Laga final itu memang kejam. Final hanya memilih satu pemain atau pasangan untuk menjadi pemenang. Sementara pasangan lainnya hanya bisa meratapi nasib. Nasib yang tidak berpihak.
Bila nasibnya memang kurang mujur, tidak peduli apakah dia bermain bagus dan menguasai permainan, tetapi bila nasib berkata lain, ya pada akhirnya tidak bisa juara.Â
Meski, nasib dan hoki itu tentu saja bukan sekadar kata. Tapi juga banyak faktornya. Semisal ketenangan di lapangan, utamanya saat poin-poin menentukan.
Final "kejam" dan nasib yang tidak berpihak itulah yang terjadi pada ganda putra Indonesia, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya di final Al England 2020 yang baru berakhir Senin (16/3) dini hari sekitar pukul 01.00 WIB.
Melihat Marcus Gideon yang duduk di tepi lapangan dengan tatapan kosong selepas laga final itu usai, kita bisa menebak bagaimana isi pikiran Marcus. Dia seolah masih belum percaya, dirinya dan Kevin Sanjaya mengakhiri final dengan kekalahan.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Marcus Gideon bolak-balik mengepalkan tangannya setelah smashnya berhasil menghujam masuk ke lapangan pasangan Jepang, Hiroyuki Endo dan Yuta Watanabe. Namun, siapa sangka, ganda Jepang yang terdesak, malah mendapatkan dua angka terakhir di game penentuan.
Mereka pun juara untuk kali pertama. Bahkan, Endo dan Watanabe menjadi ganda putra (MD/Men Double) Jepang yang pertama kali bisa juara di All England. Setelah 121 tahun sejak turnamen bulutangkis tertua di dunia ini digelar pada tahun 1899 silam, Jepang akhirnya punya juara di sektor MD.
Marcus/Kevin tampil menyerang, tapi kurang sabar saat poin kritis
Di final terakhir dari rangkaian lima final All England 2020 dini hari tadi, Marcus dan Kevin sejatinya mampu menguasai permainan. Mereka seperti ingin menunjukkan, bahwa mereka bisa mengalahkan ganda putra Jepang tersebut.
Maklum, dalam lima pertemuan dengan Endo dan Watanabe pada 2019 lalu, Marcus dan Kevin selalu kalah. Permainan mereka kerapkali tidak keluar ketika melawan ganda putra Jepang beda generasi tersebut (Endo berusia 33 tahun dan Watanabe berusia 22 tahun).
Namun, dini hari tadi, Marcus dan Kevin rupanya sudah belajar dari pengalaman. Coach Herry Imam Pierngadi yang semalam terlihat "tidak bisa tenang", juga sudah membekali mereka dengan strategi khusus.
Yang terjadi, bila sebelumnya, ganda Jepang ini kerap mendominasi dengan mengincar Marcus sebagai sasaran smash dan Yuta punya defence kokoh yang sulit ditembus Kevin, di final tadi ceritanya berbeda. Marcus dan Kevin beberapa kali mampu menembus pertahanan Endo dan Watanabe.
Sejak awal, di final yang juga membuat "sakit mata" karena kedua pasangan memakai kostum berwarna putih, kedua finalis saling berkejaran dalam perolehan poin. Hingga skor sama kuat 16-16.Â
Sayangnya, di poin kritis ini, Marcus/Kevin malah kehilangan empat poin beruntun karena smash yang beberapa kali keluar lapangan. Utamanya smash Kevin. Ganda Jepang lantas unggul 20-16 dan mendapat game point. Marcus/Kevin bisa mendekat 18-20. Namun, smash Endo menuntaskan babak pertama.
Di game kedua, Marcus dan Kevin menguasai permainan. Mereka sempat unggul jauh 7-2 hingga unggul 11-7 di interval pertama. Lantas, mereka unggul 21-12 di game kedua.
Namun, di game ketiga, ganda Jepang justru langsung mendapatkan momentum di awal game. Mereka langsung unggul 6 poin. Toh, Marcus dan Kevin bisa menipiskan jarak hingga 9-11 di interval pertama.
Interval kedua menjadi duel yang menegangkan. Endo dan Watanabe sempat unggul 14-9 dan 15-11, tapi bisa disamakan 15-15. Ganda Jepang kembali unggul 18-16, tetapi hujaman smash beruntun dari Kevin dan Marcus membuat skor kembali sama, 18-18.
Lantas, sebuah smash ala balerina dari Kevin Sanjaya di depan net, membuat ganda Indonesia ini berbalik unggul 19-18. Kevin dan Marcus sejatinya punya momentum untuk memenangi pertandingan. Suporter Indonesia yang hadir di Birmingham Arena, juga bersorak riang.
Namun, pengembalian Kevin yang keluar lapangan, membuat skor jadi kembali sama, 19-19. Di situasi inilah, ganda Jepang mendapatkan momentum. Apalagi ketika serobotan Endo, gagal dikembalikan Kevin sehingga skor menjadi 19-20 untuk ganda Jepang.
Di sinilah puncak ketegangan. Jepang butuh satu poin lagi untuk menang. Sementara Marcus/Kevin butuh satu poin untuk menyamakan skor dan memaksa terjadi setting point (deuce).
Lalu yang terjadi, Yuta melakukan service tertuju kepada Kevin. Service rendah yang berhasil dikembalikan. Yuta lantas menempatkan bola di depan net. Dan, shuttlecock pengembalian Kevin ternyata keluar. Sebuah ending yang menyesakkan bagi ganda Indonesia. Ganda Jepang pun juara. Â
Marcus/Kevin gagal meraih gelar ketiga mereka di All England setelah juara di tahun 2017 dan 2018. Meski, hasil ini jauh lebih baik dari tahun 2019 lalu ketika mereka tersingkir di putaran pertama (babak 32 besar).
Dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org, Kevin mengaku sudah melakukan yang terbaik menghadapi lawan yang disebutnya konsisten dan tidak banyak melakukan kesalahan. Namun, dia menyebut kurang hoki dan kurang sabar, utamanya di poin-poin kritis.
"Hari ini kami sudah coba yang terbaik, mungkin sedikit kurang hoki juga. Karena di akhir game kami sudah sempat leading Waktu kami unggul 19-18 memang sedikit buru-buru ya. Pengen menyerang duluan malah mati sendiri," ujar Kevin.
Sementara Marcus menyebut lawan memang main bagus dan berani bermain nekad, terutama ketika poin kritis.Â
"Di akhir-akhir mereka melakukan spekulasi yang cukup nekat juga. Pastinya kami sudah mencoba melakukan yang terbaik. Ya mungkin belum rejeki ya," sambung Marcus seperti dikutip dari badmintonindonesia.org.
Yuta Watanabe, bocah pengukir sejarah
Keberhasilan Yuta dan Endo menjadi juara, mengukir sejarah baru bagi ganda putra Jepang di ajang All England. Mereka menjadi pasangan ganda putra pertama Jepang yang bisa menjadi juara di turnamen yang digelar sejak 1899 ini.
Selain itu, keberhasilan Yuta dan Endo membuat Jepang kini telah lengkap meraih semua gelar di All England. Di masa lalu, Jepang hanya mampu juara di sektor tunggal putri dan ganda putri. Dalam tiga tahun terakhir, tiga sektor lainnya juga bisa diraih.
Jepang juara di ganda campuran pada edisi 2018 yang juga gelar pertama sejak 1899. Lantas, tahun 2019 lalu, tunggal putra mereka juga juara di All England untuk kali pertama.
Nah, dari semua sejarah itu, nama Yuta Watanabe layak jadi sorotan. Bocah berusia 22 tahun ini seperti "membawa hoki" bagi bulutangkis Jepang. Tahun 2018 lalu, Yuta yang baru berusia 19 tahun, jadi juara ganda campuran bersama Arisa Higashino. Padahal, kala itu mereka bukan unggulan.
Tahun ini, Yuta kembali juara di ganda putra bersama Hiroyuki Endo, seniornya. Berpasangan dengan Yuta seolah menjadi keberuntungan bagi Endo. Sebab, sebelumnya, ketika bermain bersama Kenichi Hayakawa, Endo kerapkali sial ketika di final.
Faktanya, Endo bersama Hayakawa pernah tiga kali tampil di final All England 2013, 2014 dan 2016. Namun, dia kala beruntun dari lawan yang berbeda. Salah satunya dari ganda Indonesia, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di tahun 2014.Â
Kini, bersama Yuta Watanabe, Endo akhirnya bisa meraih gelar pertamanya di All England. Bahkan, mereka kini menang beruntun atas ganda rangking 1 dunia.
Selamat untuk Endo dan Watanabe yang akhirnya juara. Untuk Marcus/Kevin,kalian sudah tampil keren sepanjang pertandingan. Karenanya, bila ada yang masih mem-bully mereka setelah perjuangan yang sebegitu hebatnya, sungguh terlalu.
Saya yang menyaksikan langsung dari layar kaca TVRI hingga jam 1 dini hari, sempat yakin mereka akan juara. Namun, turn over di poin kritis itu menjadi pertanda, All England tahun ini memang bukan rezeki mereka. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H