Salah satu bagian paling menarik dari olahraga adalah hasil akhir yang sukar dinalar. Olahraga acapkali menghasilkan misteri yang sukar dimengerti. Prediksi awam bahkan seorang pakar sekalipun, terkadang sekadar menjadi bualan belaka karena prediksinya sangat jauh berbeda dengan kenyataan sebenarnya.
Karena memang, hasil apapun, bahkan yang sama sekali tidak diduga sekalipun, bisa terjadi di lapangan. Sebab, lapangan olahraga bukanlah layar mesin penghitung yang menampilkan hasil baku dari sebuah hitung-hitungan.
Ya, tidak ada yang mustahil terjadi di olahraga. Kalau kata bahasa ibunya orang luar negeri sana, impossible is nothing. Terlebih di olahraga seperti bulutangkis yang tingkat kemampuan antara pemain satu dengan lainnya, nyaris setara. Semuanya bisa saling mengalahkan selama punya kesiapan fisik dan mental, sabar dan mau capek di lapangan.
Sampean (Anda) yang mengikuti bulu tangkis, pastinya paham bagaimana kualitas ganda putra Indonesia, Marcus Gideon/Kevin Sajaya yang kini menempati rangking 1 dunia. Dalam dua tahun terakhir, mereka menjelma menjadi "monster" yang 'rakus gelar'.
Marcus/Kevin mendominasi sektor ganda putra. Faktanya, gelar demi gelar bergengsi mereka raih. Tahun lalu mereka meraih 8 gelar BWF World Tour plus medali emas Asian Games 2018. Lalu, di tahun ini, mereka sudah meraih empat gelar. Dua gelar diraih pada bulan lalu, yakni di Indonesia Open dan Japan Open.
Dikalahkan ganda putra Korea Selatan, Marcus/Kevin belum mampu jadi juara dunia
Pencapaian itu membuat kita dengan mudah menyebut pasangan yang dijuluki Minnions ini tengah dalam kondisi on fire. Karenanya, tidak mengherankan bila Marcus/Kevin diunggulkan sebagai unggulan 1 di ajang BWF World Championship alias Kejuaraan Dunia 2019 yang digelar di Basel, Swiss.
Banyak orang meyakini, tahun inilah saat terbaik bagi Marcus/Kevin untuk menjadi juara dunia. Gelar di level tertinggi yang selama ini belum mampu mereka raih. Lha wong lawan-lawan yang dihadapi juga pemain-pemain itu saja. Pemain-pemain yang bisa mereka kalahkan di rangkaian turnamen BWF World Tour.
Namun, yang terjadi di Basel Swiss, hasilnya sungguh di luar dugaan. Marcus/Kevin yang menjadi unggulan 1, langsung tersingkir setelah kalah di pertandingan pertama. Mereka dikalahkan pasangan muda asal Korea Selatan, Choi Solgyu/Seo Seung-jae lewat pertarungan rubber game selama 1 jam 4 menit, Rabu (21/8) kemarin.
Dikutip dari bwfworldchampionship.bwfbadminton.com, Marcus/Kevin sejatinya mampu mengawali pertandingan dengan baik. Mereka menang di game pertama 21-16. Namun, entah apa yang terjadi di game kedua, mereka takluk dengan skor cukup jauh 14-21.
Di game penentuan, lagi-lagi mereka berada dalam situasi tertekan. Mereka acapkali tertinggal dalam perolehan poin. Ganda Korea ini sempat unggul 16-13. Namun, Marcus/Kevin mampu membalik situasi dan menyentuh match point 20-19 lebih dulu.
Siapa sangka, Choi/Seo justru menyamakan skor dan terjadi adu setting point. Marcus/Kevin lalu balik tertinggal 20-21. Pada akhirnya, Marcus/Kevin kalah 21-23.
Kekalahan cepat ini memupus mimpi Marcus/Kevin untuk menjadi juara dunia. Sebelumnya, di dua kesempatan tampil di Kejuaraan Dunia, mereka selalu terhenti di perempat final. Termasuk di Nanjing, Tiongkok 2018 lalu saat mereka dikalahkan ganda Jepang, Takeshi Kamura/Keigo Sonoda.
Mengapa Marcus/Kevin kalah dari pasangan muda Korea yang tahun ini bahkan belum pernah meraih gelar BWF World Tour ?
Dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org, Kevin/Marcus mengakui bahwa lawan kali ini memang bermain lebih bagus. Diakui Kevin, pasangan Korea tersebut sulit dimatikan.
Celakanya, justru Marcus/Kevin yang tampil kurang kalem sehingga cukup sering melakukan kesalahan sendiri yang menjadi "poin gratis" bagi lawan.
"Di poin-poin akhir kami kurang tenang dan banyak melakukan kesalahan sendiri," kata Kevin.
Faktor lain yang membuat Marcus/Kevin takluk karena mereka terpengaruh dengan strategi lambat yang dimaikan pasangan Korea.
Kita tahu, Marcus/Kevin adalah tipikal pemain yang doyan menyerang dengan mengandalkan permainan cepat baik lewat adu drive, netting cepat ataupun smash tajam. Nah, pasangan Korea rupanya enggan meladeni permainan cepat ala Marcus/Kevin.
"Mereka banyak menekan kami, mereka nggak gampang mati. Kami banyak nggak siap dan buru-buru. Mereka juga memperlambat tempo, jadi mengganggu mainnya," ujar Marcus dikutip dari https://badmintonindonesia.org/app/information/newsDetail.aspx?/8358
Tentu saja, kekalahan pemain Indonesia di ajang penting, selalu terasa pahit. Apalagi bila yang kalah adalah Marcus/Kevin yang selama ini paling sering memberikan gelar untuk Indonesia.
Namun, harus dipahami, Marcus/Kevin pastinya sudah berjuang maksimal. Bila kita yang sekadar penggemar bulutangkis ini ingin melihat mereka menang dan jadi juara, apalagi mereka yang bermain di lapangan dan belum pernah merasakan gelar juara dunia. Keinginan mereka pastinya jauh lebih besar untuk jadi juara di Swiss.
Tetapi memang, sehebat-hebatnya atlet, mereka juga manusia yang sesekali terjatuh. Apalagi, lawan-lawan yang bertemu mereka pastinya akan sangat termotivasi mengalahkan mereka.
Sebab, bila bisa mengalahkan Marcus/Kevin, tentunya mereka akan menjadi headline. Begitu juga yang terjadi pada Choi Solgyu/Seo Seung Jae.
Sebenarnya, siapa ganda Korea ini?
Pasangan ganda putra Korea ini bisa dibilang merupakan 'proyek eksperimen'. Sebelumnya, Choi Solgyu (24 tahun) merupakan pemain ganda campuran sejak di level junior. Bersama Chae Yoo-jung, mereka pernah jadi juara Asia junior 2012 dan 2013. Lantas jadi juara di beberapa turnamen BWF Grand Prix dan International Challenge.
Sementara Seo Seung-jae bermain dobel di ganda putra dan ganda campuran. Dia meraih beberapa gelar di anda campuran bersama, pemain senior Kim Ha-na. Termasuk juga bermain bareng Chae Yoo-jung dengan meraih gelar di Spain Masters dan German Open di tahun 2019 ini.
Nah, pasangan ganda putra ini baru bermain bersama sejak tahun lalu. Mereka merangkak dari bawah dengan tampil di turnamen International Challenge. Mereka juara di Irish Open dan Norwegian International 2018 yang lawan-lawannya tentu bukan pemain top.
Namun, di level yang lebih tinggi, yakni BWF World Tour, keduanya tak terlalu 'banyak bicara'. Prestasi tertinggi hanyalah juara di Korea Masters Super 300 pada akhir tahun lalu.
Sementara tahun ini, prestasi terbaik mereka hanyalah finalis Spain Masters 2019 pada Februari lalu.
Tetapi memang, seperti yang saya tuliskan di awal tulisan ini, rivalitas dalam bulutangkis itu sangat cair. Tidak ada teorinya, pemain unggulan selalu bisa menang melawan pemain yang bukan unggulan. Yang berlaku, siapa yang paling siap fisik dan mental, sabar dan siap capek di lapangan, mereka yang akan menang.
PR serius bagi PBSI
Hasil pahit ini tentunya menjadi 'pukulan keras' bagi Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Sebab, tidak sekali ini, Marcus/Kevin gagal meraih hasil bagus di turnamen penting. Sebelumnya, mereka juga gagal di All England 2019.
Kegagalan pemain andalan Indonesia seperti Marcus/Kevin di turnamen penting, tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) serius bagi PBSI. Jangan sampai cerita ini terulang di kemudian hari. Utamanya di Olimpiade 2020 di Tokyo yang tentu saja menjadi target utama.
Jangan sampai, mereka panen gelar di turnamen BWF World Tour tetapi justru malah gagal di turnamen 'kelas berat' yang menjadi prioritas. Ini yang harus dievaluasi PBSI. Apakah karena Marcus/Kevin terlalu sering tampil di turnamen sehingga ke depannya harus lebih selektif? Ataukah karena lawan memang tampil lebih termotivasi ketika melawan mereka?
Tapi, saya percaya, Marcus/Kevin bisa segera bangkit dari hasil pahit di Basel ini.
Kabar bagusnya, Indonesia maisih punya dua wakil ganda putra di putaran ketiga. Tadi malam, pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto mampu meraih kemenangan di putaran kedua.
Hari ini, mereka akan kembali tampil untuk memperebutkan tiket lolos ke perempat final. Bila lancar, mereka bisa bertemu di semifinal.
Ah, siapa tahu, kisah di All England 2019 lalu terulang. Ketika Marcus/Kevin tersingkir, Hendra/Ahsan tampil sebagai juara. Dan itu berarti Hendra/Ahsan akan meraih gelar juara dunia ketiga setelah tahun 2013 dan 2015 silam. Atau, siapa tahu Kejuaraan Dunia 2019 ini menjadi pembuktian bagi Fajar/Alfian.
Apapun itu, mari berdoa yang terbaik untuk Indonesia. Semoga Basel lebih ramah bagi pemain-pemain Indonesia. Tidak seperti di Kejuaraan Dunia di Nanjing tahun 2018 lalu ketika tak satupun pemain Indonesia naik podium juara. Salam bulutangkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H