Novelis asal Brasil yang sukses menaklukkan industri perbukuan internasional, Paulo Coelho, punya ujaran menarik perihal perubahan yang terjadi di sekeliling kita. Kata dia: "Life moves very fast. It rushes from Heaven to Hell in a matter of seconds". Bahwa hidup itu bergerak/berubah sangat cepat. Bahkan saking cepatnya, ia laksana mengalir dari surga ke neraka hanya dalam hitungan detik.
Mungkin rada lebay alias berlebihan ketika Coelho mengilustrasikan perubahan laksana surga ke neraka hanya dalam hitungan detik. Tetapi memang, telah ada banyak contoh, betapa apa-apa yang ada di sekitar kita, baik itu kebiasaan, hobi maupun brand yang dulunya dianggap keren, ternyata mengalami "pensiun dini" alias tidak lagi eksis sekarang ini.
Apa yang terjadi pada beberapa merk dagang dan brand di dunia komunikasi yang dulu populer tetapi kini tergeser, atau nasib kaset pita yang dilupakan dan berimbas pada gulung tikarnyda beberapa toko kaset, lalu beberapa majalah kesenangan yang kini tinggal kenangan.
Hingga, kebiasaan 'receh' semisal 'dolan ke wartel ataupun berkirim kartu Lebaran yang kini hanya tinggal cerita, tergantikan oleh aplikasi chatting WhatsApp yang serba mudah dalam mengirim pesan.Â
Perubahan zaman dengan segala perkembangan kekiniannya, memang telah memakan banyak korban. Namun, dari semua deret korban perubahan tersebut, saya tidak mau bila buku juga masuk dalam deretan tersebut.
Memang, kini ada banyak orang menggemari membaca buku secara daring seperti halnya membaca koran juga lewat online. Namun, bagi saya, keasyikan membaca buku dengan memegang bentuk fisik buku, melihat desain sampulnya, membaca halaman persembahan dan membalik halaman demi halaman, itu kenikmatannya berbeda dibandingkan membaca buku secara daring.Â
Sama halnya dulu ketika kita memutar kaset pita di tape recorder, bagi saya itu nikmatnya berbeda dengan sekadar menyetel musik di Youtube.
Tetapi memang, seperti kata Coelho, perubahan itu bergerak sangat cepat. Termasuk dalam memengaruhi kebiasaan orang dalam membaca buku.
Dulu, di era ketika saya menjadi mahasiswa pada awal 2000-an, buku masih menjadi teman dekat bagi banyak mahasiswa. Berada di perpustakaan dengan dikelilingi ribuan buku lantas membacanya, menjadi 'hobi' menyenangkan. Ada banyak kawan yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Di era itu memang belum ada gawai.Â
Di lingkungan kampus, tidak sulit menemukan mahasiswa yang sedang nongkrong di taman kampus ataupun di kantin sembari membaca buku. Begitu pula ketika di kos-kosan. Membaca buku menjadi aktivitas menyenangkan, sama menyenangkannya dengan belajar memetik gitar---yang juga tetap melihat buku panduan.
Bagaimana sekarang?
Kebetulan, sejak awal tahun ini, di setiap awal pekan, saya jadi lebih sering bertemu mahasiswa di kelas karena mendapat mandat untuk membagikan pengalaman dan wawasan perihal ilmu hal tulis-menulis (jurnalistik).
Nah, awal pekan kemarin merupakan hari pertama mata kuliah saya setelah libur panjang Lebaran. Sebelum mengawali kuliah, selain berhalalbihalal, saya memberi mereka beberapa pertanyaan. Ketika bertanya perihal liburan mereka yang sudah harus memikirkan UAS, mereka kompak menjawab. Kelas pun jadi riuh.Â
Namun, begitu pertanyaanya saya ganti menjadi "adakah yang selama liburan menyelesaikan membaca satu buku?", ruangan kelas mendadak sunyi senyap.Â
Dari kurang lebih 150 mahasiswa di tiga kelas, hanya kurang lebih 10 anak yang mengacungkan jarinya, pertanda mereka memang hobi membaca buku. Selebihnya hanya diam. Mungkin sembari berpikir "apa iya masih musim baca buku?"
Sangat berbeda situasinya ketika di awal-awal perkuliahan dulu saya sering bertanya perihal media sosial. Diantaranya pertanyaan: "Siapa di kelas ini yang punya akun di media sosial, atau aktif di media sosial atau bahkan memiliki channel Youtube?". Hampir semua anak menjawab dan mengacungkan jarinya. Diskusi pun berlangsung asyik.
Apa iya masih musim baca buku?
Memang, ketika mahasiswa era sekarang hampir semuanya memiliki gawai pintar (smartphone) dengan segala kelebihan fitur dan isinya, termasuk media sosial, maka hobi mereka sudah berpindah.
Banyak mahasiswa yang menganggap bahwa membaca buku kini tidak lagi semenarik ketika memposting foto di akun Instagram, menulis cuitan di Twitter ataupun menulis status di Facebook sembari berbalas komentar dengan teman. Belum lagi bagi mereka yang sudah menemukan keasyikan membuat 'gambar bergerak' baik lewat nge-vlog maupun di Youtube.
Tentu saja, masih ada mahasiswa yang senang bahkan hobi membaca buku. Malah, ada mahasiswa di kelas saya yang baru saja menerbitkan buku puisi. Namun, jumlah mereka memang lebih sedikit dari mereka yang gemar berinteraksi di bermedia sosial.
Bagi banyak mahasiswa kini, buku tidak lagi dilirik karena dianggap kurang menarik. Sama seperti halnya ketika mereka melihat koran ataupun majalah yang banyak dijual dipinggir jalan ketika pagi.Â
Palingan mereka membaca koran bila sedang ngopi ataupun makan di warung sego bungkus dan kebetulan di warung tersebut ada koran gratis yang bisa dibaca. Atau bila kebetulan orang tua mereka di rumah rutin membeli koran.
Saya pernah mengajukan pertanyaan perihal siapa dari mereka yang sering atau setidaknya seminggu sekali masih rutin membeli koran? Mereka terdiam.Â
Mungkin mereka sedang mengingat-ingat kapan kali terakhir membeli koran. Atau memang mereka yang rata-rata lahir setelah era 2000-an, tidak pernah merasakan sensasi membeli koran.
Namun, meski tidak lagi hobi membaca buku ataupun output media cetak, bukan berarti mahasiswa-mahasiswa ini malas membaca. Sebab, harus dibedakan antara semangat membaca dengan membaca buku ataupun media cetak.
Mereka masih senang membaca. Meski medianya berbeda. Bukan lagi buku ataupun koran. Bahan bacaan mereka kini media daring ataupun akun media sosial media-media yang menyajikan berita terkini dan mereka ikuti (menjadi follower akun tersebut).
Nyatanya, ketika di awal kuliah, saya sering bertanya perihal berita apa yang sedang viral selama sepekan ini, mereka antusias menjawab dengan berbagai jawaban.Â
Dari mulai kabar politik, olahraga, hingga kabar artis. Itu yang membuat saya senang. Meski saya juga sering menyelipkan godaan agar mereka membaca buku.
Tetapi, terpenting adalah masih gemar membaca. Saya paham, era mereka berbeda dengan era saya dulu. Era mereka bukan lagi merasakan harus menempuh beberapa kilometer dengan mengayuh sepeda demi membeli majalah kesukaan di kios koran. Kebanyakan mereka bukan lagi penikmat koran.
Namun, seberapapun berbeda era dan kebiasaannya, terpenting adalah tetap membaca. Membaca dari media apa saja. Asal jangan membaca berita bohong lantas meyakini kebohongan itu sebagai kebenaran.Â
Tugas kuliah agar mereka menulis di Kompasiana ataupun media cetak alias tulisan mereka tayang di media, juga salah satu bentuk dorongan agar mereka gemar membaca buku dan media lainnya.
Saya meyakini, tidak akan ada tulisan keren bila tanpa membaca. Karena memang, membaca dan menulis adalah 'dua anak kembar' yang saling melengkapi. Karena membaca, kita bisa menulis. Dan dengan menulis, kita bisa 'mengabadikan' wawasan yang telah kita baca.Â
Seperti halnya teko yang untuk menuangkan air, teh maupun kopi, ia harus terlebih dulu diisi air, teh ataupun kopi. Bila tanpa diisi terlebih dulu alias isinya kosong, bagaimana ia bisa mengalirkan air, teh atau kopi yang siap diminum. Salam literasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H