Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengabarkan Kabar Baik di Tengah "Badai" Corona, Bisakah?

26 Maret 2020   06:57 Diperbarui: 26 Maret 2020   07:02 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu contoh kabar hoaks tentang wabah corona yang beredar di media massa. Semoga ada lebih banyak warganet yang paham untuk membagikan berita yang benar, berita yang memberikan harapan, bukan malah menyebabkan kepanikan/Foto: Merdeka.com

Kabar baik dan kabar kurang baik (untuk tidak menyebut kabar buruk). Sampean (Anda) lebih menyukai kabar yang mana?

Rasanya, ada banyak orang yang lebih menyukai kabar baik. Meski, sejatinya, dua kabar tersebut sama-sama ada manfaatnya.

Kabar baik untuk memotivasi kita agar menjadi lebih baik. Kabar untuk untuk memperingatkan kita agar lebih mawas diri. Bahkan, kabar buruk bisa menjadi "cermin" agar kita bercermin, mengambil pelajaran dari yang telah terjadi.

Namun, dalam situasi pandemi coronavirus disease (Covid-19) dan derasnya arus informasi yang berseliweran di media daring, terlebih di media sosial, saya kini lebih merindukan kabar baik. Sebab, ada banyak kabar hoaks yang dengan mudahnya wara-wiri di grup WhatsApp.  Ya, saya rindu mendapatkan kabar bagus. 

Seperti kapan hari, saya tiba-tiba mendapatkan kiriman pesan broadcast di WhatsApp. Pesan yang sungguh menggugah semangat. Bunyinya begini:

Sepupu saya yg kuliah di Cina kirim email ke saya dan ngomong begini :

"Disini (wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena kami saling menyemangati. Kami tidak memberitakan berita kematian, yang kami beritakan adalah berita kehidupan dan berita kesembuhan. Namun kenapa netizen di Indo lebih memilih memberitakan berita ketakutan? Apakah mereka memang ingin membunuh saudaranya sendiri?"

Bisakah mulai saat ini kita hanya memberitakan berita yang penuh harapan, berita yang menenangkan, berita kehidupan.

Bisakah kita membantu tim medis yang sudah sedemikian lelah, untuk berhenti membuat postingan-postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panic. Bisakah?

Tahukah bahwa kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat. Jangan buat mereka khawatir, sehingga terus menerus berbondong bondong ke RS dan makin membuat lelah para tim medis kita. Bisakah?

Saya yakin, pesan broadcast tersebut sudah sampai ke mana-mana. Sampean mungkin juga mendapatkan broadcast tersebut dan sudah membacanya.

Jika kita membaca substansinya, pesan broadcast tersebut ditujukan untuk kita. Para warganet. Para netizen yang tinggal meneruskan pesan.

Baik pesan resmi perihal perkembangan terbaru Covid-19 yang dirilis oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memalui informasi "satu pintu". Hingga pesan yang entah dibuat oleh siapa dan tidak jelas kebenarannya.

Atau, tinggal mencomot tautan berita dari media daring lantas membagikannya ke grup-grup WhatsApp yang diikuti. Entah apakah berita di media daring itu kredibel atau tidak. Pokoknya dari media.  

Namun, apapun itu, warganet sebenarnya bisa memilih. Apakah menahan informasi itu--karena belum jelas kebenarannya-- untuk dirinya dan keluarganya sekadar sebagai informasi.

"Bad News is Good News" kini jadi milik netizen

Bicara tentang media, dulu, dalam dunia jurnalistik, ada slogan populer bagi wartawan. Bunyinya "bad news is good news" dan "good news is bad news". Maknanya, bahwa kabar buruk itu merupakan berita bagus. Sementara kabar bagus justru menjadi berita buruk.

Terjemahan sederhananya begini. Semisal sebuah kota diguyur hujan deras selama berjam-jam. Bila ternyata kota itu tidak banjir, hanya sedikit tergenang, dan itupun cepat surutnya, oleh sebagian awak media, itu akan dianggap berita kurang bagus.

Sementara bila hujan deras itu menyebabkan banjir di sejumlah wilayah, media akan menganggapnya sebagai berita bagus. Saking bagusnya, bisa dikemas menjadi beberapa angle berita. Bahkan bisa dibuat berseri. Istilah jurnalistiknya, di-running.

Bahkan, contoh yang lebih ekstrem, bila ada kecelakaan di jalan, bila kecelakan tunggal dan korbannya sekadar luka ringan, itu tidak dianggap berita bagus. Lain bila terjadi kecelakaan karambol yang menyebabkan beberapa mobil tabrakan beruntun dan banyak korban, itu baru dianggap berita bagus.  

Kok dulu? Sebab, sekarang ini, beberapa media mulai meninggalkan prinsip bad news is good news dan good news is bad news tersebut. Beberapa media mulai meneguhkan prinsip good news is good news. Berita bagus ya berita bagus.

Hanya saja, ketika media sudah "berubah baik", prinsip lawas bad news is good news" itu kini malah diwarisi oleh para warganet. Oleh mereka yang meski tidak memiliki bekal keilmuan jurnalistik, tapi merasa menjadi wartawan.

Warga di dunia maya kini banyak yang berlomba-lomba membagikan informasi berupa pesan broadcast ataupun "pesan forward-an" ke grup-grup WhatsApp yang diikutinya. Berlomba-lomba menjadi yang pertama membagikan pesan itu.    

Ironisnya, mereka tidak paham apakah pesan itu benar atau ngawur. Apakah sumbernya valid atau asal-asalan. Mereka juga tidak berpikir, bagaimana dampak dari pesan yang mereka bagikan tersebut.

Tahan dulu, cek kebenaran informasi, baru sharing

Seperti dalam suasana pandemi corona seperti sekarang. Atas nama yang penting berbagi informasi, beberapa orang tidak berpikir panjang. Mereka tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu bila hasil sharing informasi yang mereka lakukan, malah menyebabkan kekhawatiran di masyarakat.

Repotnya, ketika ditanya perihal kebenaran informasi yang bikin panik tersebut, mereka sekadar menjawab "saya juga dapat dari grup sebelah". Hanya setipis itu bentuk tanggung jawabnya.

Seperti kemarin, di grup WA yang saya ikuti, ada yang membagikan informasi perihal "virus corona dapat sembuh dengan sendirinya dengan semangkuk air bawang putih yang baru direbus".

Ada pula yang meneruskan kabar tentang vaksin virus corona siap. Bunyi pesannya: vaksin ini mampu menyembuhkan pasien dalam waktu 3 jam setelah injeksi. Angkat topi untuk untuk ilmuwan AS.

Dua kabar tersebut memicu perdebatan di grup WA. Ada yang sekadar memberi tanda jempol. Ada yang bersuara keras menyebut bila itu hoaks lantas memberikan kabar pembandingnya. Termasuk yang vaksin tersebut. Bahwa itu hanya test kit, produk Korea Selatan, sementara Amerika masih tahap pengembangan.

Lantas, ada yang menimpali dengan menuliskan kalimat agar dalam situasi seperti ini, dimohon pengertiannya untuk membagikan informasi yang fact saja, bukan yang fake agar tidak menimbulkan kegelisahan dan kesalahpahaman.

"Mbok ya sebelum share, teliti kebenarannya, cari faktanya. Jangan asal sar ser sar ser. Apalagi situasi seperti ini," ujar seorang warga.

Dulu, juga sempat beredar kabar tentang adanya pasien di beberapa kota yang baru pulang dari luar negeri dan dikabarkan positif Covid-19. Padahal, kabar itu bohong. Termasuk juga kabar di medosis bila ada pasar akan ditutup untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Padahal, belum ada informasi resmi dari pemerintah daerah di wilayah tersebut. 

Karenanya, kiranya benar ketika aparat kepolisian lantas mengamankan warganet yang menyebar hoaks tentang corona ini seperti dimuat di beberapa media. Itu menjadi peringatan bagi warganet yang lainnya agar tidak sembarangan membagikan informasi seputar corona. Terlebih dalam situasi seperti ini.

Jadi pembagi informasi yang cerdas, jangan membagikan kepanikan

Berkorelasi dengan pesan WA di awal tulisan ini, sudah saatnya kita menjadi pembagi informasi yang cerdas. Pembagi yang tidak sekadar membagikan pesan, tetapi juga membagikan kabar optimisme. Bukan semata kepanikan.

Semisal bila kita menerima pesan broadcast di grup WA tentang orang yang mendadak meninggal di jalanan ketika tenagh berkendara di wilayah tempat tinggal kita. Lantas, meninggalnya orang tersebut dikaitkan dengan virus corona. Padahal, itu baru dugaan saja. Tetapi malah ditambahi kalimat dramatis "hati-hati mengalami kejadian seperti orang tersebut"

Nah, bila mendapat seperti itu, jangan lantas meneruskan (mem-forward) pesan tersebut ke grup lainnya. Bukan hanya informasinya saja yang masih dugaan. Namun, informasi semacam ini juga bisa menyebabkan kepanikan. Terlebih bagi orang yang memang dasarnya sudah paranoid dengan situasi yang ada.

Apalagi bila informasi tersebut terus saja dibagikan ke grup-grup WA lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana kepanikan massal yang muncul di masyarakat hanya karena kiriman broadcast seperti itu.

Padahal, bila boleh bertanya, sebenarnya, apa sih motivasinya mengirimkan pesan broadcast yang belum jelas seperti itu?

Apa iya karena sekadar ingin dianggap yang paling cepat tahu segalanya, tapi malah menomorduakan kebenaran.

Kalaupun ingin berbagi informasi, seharusnya dicek dulu apakah pesan itu memang benar. Bila belum tahu benar atau salah, mbok ya ditahan dulu (jangan disebarkan). Sebab, bila kabarnya bohong, apa iya masih merasa senang bila  'julukan paling tahu' itu diubah menjadi penebar kabar bohong.  

Pada akhirnya, kabar bagus (yang benar) yang memotivasi orang menjadi lebih baik, bila dibagikan dan diikuti oleh banyak orang, itu akan menjadi sedekah pahala kebaikan bagi yang menyebar informasi.

Semisal ketika membagikan informasi tentang tips penting mencegah Covid-19, tips cara mencuci tangan yang benar, hingga mengabarkan bila ada pasien positif corona yang akhirnya sembuh. Bukankah kabar seperti itu tidak hanya informatif, tapi juga bermanfaat bagi yang membacanya.  

Sebaliknya, bila kabar ngawur yang dibagikan, kabar yang membohongi dan malah menyebabkan kepanikan bagi yang membacanya, bila terus dibagikan ke banyak grup WA, tentunya kabar itu bisa menjadi "dosa jariyah bagi si penebar informasi. Pilih mana? 

Ya, menuliskan kembali tulisan WA di awal tulisan ini: 

Bisakah mulai saat ini kita hanya memberitakan berita yang penuh harapan, berita yang menenangkan, berita kehidupan.

Bisakah kita membantu tim medis yang sudah sedemikian lelah, untuk berhenti membuat postingan-postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panic. Bisakah?

Tahukah bahwa kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat. Jangan buat mereka khawatir, sehingga terus menerus berbondong bondong ke RS dan makin membuat lelah para tim medis kita. Bisakah?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun