"Alhamdulillah sudah jadi Mas, tinggal dipasang genteng dan pintu depan".
Begitu luapan syukur Siswanto (36 tahun) ketika malam-malam mengajak saya melihat bangunan rumahnya yang siap ditempati. Wajahnya gembira. Tentu saja. Kepala keluarga mana yang tidak gembira bila akhirnya bisa memiliki rumah sendiri.
Dua tahun lalu, rumah itu mulai dibangunnya di sepetak tanah warisan orangtua. Rumah itu dibangun "dicicil". Dibangun bagian demi bagian. Setiap punya uang, ia rupakan semen, batu bata, pasir dan material lainnya. Setelah pondasi terbangun, pembangunan sempat terhenti. Menunggu duit terkumpul lagi.
Alon-alon sing penting klakon. Pelan-pelan yang penting jadi. Setelah hampir dua tahun dibangun, rumah sederhana berukuran 5x12 meter itu pun jadi. Siap dihuni.
Padahal, bila menengok ke belakang, bisa memiliki rumah mungkin hanyalah mimpi indah bagi Siswanto dan keluarganya. Pertengahan tahun 2015 silam, dia mengalami momen paling pahit dalam hidupnya.
Beralasan efisiensi karyawan, perusahaan tempat dirinya menggantungkan harapan, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Apesnya, Siswanto yang telah 10 tahun bekerja, ikut jadi korban PHK. Ia pun mendadak jadi pengangguran.
"Waktu itu, langit serasa runtuh menimpa saya. Saya kaget dan sedih memikirkan nasib anak istri. Tapi saya tidak mau menyerah. Saya percaya, selalu ada rezeki bila kita mau berusaha," kenangnya.
Siswanto sempat kelimpungan dibayangi kekhawatiran tidak lagi mendapat gaji bulanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih, anaknya baru saja masuk Sekolah Dasar. Dia juga masih harus membayar sewa bulanan kamar kontrakan mungil seluas 4x3 meter yang ia tempati bertiga.
Bekerja Serabutan dengan Upah Seadanya
Namun, ia tak mau menyerah. Baginya, menangisi keadaan bukanlah pilihan tepat. Dia lantas bekerja serabutan. Apapun dia jalani. Yang penting mendapat pemasukan dari jerih payahnya. "Modal saya cuma satu mas, yang penting mau kerja," ujarnya.
Siswanto memang ringan tangan. Sejak kecil membantu orangtuanya bekerja di sawah, membuatnya doyan gawean. Karenanya, banyak orang senang mengajaknya bekerja dengan sistem sekali upah.
Terkadang, dia jadi kuli bangunan, juga buruh di sawah. Pekerjaan apapun dia jalani selama bisa menghasilkan duit untuk keluarganya. Dari upah tak seberapa itu, sebagian dia sisihkan untuk modal berjualan kerupuk. Istrinya yang menggoreng, lantas sore hari dia berkeliling menjualnya. Istrinya juga berjualan kerudung yang ditawarkan ke para wali murid di sekolah anaknya.
Seiring berjalannya waktu, Siswanto lantas ditawari bekerja sebagai petugas kebersihan honorer di Kabupaten Sidoarjo. Pekerjaan itulah yang ia jalani hingga kini.
Lebih Bisa Bersyukur
Di bulan Ramadan, demi menambah penghasilan, Siswanto dan istrinya berjualan kue opak untuk sajian Lebaran. Awalnya hanya coba-coba. Apalagi, bahan untuk membuatnya tidak mahal.
Opak itu lantas dijual ke kerabat. Hasilnya ternyata lumayan. Di Ramadan tahun ini, mereka mendapatkan puluhan pesanan opak yang mereka kemas dalam toples.
Situasi sulit yang dihadapinya setelah di-PHK, juga membuat Siswanto jadi lebih tergerak untuk tekun beribadah. Semasa bekerja di pabrik, dia mengaku cukup sering meninggalkan shalat.
Kini, dia bisa memperbaiki kualitas ibadahnya. Hatinya jadi lebih tenang. Dia menemukan kesadaran, segalanya sudah diatur oleh Yang Maha Mengatur. Termasuk urusan rezeki. "Dapat berapa pun yang penting disyukuri, Mas," katanya.
Bisa Punya Rumah Sederhana
Dari semua kerja keras yang dijalaninya, Siswanto akhirnya bisa mewujudkan harapannya: memiliki rumah sendiri. Memang, petuah bijak man jadda wa jadda itu benar adanya. Bahwa siapa yang tekun berusaha, akan menuai hasilnya.
Siswanto merupakan suami dari sepupu saya. Orangnya bersahaja. Semangatnya dalam menjalani hidup juga luar biasa. Ketika banyak orang gengsi dan malu bekerja serabutan, dia menjalaninya dengan gembira karena tahu akan mendapatkan upah demi menghidupi anak istrinya.
Ketika saya memberitahunya akan menulis kisah hidupnya untuk program Berlipatnya Berkah Allianz dan bila terpilih akan bisa berangkat umroh, dia seperti tak percaya.
Baginya, umroh adalah harapan yang ia bahkan tak berani membicarakannya karena sadar diri dengan kemampuan finansialnya. "Beneran bisa umroh, Mas? Bagaimana caranya? Tapi saya amini mas, semoga terkabul," ujarnya.
Tulisan ini diikutsertakan juga di landing page berlipatnyaberkah.allianz.co.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H