Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita yang Sering "Meremehkan" Bahasa Indonesia

26 Juni 2019   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2019   14:29 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube/IRACAROLINA2001

Awal tahun ini, penulis novel terkenal dan juga Kompasianer top, Khrisna Pabichara meluncurkan novel barunya, "Kita, Kata, dan Cinta". Sebagai pembaca dan pengagum tulisan-tulisan dari Bang Khrisna--begitu saya memanggilnya---saya tidak ragu untuk langsung memesan novel tebal bersampul oranye tersebut.

Sekira awal April lalu, novel setebal 439 halaman itu tiba di rumah saya. Plus tanda tangan dari Bang Khrisna. Saya tidak ragu membeli novel tersebut tidak hanya karena godaan testimoni orang-orang terkenal perihal cerita Sabda si "polisi bahasa" dan Kana yang saya baca di akun Instagram Bang Khrisna, tetapi juga karena pernak-pernik kebahasaan yang enak dibaca dan memperkaya pengetahuan perihal bahasa Indonesia.

Lha wong cerita novelnya sejatinya 323 halaman, sementara selebihnya adalah bonus "kamus" tentang penggunaan kata dalam bahasa Indonesia. Pendek kata, membacanya, kita akan jadi lebih cinta bahasa Indonesia.

Kalau di lapangan sepak bola, rasanya tidak jauh beda ketika saya dulu sering mbela-mbelain bangun dini hari demi melihat Zinedine Zidane ataupun Ronaldinho bermain. Tak hanya melihat gol dan timnya menang, tetapi menunggu gerakan-gerakan ajaib mereka ketika 'bercumbu' dengan bola (mengontrol dan membawa bola) ataupun memperdaya lawan.

Nah, kembali ke bahasa Indonesia, dalam sedikit persamaan, saya acapkali merasa bak seperti Sabda di novel Bang Khrisna. Sosok yang karena kecintaan mendalam pada bahasa Indonesia, seringkali merasa ngilu dan gemas ketika mendengar ada orang Indonesia yang justru tidak paham indahnya kata dan seakan "meremehkan" bahasa Indonesia.  

sumber: Instagram/penerbitdivapress
sumber: Instagram/penerbitdivapress
Bahasa Indonesia dan "Orang-orang Penting" yang Didengar Banyak Orang
Bukankah jamak terjadi, banyak orang yang dalam berbahasa Indonesia seringkali menyisipkan kata bahasa Inggris, atau malah terbiasa melafalkan kata-kata bahasa Indonesia yang sejatinya keliru karena tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

Padahal, bagaimanapun, bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, seharusnya akan lebih mudah diucapkan, dipahami, dipelajari dan lebih akrab terdengar di telinga kita daripada "bahasa impor". Tetapi yang perlu dipahami, lebih mudah bukan berarti asal-asalan untuk mengucapkannya.

Sebab, ketika berbicara bahasa Indonesia, seharusnya patuh pada aturan yang ada seperti halnya ketika kita menulis. Semisal, kita tahu mana kata yang benar atau salah untuk diucapkan merujuk aturan kata tersebut baku atau tidak. Bedanya, bila berbicara, tentunya tidak ada aturan penggunaan huruf besar ataupun kata "di" dipisah atau digabung, seperti halnya ketika menulis.

Di sisi lain, tak sekadar mudah, berbicara bahasa Indonesia seharusnya juga lebih membanggakan. Sebab, bahasa Indonesia itu kaya. Bahkan sangat kaya. Ada banyak diksi indah yang jarang kita dengar. Malah, bila kita bisa memadukan beragam diksi, majas, dan kata baku dalam berbahasa Indonesia, kita akan tersadar bahwa bahasa Indonesia itu sungguh indah. 

Namun, yang banyak terjadi malah sebaliknya. Ketika dulu masih bekerja di "pabrik koran", saya cukup sering mendapati "orang penting" yang ketika memberikan pernyataan, selalu menyelipkan kata bahasa Inggris.

Semisal ketika ada pejabat ditanya perihal upaya apa saja yang akan dilakukan dinas atau instansinya untuk mencapai merealisasi target pembangunan atau program sosial, tidak jarang kita mendengar kalimat begini: 

"Kita telah menyiapkan berbagai strategi untuk mewujudkan goal yang telah ditetapkan. Seandainya nanti strategi utamanya tidak berjalan, kami masih punya plan B. Terpenting adalah bagaimana approachment yang kita lakukan kepada masyarakat agar program ini berhasil".  

Atau semisal, ketika berbicara perihal disiplin karyawan di lingkungan pemerintahan ataupun instansi pekerjaan, kita juga sering mendengar kalimat begini: "Tidak boleh ada karyawan yang malas. Semuanya harus punya spirit kerja yang tinggi. Tentu saja akan ada reward dan punishment bagi siapa yang disiplin dan yang melanggar aturan".

Saya terkadang heran, kenapa (hampir selalu) harus diselipkan kata-kata asing seperti "goal", "plan B", ataupun "approachment" itu. Atau juga kata "spirit" serta "reward" dan "punishment" atau kata-kata lainnya. Apakah sekadar karena ingin pernyataannya terdengar keren. Atau mungkin ingin menujukkan bahwa mereka menguasai kosakata bahasa Inggris.

Padahal, bila kata-kata tersebut diganti dengan kata "tujuan", "rencana alternatif" ataupun "pendekatan". Juga kata "semangat" dan "penghargaan dan hukuman", toh juga tidak kalah keren.

Belum lagi kebiasaan menggunakan beberapa kata yang sejatinya keliru tetapi sudah terlanjur diucapkan. Semisal kata "merubah" atau "menghimbau" juga "sekedar" yang paling sering diucapkan.

Belum lagi kebiasaan menulis status di media sosial dengan kalimat bahasa Indonesia yang dipaksa "dinikahkan" dengan bahasa asing plus penulisan kata ala anak-anak kekinian yang sampean (Anda) pasti paham.

Malah, saya memiliki kawan yang berprofesi pengajar tetapi kalimatnya yang ia tulis di media sosial semisal "telah terbit my first book". Ataupun ketika menulis di grup chat yang kalimatnya sungguh ajaib. Seperti kalimat ini: "Setahuku anak itu dulu aktif (chat), sekarang never, although just koment, kenapa dia".   

Mulai Membiasakan Diri Bangga Berbahasa Indonesia
Saya bukannya alergi pada bahasa Inggris. Justru, saya kagum ketika ada kawan-kawan yang tinggal di luar negeri lantas menulis panjang lebar dengan kalimat berbahasa Inggris yang baik dan benar. Begitu juga ketika saya kebetulan hadir dalam seminar yang narasumbernya berbicara bahasa Inggris mengalir lancar.   

Namun, menjadi bikin ngilu bila kata-kata bahasa Inggris itu dipakai setengah-setengah. Malah seperti meremehkan bahasa Indonesia. Apalagi bila menulis dengan bahasa Inggris di status media sosial tetapi ternyata gramatikal ataupun penulisan katanya malah keliru.

Lha wong, saya pernah mendapati tulisan "steak holder" dalam sebuah berita, yang maksudnya merujuk pada stakeholder alias semua pihak yang 'ikut memiliki' kota ataupun perusahaan. Atau juga penulisan kata "massage" yang padahal maksudnya berkirim pesan (message). Bila seperti itu, kenapa harus memaksakan "sok british".

Memang, tidak mudah mengubah kebiasaan. Namun, tidak mudah selamanya akan menjadi sulit bila tidak pernah memulai untuk berubah. Karenanya, penting untuk memulai membiasakan diri berbahasa Indonesia ataupun menulis dengan baik dan benar. Terlebih bagi "orang penting" seperti pejabat ataupun pengajar yang pernyataannya didengar oleh banyak orang.

Minimal ada kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik. Saya juga masih terus belajar. Semisal ketika menulis, bila ada kata yang masih meragukan kebenarannya, apakah itu baku atau tidak, saya membiasakan untuk mengecek dulu kebenarannya sehingga seterusnya ingat mana kata yang benar. Termasuk membiasakan ketika berbicara dan menulis di media sosial dengan kalimat dan ejaan yang benar.

Membaca novelnya Bang Khrisna "Kita, Kata, dan Cinta" juga menjadi bagian dari proses belajar. Saya jadi paham bedanya "kata pengantar" dan "prakata" dalam penulisan buku. Juga makna kata "acuh" atau "diacuhkan" yang selama ini sering dimaknai keliru.

Pada akhirnya, semoga kita punya semangat besar untuk merawat dan mencintai bahasa Indonesia. Semoga kita mau membiasakan diri untuk berbahasa Indonesia dan menulis dengan 'aturan yang benar'. Bila bukan kita, siapa lagi yang bangga berbahasa Indonesia. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun