah. Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun