Mengaku blogger tapi tak punya blog pribadi. Begitu kalimat yang acapkali menggoda pikiran saya. Godaan itu muncul ketika nama saya ditampilkan dalam banner sebagai juri lomba blog atau pembicara tentang penulisan blog. Atribut 'jabatan' yang tertulis setelah nama saya memang blogger dan penulis lepas.Â
Sebenarnya, sekira tiga tahun lalu, saya pernah punya blog pribadi. Blog tersebut juga sempat 'hidup' selama beberapa waktu. Sejujurnya, saya tertarik punya blog pribadi karena tergoda dengan banyaknya lomba penulisan yang dikhususkan untuk blog pribadi. Sementara platform "blog keroyokan" seperti Kompasiana tidak diperbolehkan.
Namun, karena berbagai pertimbangan, saya lantas memutuskan untuk hanya menulis di Kompasiana. Kini, setelah beberapa tahun tak pernah dikunjungi, ibarat rumah, blog pribadi saya itu pastinya sudah berdebu. Bahkan, tak hanya penuh debu, mungkin sudah penuh sarang laba-laba. Atau juga ditumbuhi semak belukar karena saking lamanya tidak dikunjungi.
Kenapa lebih memilih Kompasiana dibanding blog pribadi?
Dulu, pertimbangan saya memilih Kompasiana dibanding blog pribadi, sederhana saja. Pertama, saya lebih dulu menulis di Kompasiana. Saya mulai menulis di 'rumah ini' pada akhir tahun 2010. Sementara blog pribadi baru beberapa tahun kemudian. Karenanya, ada rasa cinta lebih kepada Kompasiana dibanding blog pribadi.
Kedua, tulisan-tulisan yang saya posting di blog pribadi, hampir sama dengan yang saya unggah lebih dulu di Kompasiana. Sebab, karena waktu banyak tersita untuk rutinitas kerja di kantor, sulit membuat dua tulisan berbeda untuk dua 'rumah'. Karenanya, bila tulisannya sama, saya lantas berpikir "mengapa harus 'bermain' di dua rumah?". Jadilah menulisnya di Kompasiana saja.
Ketiga, tujuan menulis tentunya agar tulisannya bisa dibaca orang lain. Soal apakah tulisannya bisa menginspirasi, mengedukasi, menginformasi, ataupun menghibur pembaca, itu tahapan berikutnya. Terpenting tulisannya ada yang (banyak) membaca dulu. Merujuk tujuan ini, saya merasakan kenikmatan lebih ketika menulis di Kompasiana dibandingkan di blog pribadi.
Saya mulai menulis (ngeblog) di Kompasiana sejak Desember 2010 atau dua tahun sejak Kompasiana 'lahir'. Di awal bergabung, saya menganggap Kompasiana itu tempatnya bersuka ria dengan tulisan. Menulis untuk bersenang-senang. Hanya itu.
Kala itu, saya yang masih bekerja di "pabrik koran" yang setiap hari mewawancara narasumber lantas menulis sembari dikejar-kejar deadline. Bagi saya kala itu, menulis di Kompasiana seperti jeda yang menyegarkan di tengah pekerjaan menulis yang serius.
Seiring berjalannya waktu, kemajuan digital telah 'menaikkan kelas' tulisan di Kompasiana dibandingkan era sedekade lalu. Dulu, ketika menulis di Kompasiana, palingan yang tahu hanya para Kompasianer (baca: warga Kompasiana). Efek tulisan kita pun hanya mengena ke beberapa orang saja karena kekuatan penyebaran beritanya yang masih lemah.
Bandingkan dengan sekarang, ketika tulisan kita di Kompasiana bisa dengan mudah menjadi tren di google. Bisa dengan mudah dibagikan di media sosial penulis maupun kanal media sosialnya Kompasiana, lantas menjadi viral yang dibaca oleh jutaan orang.