Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Pelajaran dari "Kegagalan" Tim Putri Bulu Tangkis Meraih Medali Emas

3 Desember 2019   20:26 Diperbarui: 3 Desember 2019   21:56 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim beregu putri bulu tangkis Indonesia meraih medali perak SEA Games 2019 usai kalah 1-3 dari Thailand di final, Selasa (3/12)/Foto: badmintonindonesia.org


Tim beregu bulu tangkis putri Indonesia membawa pulang medali perak di SEA Games 2019. Gregoria Mariska dan kawan-kawan harus puas meraih medali perak setelah takluk 1-3 dari Thailand di final yang digelar Muntinlupa Sport Complex, Selasa (3/12).

Saya sengaja memberikan tanpa petik pada kata kegagalan dalam judul tulisan ini. Maksudnya, kata kegagalan merespons capaian tim beregu bulu tangkis putri Indonesia di final itu bisa bermakna multitafsir. Bisa dimaknai gagal. Bisa pula dimaknai berhasil. Kok bisa begitu?

Bisa dimaknai gagal karena yang namanya kalah di laga final, tentu saja gagal. Mengecewakan. Bahkan menyakitkan. Sebab, ketika sudah tampil di final, terlepas menjadi unggulan atau tidak, ekspektasi yang muncul tentunya diharapkan bisa juara.

Sebelum tampil menghadapi pemain-pemain Thailand, tim beregu Indonesia pastinya juga menyimpan harapan ingin membawa pulang medali emas. Apalagi, sudah lama tim putri Indonesia tidak meraih medali emas SEA Games. Kali terakhir terjadi 12 tahun lalu.

Tepatnya di SEA games 2007 di Nakhon Ratchasima, Thailand. Kala itu, tim berebu putri yang mengandalkan Maria Kristin Yulianti, Ardianto Firdasari, Liliyana Natsir, Vita Marissa, Jo Novita dan Greysia POlii, meraih medali emas usai mengalahkan Singapura 3-2 di final.  

Namun, harapan itu tinggal harapan. Tim beregu putri hanya mampu meraih medali perak. Tim beregu putri Thailand yang selalu juara sejak tahun 2011, masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Capaian medali perak sudah sesuai target

Toh, meski menjadi runner-up, tim beregu putri Indonesia masih bisa dikatakan berhasil. Karena memang, tim beregu putri mampu memenuhi target dari PP Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di SEA Games tahun ini.

Toh, capaian ini juga masih lebih bagus dibandingkan dua edisi SEA Games sebelumnya (2015, 2017) ketika tim beregu putri hanya mampu meraih medali perunggu karena gagal ke final.

Dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI, Susy Susanti menyebut raihan medali perak itu sesuai prediksi karena target dari awal memang seperti itu.

"Hasil ini sudah sesuai prediksi dan target dari awal. Kekuatan tim Thailand juga memang lebih unggul, khususnya di sektor tunggal," ujar Susy Susanti, seperti dikutip dari https://badmintonindonesia.org/app/information/newsDetail.aspx?/8772.

Apakah PBSI dan Susy Susanti kurang optimistis dengan potensi tim beregu putri sehingga hanya menargetkan medali perak? Apakah PBSI dan Susy sejak awal tidak yakin bila tim beregu putri Indonesia mampu mengalahkan Thailand di SEA Games kali ini?

Saya lebih suka memakai kata realistis dibandingkan kata kurang optimistis ataupun kurang yakin. Dalam olahraga, kata realistis ini mungkin acapkali dianggap kurang percaya diri. Namun, kata realistis ini justru penting agar tetap berpikir apa adanya.

Dalam hal ini, adalah realistis ketika PBSI menargetkan 'sekadar' masuk ke final bila menengok kekuatan tim beregu putri Indonesia. Dengan nomor beregu memainkan lima pertandingan, yakni tiga tunggal putri dan dua ganda putri, PBSI pastinya sudah berhitung peluang.

Bahwa, secara kualitas dan peringkat BWF, tunggal putri kita memang masih kalah dibandingkan dengan tunggal putri Thailand. Mereka punya juara dunia 2013, Ratchanok Intanon (24 tahun) yang kini rangking 5 dunia. Juga ada Busanan Ongbamrungphan (23 tahun) yang kini menempati rangking 16 dunia.  

Sementara dua tunggal putri utama Indonesia, Gregoria Mariska (rangking 24 dunia) dan Fitriani (rangking 2 dunia), belum mampu tampil stabil di turnamen-turnamen BWF World Tour selama tahun 2019 ini.

Artinya, taruhlah Thailand unggul 2-0 di nomor tunggal, Indonesia harus memenangi dua nomor ganda bila ingin memaksakan pertandingan kelima. Masalahnya, ganda putri Indonesia juga tidak cukup kuat.

Pendek kata, tim beregu putri Indonesia kali ini memang belum bisa dibandingkan dengan tim 2007 silam. Kala itu, Maria Kristin dan Ardianti Firdasari jadi andalan meraih poin. Bahkan, mereka masuk final nomor perorangan. Sektor ganda putri juga menghadirkan all Indonesia final di nomor perorangan lewat Liliyana/Vita dan Jo Novita/Greysia. Bisa dibayangkan betapa dominasi tim putri Indonesia kala itu. 

Realistis karena tim putri Indonesia 'kalah kualitas' di sektor tunggal putri

Hitung-hitungan di atas kertas itu menjadi kenyataan di final yang mulai digelar sejak pukul 09.00 waktu Filipina pagi tadi. Di pertandingan pertama, Gregoria masih belum mampu mengalahkan Ratchanok. Kalah 13-21 di game pertama, Gregoria sempat unggul 21-12 di game kedua untuk memaksakan rubber game.

Sayangnya, 'kebiasaan' Gregoria yang acapkali under perform di game ketiga seperti di turnamen-turnamen BWF selama ini, kembali terulang. Pemain kelahirna Wonogiri ini kalah 14-21 di game ketiga. Thailand pun unggul 0-1.

Di game kedua, pasangan ganda putri, Ni Ketut Mahadewi Istarani dan /Apriyani Rahayu sempat menghidupkan harapan. Ni Ketut/Apriani yang sejak perempat final selalu menyumbangkan poin, berhasil mengalahkan Rawinda Prajongjai/Puttita Supajirakul, 21-17, 21-18. Skor pun 1-1.

Di game ketiga kembali memainkan laga tunggal. Fitriani melawan Busanan. Saya sempat berharap, Fitri bisa mengulang penampilan hebat saat dia juara Thailand Masters pada 13 Januari 2019 lalu. Kala itu, Fitri mengalahkan Busanan untuk meraih gelar yang menjadi satu-satunya koleksinya di BWF World Tour.

Sayangnya, Fitriani di akhir tahun, sangat berbeda dengan Fitri di awal tahun ini. Di babak sebelumnya, dia selalu kalah saat melawan pemain Vietnam dan pemain Singapura. Itu membuat Fitriani jadi sasaran bullying di media sosial. Banyak komentar warganet yang mencemooh penampilannya.

Yang terjadi, Fitri kembali kalah. Malah dengan skor telak. Dia dikalahkan Busanan dengan skor 'sadis', 8-21, 10-21. Kekalahan telak itu membuat pemain kelahiran Garut ini lagi-lagi jadi sasaran bullying warganet. Beberapa netizen menyebut Fitri tampil kurang semangat. Padahal, dia membela negara.

Kekalahan Fitri membuat ganda putri Siti Fadia Silva/Ribka Sugiarto yang tampil di pertandingan keempat, menanggung beban berat. Bila mereka menang, Indonesia akan 'memperpanjang nafas'. Menyamakan skor 2-2 dan menjadikan laga kelima sebagai penentuan. Namun, bila Siti/Ribka kalah, final pun berakhir.

Yang terjadi, Siti Fadia/Ribka yang tahun ini meraih gelar di Indonesia Master Super 100 pada Oktober lalu, malah tampil kurang lepas. Mereka tidak mampu mengulang penampilan saat menang di semifinal melawan Singapura kemarin. Siti/Ribka kalah 8-21, 17-21 dari Chayanit Chaladchalam/Phataimas Muenwong. Thailand pun menang 3-1 dan meraih medali emas.

Merespons penampilan tim beregu putri, Susy menyebut Gregoria sudah bermain lumayan. Namun, masih belum bisa konsisten dalam permainan. Khusus Fitriani, Susy menyebut dia belakangan kurang bisa mengembangan permainan yang seharusnya. 

"Pola permainan agak berubah dari sebelumnya. Sekarang sering kurang sabar dan buru-buru ingin mematikan lawan. Kami harapkan pelatih bisa membenahinya, seperti permainan waktu di Thailand Masters saat dia juara," ungkap Susy.

Pelajaran dari SEA Games untuk tim putri Indonesia

Toh, meski tidak mampu membawa pulang medali emas, masih ada beberapa kabar bagus. Ada blessin in disguise. Utamanya merujuk penampilan beberapa pemain tim beregu putri sejak babak perempat final hingga final.

Yang paling menggembirakan adalah penampilan ganda putri Ni Ketut Mahadewi/Apriani Rahayu. Meski baru dipasangkan di kompetisi resmi, keduanya tampil apik. Dalam tiga pertandingan beregu di SEA Games 2019, mereka selalu menang.

Bahkan, tidak sekadar menang, Ni Ketut/Apriani mempertontonkan penampilan enerjik dan menyerang yang membuat lawan-lawan mereka kewalahan. Ni Ketut 'ganas' bermain di depan net. Sementara Apriani bermain sebagai 'playmaker' di belakang.

Keduanya sempat belum panas saat melawan Vietnam sehingga dipaksa bermain rubber game. Namun, mereka kemudian menang telak 21-8, 21-8 saat melawan Singapura di semifinal.

Di final, mereka menang straight game atas Rawinda Prajongjai/Puttita Supajirakul. Padahal, Rawinda merupakan peraih medali emas ganda putri SEA Games 2017. Meski kala itu, dia bermain dengan Jongkolphan Kititharakul. Kala itu, dia mengalahkan Puttita yang berpasangan dengan Sapsiree Taerattanachai. Dari kemenangan ini, terlihat potensi Ni Ketut/Apri.

Penampilan Ni Ketut/Apriani di SEA Games 2019, bak menjadi 'oase di padang pasir' menyusul peampilan ganda putri kita yang kurang greget sepanjang tahun 2019 ini. Apri dan Greysia Polii yang memang sudah berusia 32 tahun, penampilannya cenderung menurun tahun ini. Sementara pasangan senior lainnya, Rizki Amelia Pradipta/Della Destiara, masih 'jalan di tempat'.

Ke depan, Apriani (21 tahun) dan Ni Ketut Maharani (25 tahun), bisa dipertimbangkan untuk dicoba dipasangkan. Sama-sama enerjik. Smashnya akurat dan keras, juga punya semangat daya juang. Siapa tahu hasilnya ternyata dahsyat.

Penampilan Siti Fadia dan Ribka Sugiarto yang sama-sama berusia 19 tahun, juga perlu diapresiasi. Di penampilan perdananya di SEA Games, mereka sempat tampil bagus saat menjadi penentu kemenangan Indonesia atas Singapura. Padahal, kala itu, andai mereka kalah, skor bisa 2-2. Toh, pasangan muda ini memperlihatkan mental tangguh di laga mendebarkan.

Sementara untuk sektor tunggal, seperti kata Susy, itu memang menjadi pekerjaan rumah bagi kepala pelatih tunggal putri Pelatnas, Rionny Mainaky. Terlebih, penampilan tunggal putri kita di BWF World Tour tahun ini, memang masih jauh dari kata bagus. Sekadar merepotkan pemain top dunia tapi belum bisa membuat kejutan.

Ah, capaian medali perak ini tentu saja harus kita apresiasi. Namun, kita juga jadi berandai-andai, kapan tim beregu putri Indonesia bisa kembali punya pemain-pemain yang berkualitas merata baik di sektor tunggal maupun ganda seperti di SEA Games 2007 lalu. Ah, semoga Indonesia masih bisa punya pemain tunggal putri dengan kualitas seperti Maria Kristin ataupun Ardianti Firdasari. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun