Sampean (Anda) yang menikmati kemampuan peran Hugh Jackman, pastinya pernah menonton film "Real Steel" yang dibintangi oleh aktor Hollywood asal Australia ini.
Bahkan, Anda mungkin sudah berkali-kali menonton film bergenre science-fiction sports yang berkisah tentang duel robot di ring tinju ini. Karena memang, film yang rilis tahun 2011 dan diadaptasi dari cerita pendek berjudul "Steel" karya Richard Matheson di tahun 1965 ini seringkali tayang di layar kaca.
Tidak hanya berkisah tentang duel robot, film ini juga menguras emosi perihal hubungan ayah Charlie Kenton (Hugh Jackman) dan putranya, Dakota Goyo (Max Kenton).
Bagian paling seru tersaji di akhir film ketika Kenton dan Max bersama robot biasanya, Atom, bertanding melawan robot global champions yang tidak terkalahkan milik konglomerat, Zeus.
Singkat cerita, Atom si robot mungil yang diprediksi hanya akan mampu bertahan dalam satu ronde, ternyata tak gentar menghadapi Zeus. Malah, Atom yang "diotaki" Kenton, berhasil melakukan pukulan telak yang membuat Zeus ambruk. Meski, Zeus akhirnya yang dianggap juara oleh para juri.
Kisah Pahit Warung Kopi Setelah Wabah Corona
Lalu, apa kaitan antara film Real Steel tersebut dengan wabah coronavirus disease (Covid-19) yang tengah mengganas, juga keberadaan warung kopi seperti yang tertera dalam judul tulisan ini?
Bila boleh dibuat analogi, perwujudan Zeus yang kuat itu ibarat warung kopi yang ada di perdesaan. Ya, jauh sebelum corona mewabah, warung kopi ibarat "mesin uang" bagi pemiliknya. Bisnis yang paling menjanjikan pemasukan uang di kawasan desa.
Tidak sulit menemukan warung kopi di desa-desa. Hebatnya, meski tempatnya tidak dikemas keren seperti kafe di kawasan perkotaan, meski tidak ada live music di setiap akhir pekan, tetapi warung kopi di desa tidak kalah pesonanya.
Kuncinya hanya tempat nyaman untuk nongkrong, jaringan internet gratis dan lancar, sajian minum dan mie goreng/rebus yang lumayan. Dengan modal itu, warung kopi-warung kopi di desa tersebut nyaris tidak pernah sepi.
Bahkan, keramaian di beberapa warung kopi, tidak mengenal "jam sibuk". Pagi, siang, sore, apalagi malam, nyaris selalu penuh. Sulit mendapatkan tempat duduk yang kosong.
Pengunjungnya mayoritas anak-anak muda. Ada yang sekadar mengobrol. Ada yang membawa laptop. Entah untuk mengerjakan tugas atau sekadar numpang buka channel YouTube ataupun main game online.Â
Dengan ramainya pengunjung, rasanya tidak sulit bagi warung kopi-warung kopi tersebut untuk mendapatkan pemasukan besar hanya dalam semalam. Apalagi bila buka seharian.
Itu cerita ketika warung kopi di desa masih menikmati masa jayanya. Namun, semua cerita jaya itu berubah setelah wabah Covid-19 yang awalnya kabarnya hanya dilihat di layar televisi, tahu-tahu sudah ada di Sidoarjo, kabupaten yang saya tinggali. Yang ada kini hanya cerita pahit. Sepahit kopi hitam tanpa gula yang memang pahit.
Apalagi setelah pemerintah memberikan imbauan physical distancing dan juga menghindari tempat-tempat orang berkumpul karena berpotensi menjadi ruang penyebaran Covid-19. Nah, warung kopi termasuk tempat yang selama ini menjadi pusat kerumunan banyak orang yang dihindari. Dijauhi.
Malah, di Sidoarjo, sejak diketahui ada warganya yang positif dan beberapa orang berstatus PDP dan ODP, pihak kepolisian bersama instansi terkait di Pemkab Sidoarjo, rajin melakukan penertiban ke tempat-tempat yang selama ini menjadi pusat keramaian, termasuk warung kopi.
Pemilik warung kopi juga diimbau agar untuk sementara tidak membuka usaha mereka. Imbauan tersebut merupakan bentuk upaya mencegah agar muad-mudi tidak lagi nongkrong dan berkumpul dalam satu tempat yang tidak sejalan dengan semangat membatasi penyebaran Covid-19.
Ada yang mati suri, ada yang berstrategi agar bertahan
Ya, wabah corona itu bak sebuah pukulan telak bagi para pengusaha warung kopi. Utamanya yang berada di perdesaan. Setelah terkena pukulan telak, ada yang langsung tidak bisa bangun. Ada yang masih mencoba bertahan meski wajahnya lebam dihantam pukulan.
Beberapa kawan yang selama ini menjalankan bisnis warung kopi dan sudah sukses, kini juga berkeluh kesah terhadap situasi sulit yang mereka hadapi.
Betapa tidak sulit. Setelah lebih dari dua pekan tidak bisa membuka usaha sama sekali, jelas berpengaruh pada hidupnya warung kopi mereka. Lha wong tidak bisa mendapatkan pemasukan seperti dulu lagi.
Dari pantauan di beberapa warung kopi yang sebelumnya ramai, kini bak mati suri. Bangku-bangku dan kursi yang sebelumnya dipenuhi pengunjung, kini dibalik. Ditaruh di atas meja. Tanda warung kopi tersebut tidak buka.
Sebab, bilapun buka, dengan jumlah pengunjung yang tidak lagi seramai dulu sementara mereka masih harus membayar beberapa karyawan, tentu menjadi pertimbangan para pemilik warung kopi untuk menutup sementara usahanya.
Ada juga warung kopi yang tidak mau menyerah. Mereka masih tetap bertahan dengan menjalankan strategi masing-masing. Ada yang melayani konsumennya dengan menerapkan standar kesehatan yang telah dianjurkan pemerintah.
Seperti menaruh ember berisi air dan sabun cair cuci tangan di depan warung mereka agar pengunjung menjalankan pola hidup sehat. Juga, menata tempat duduk ala physical distancing agar para pengunjung tidak duduk berdekatan. Itu cara mereka agar dianggap ikut peduli memerangi virus ini.
Tentu saja, pemasukan yang didapat dengan cara ala drive thru datang langsung pergi membawa barang yang beli tersebut, tidak sebanyak bila menerapkan pola ngopi di tempat seperti sebelumnya.
Sebab, anak-anak muda itu datang ke warung kopi, selain untuk menikmati kopi, juga untuk mengobrol. Nongkrong. Malah ada yang pesan satu gelas, ngobrolnya berjam-jam.Â
Namun, apapun, itulah "strategi bertahan". Itu salah satu cara untuk bangkit dari "pukulan telak" virus yang tidak hanya mematikan raga tetapi juga mematikan sebagian besar perekonomian masyarakat pekerja sektor informal ini. Daripada langsung mati.Â
Karenanya, saya memahami bila kawan-kawan saya yang memiliki usaha warung kopi, mereka termasuk yang paling berharap agar wabah ini segera berakhir. Agar tidak ada lagi kekhawatiran bila berkumpul di warung kopi.
Seperti juga doa-doa kita yang berharap virus ini segera lenyap. Agar tidak ada lagi kekhawatiran dalam mencari nafkah untuk keluarga. Utamanya bagi kita yang masih harus bekerja di luar rumah.Â
Terlebih, sekira dua pekan dua hari lagi, Ramadan akan tiba. Tentu, sebagai muslim, kita berkeinginan merayakan datangnya Ramadan dengan khusyu tanpa kekhawatiran dalam beribadah. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H