Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Argentina yang Merana 26 Tahun di Benuanya Sendiri

4 Juli 2019   07:08 Diperbarui: 4 Juli 2019   07:10 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Argentina lagi-lagi merana di Copa America/Foto: Sport360

Apa yang sebenarnya terjadi pada Timnas Argentina sehingga mereka seolah selalu sial ketika tampil di turnamen besar? Sial di Piala Dunia, juga di Copa America. Terbaru, Argentina gagal lolos ke final Copa America 2019 setelah dikalahkan Brasil 2-0 di semifinal, Selasa (3/7) kemarin.

Saya sebenarnya tidak percaya adanya kutukan di sepak bola. Namun, bila melihat kesialan Argentina yang  tidak mampu juara di Copa America selama 26 tahun (bahkan 33 tahun di Piala Dunia), kutukan itu seolah hidup bersama Argentina. Ia seolah bersenandung "Don't Cry for Me Argentina" di setiap turnamen besar.

Faktanya, di Copa America, sejak Gabriel Batistuta dan kawan-kawannya memenangi Copa America edisi 1993 di Ekuador, Argentina tak pernah lagi mencecap manisnya juara di benuanya. Sudah 26 tahun, setiap gelaran Copa America, Argentina merana. Padahal, mereka selalu tampil di Copa America dengan pemain-pemain pilihan.

Ketika Batistuta juga Diego Simeone membawa Argentina juara tahun 1993 silam, sebagian besar pemain Argentina yang tampil di Copa America 2019, belum lahir. Diantaranya Lautaro Martinez, Leandro Paredes, Juan Foyth, Rodrigo de Paul, Giovani Lo Celso, juga Paulo Dybala.

Dari daftar pemain inti, ada kiper Franco Armani, Nicolas Otamendi, Sergio Aguero dan German Pezzella yang sudah lahir. Itupun rata-rata mereka masih berusia lima tahunan. Pezella malah baru berusia dua tahun, sehingga belum tahu bagaimana euforia kemenangan Argentina 2-1 atas Meksiko di final. 

Bagaimana dengan Lionel Messi?

Ketika final digelar pada 4 Juli 1993, dia baru berusia lima tahun (Messi lahir 24 Juni 1987). Namun, apa mau dikata, di usianya yang kini sudah 32 tahun, Messi yang disebut-sebut sebagai pemain terhebat Argentina dan juga dunia setelah era Maradona, ternyata belum mampu melakukan hal sama yang pernah dilakukan Maradona. Jangankan Maradona yang jelas-jelas juara dunia, mengikuti jejak Batistuta saja dia belum mampu.

Meski sudah empat kali tampil di Copa America, Messi belum mampu membawa Argentina juara dunia. Dia melakukan debut di Copa America edisi 2007 saat usianya 20 tahun. Di tahun itu, Messi ikut andil membawa Argentina ke final dengan mencetak dua gol.

Sayangnya, di final, Argentina dihajar Brasil 0-3. Satu gol Brasil kala itu dicetak Dani Alves yang kemarin menjadi penghancur pertahanan Argentina yang berujung gol pertama Brasil.

Lantas, di Copa America 2011, Argentina terhenti di perempat final. Lalu, di Copa America 2015 dan 2016, Messi nyaris membawa negaranya juara. Sayangnya, Argentina kalah beruntun di final dari lawan yang sama, Chile dan dengan cara yang sama (adu penalti). Malah, di final 2016, Messi sebagai penenang penalti pertama, gagal menyarangkan bola.

Dan, kekalahan 0-2 dari Brasil di semifinal, Selasa (3/7) kemarin, sepertinya bukan akhir cerita petualangan Messi di Copa America. Mungkin saja ia akan kembali mengumumkan 'pensiun' membela Argentina seperti yang ia lakukan usai final Copa America 2016 yang lantas dianulirnya.

Namun, dengan Copa America digelar tahun depan (2020) dengan Argentina jadi tuan rumah bersama Kolombia, petualangan Messi di turnamen antar negara tertua di dunia ini belum usai.

Sebenarnya, apa masalah Argentina sehingga acapkali 'sial' di turnamen besar?

Merujuk pada kekalahan dari Brasil itu, kalau seperti ini, rasanya sampai kapanpun Argentina tidak akan bisa juara di benuanya. Kata "seperti ini" yang saya maksud adalah ketidakmampuan Argentina untuk tampil superior di laga krusial. Argentina justru acapkali terpuruk di laga penting yang seharusnya mereka tampil on fire.

Tengok data-data ini. Sebelum melawan Brasil di semifinal kemarin, Argentina berbekal kemenangan clean sheet beruntun (2-0) atas Qatar di laga penentuan fase grup dan atas Venezuela di perempatfnal. Namun, pertahanan mereka justru bak tim amatiran saat melawan Brasil.

Di final Copa America tahun 2016 lalu, Argentina diunggulkan juara. Messi dan kawan-kawan tampil hebat di perempat final dengan mengalahkan Venezuela 4-1 dan menghajar Amerika Serikat 4-0 di semifinal. Yang terjadi, mereka tidak bisa mencetak gol di final. Begitu juga di final 2015, Argentina melenggang ke final lewat kemenangan dashyat, 6-1 atas Paraguay. Namun, kemenangan itu seperti tak membekas di final saat melawan Chile.

Begitu juga di Copa America 2011. Argentina melaju ke babak knock out dengan kemenangan meyakinkan, 3-0 atas Kostarika lewat penampilan apik trio Messi, Sergio Aguero dan Angel Di Maria. Di perempat final, Argentina malah loyo saat melawan Uruguay dan kalah adu penalti.

Dan yang paling tragis adalah di Copa America 2007 yang menjadi debut Messi. Argentina melaju ke final setelah menang telak 3-0 atas Meksiko yang tengah tampil ganas diantaranya mengalahkan Brasil di fase grup. Sementara Brasil ke final "hanya" menang adu penalti atas Uruguay. Yang terjadi di final? Gawang Argentina jebol tiga kali dan tidak mampu membalas.

Saya tidak tahu apa yang salah dengan Timnas Argentina sehingga mereka seringkali tampil buruk di pertandingan yang seharusnya mereka tampil sempurna. Apakah pemain-pemainnya kurang bisa menjiwai ketika berkostum Timnas seperti halnya pemain-pemain Italia yang ketika menyanyikan lagu kebangsaannya saja, semangatnya sudah luar biasa? Entahlah.

Yang jelas, bila sudah seperti itu, Argentina sepertinya tidak akan lagi bisa juara di benuanya. Lha bagaimana mau juara bila hanya tampil bagus di fase grup tetapi melempem di semifinal.

Andai terus-terusan gagal di Copa America, Argentina akan melewati "rekor" Timnas Indonesia yang juga merindu gelar di 'wilayahnya' sendiri. Kita tahu, Timnas Indonesia senior tidak mampu meraih trofi bergengsi di sepak bola sejak menjuarai ajang sepak bola SEA Games tahun 1991 silam.

Bila seperti itu, sebagai fans, lama-lama suporter Argentina yang frustrasi mungkin akan berteriak "bermain pragmatis saja daripada mencoba bermain indah, tapi merana dan selalu gagal juara". Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun