Katakanlah bila menilai kinerja pemerintahan di daerah. Apa iya sama sekali tidak ada hasil kinerja yang bagus dari sebuah pemerintah daerah yang bermanfaat untuk masyarakat sehingga berita yang ditampilkan di media selalu jelek.
Bila hanya melihat yang buruk dan abai terhadap pencapaian bagus, apa yang disampaikan mantan Perdana Menteri Inggris ketika saya masih SD dulu, Margaret Thatcher ada benarnya. Bahwa, bila seseorang tidak menyukai kita, bilapun kita bisa berjalan di atas sungai, orang akan menyebarkan kabar bahwa kita tidak bisa berenang.
Karenanya, saya tidak sependapat bila ada media yang hanya bersemangat menampilkan sisi buruk. Isi medianya hanya berisi kabar buruk tentang apa yang terjadi di suatu kota. Kata mereka, bad news is good news.
Bahwa kabar buruk itu malah dianggap sebagai berita bagus yang disukai oleh pembaca. Sementara kabar bagus itu justru berita buruk yang sepi pembaca. Benarkah? Kalaupun benar, saya rasa tidak semua pembaca suka.
Sebenarnya, bila ada media yang konsisten mengkritik sembari memunculkan solusi, itu bagus. Yang tidak bagus adalah bila terus-terusan mengkritik tanpa menyodorkan jalan keluar. Apalagi bila doyan mengkritik, semisal penggunaan APBD dalam pembangunan di daerah. Tapi malah paling senang ketika meminta jatah advertorial (iklan) yang sumbernya dari APBD untuk ditayangkan di media mereka.
Narasumber yang menjadi kawan bagi media
Itu tadi dari sisi medianya. Dari sudut pandang media dalam berkawan dengan narasumbernya. Lalu, bagaimana dari sisi narasumber dalam kaitan sebagai teman dengan wartawan?
Bila memang menjadi "friend", narasumber tentu bisa menjalin hubungan dan komunikasi yang bagus dengan awak media. Tidak akan ada lagi kabar wartawan diintimidasi ketika menjalankan tugasnya.
Relasi yang baik itu wujudnya semisal berkenan meluangkan waktu meladeni sesi wawancara dengan awak media, baik lewat jumpa pers maupun wawancara door stop. Ataupun, mau meluangkan waktu untuk sekadar membalas pesan WhatsApp yang dikirimkan wartawan. Bilapun itu sekadar menyampaikan maaf karena dirinya sedang ada kegiatan. Daripada didiamkan dan tidak dibalas pesannya.
Bilapun dikritik oleh awak media, selama substansi kritikan itu memang tujuannya demi untuk perbaikan wilayah yang dipimpinnya, narasumber tidak seharusnya marah-marah. Seharusnya, itu bisa menjadi masukan untuk melakukan perbaikan.
Apalagi, media yang kredibel, dalam memuat berita, itu sudah lewat beberapa filter (saringan) karena berita yang ditampilkan itu berpengaruh pada kredibilitas media mereka di mata masyarakat. Jadi tidak asal memuat berita.
Pendek kata, bila ketika dipuji senang luar biasa, ya jangan marah ketika sedang dikritik. Karenanya, seperti yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya, kawan yang baik adalah mereka yang terbuka dengan pujian dan kritikan.
Memang, di lapangan, kita tidak bisa menutup mata. Bahwa, ada mereka yang mengaku-ngaku bagian dari insan media, yang malah berulah dan mencoreng wajah pers. Berulah semisal berlagak mewawancara tapi pada akhirnya ujung-ujungnya duit.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!