Namun, ketika menyampaikan hal itu, Apriska yang tengah dalam kondisi hamil, harus menahan marah demi mendengar jawaban petugas. Sebab, dia lantas diarahkan ke 'meja' yang lain. Lalu, kembali ditanya kronologisnya dan dijawab dengan kalimat dia akan dibantu pengurusan dokumennya tetapi ada biaya Rp 250 ribu bila buku nikahnya berbentuk buku. Sementara bila hanya berbentuk lembaran biayanya seikhlasnya alias gratisan.
Yang terjadi kemudian, Selasa pagi kemarin, Apriska menerima direct message (DM) dari Menteri Agama yang meminta mengirimkan nomor handphone. Pak menteri bahkan langsung menelepon Apriska.Â
"Pak Lukman Menag telepon saya tadi Subuh. Tanya kronologinya bagaimana dan mengatakan akan menindaklanjuti serta menyelidiki kasus ini. Saya juga sudah sudah tweet kalau kasus saya ini sudah direspon oleh Menag," ujar Apriska seperti dikutip dari kelanakota.
Pungli budaya lama, kenapa masih dipelihara?
Bagi saya, mencuatnya kasus pungli buku nikah tersebut cukup mengejutkan. Pernah bekerja di instansi pemerintahan di Surabaya, membuat saya cukup paham, bahwa sejak beberapa tahun lalu, 'perang melawan pungli' ini sudah seringkali digembor-gemborkan di hampir semua instansi pemerintah di Surabaya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) juga beberapa kali wira-wiri datang ke Surabaya untuk membagikan informasi dan juga edukasi perihal jerat korupsi, termasuk imbauan agar para abdi masyarakat menjauhi praktik pungli.
Bahkan, bila kita mengurus hal yang berkaitan dengan layanan publik, semisal  administrasi kependudukan, kita bisa dengan mudah menemukan informasi ataupun stiker perihal larangan pungli tersebut di kantornya. Lha wong informasi itu memang sengaja ditempelkan di tempat yang mudah dilihat oleh mata.
Karenanya, saya cukup terkejut. Kok ya masih ada 'pelayan masyarakat' yang masih berani melakukan pungutan liar. Seharusnya, para petugas itu sadar bahwa eranya kini sudah berubah.
Memang, dulu, pungutan liar seolah menjadi kebiasaan yang bahkan dianggap bagian dari budaya. Bahwa setiap mengurus apa-apa terkait urusan publik, harap maklum bila ada biayanya. Sampean (Anda) mungkin juga pernah merasakan menjadi korban pungli.
Zaman dulu, pungutan liar seolah dianggap prosedur yang biasa. Malah, petugas seolah punya kuasa untuk melakukan pungli. Bahwa, kalau mau urusan beres, ya harus bayar dulu. Meski sejatinya urusan itu bisa selesai tanpa perlu bayar.
Sementara, banyak warga yang menurut saja. Mereka pasrah karena berpikir yang penting urusan bisa selesai, daripada ribet. Malah ada yang memberi pungli dengan sukarela.Â