Tentu saja, Chelsea tahu betul, mereka telah kehilangan pemain hebat. Pemain yang tak hanya jago menulis surat, tetapi juga berjasa membawa Chelsea meraih dua gelar Liga Inggris, Piala FA, Piala Liga dan dua trofi Europa League. Bahkan, di laga terakhirnya, Hazard tampil sebagai bintang saat membawa Chelsea jadi juara Europa League 2019 lewat kemenangan 4-1 atas Arsenal di final 30 Mei lalu.
Chelsea pastinya paham, akan sulit menemukan pemain pengganti sekelas Hazard. Namun, dengan perilaku baik Hazard selama tujuh tahun di sana, dengan adab baiknya berpamitan sebelum meninggalkan klub dan juga kecintaannya pada klub dan suporter, Chelsea legowo melepasnya sekaligus memberinya peluang untuk menjadi pemain yang lebih besar.
Dari Eden Hazard kita bisa belajar tentang pentingnya nilai tata krama dalam sepak bola. Hazarad seolah paham, lapangan hijau tidak ubahnya kantor yang sakral bagi pesepak bola. Kata sakral menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti disucikan. Sementara kata suci diartikan sebagai tempat yang tidak bernoda, bebas dari dosa, dan cela.
Bahwa lapangan hijau, bukanlah sekadar tempat untuk 'bekerja' saja. Lapangan bukan hanya tempat pertemuan antara 11 pemain melawan 11 pemain dari dua klub dalam pertandingan bertajuk sepak bola.Â
Lebih dari itu, lapangan hijau adalah 'tempat kerja' yang tidak menerima perilaku negatif atau dalam bahasa sepak bola disebut tidak fair play. Karenanya, sikap pemain di lapangan dan di klub, memegang peranan penting dalam kelanjutan karier pesepak bola.
Hazard telah memberi contoh, bahwa keputusan untuk meninggalkan 'tempat pekerjaan lama' menuju tempat kerja yang baru, tidak selalu diiringi kabar buruk. Tentu saja, dalam kepindahan itu ada uang yang besar, ada unsur egoisme, pun ada rasa kehilangan. Tentu saja, dalam setiap keputusan, tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang.
Namun, semua itu tertutupi oleh tata krama dari si pemain untuk berpamitan dan keinginan untuk tetap menjaga hubungan baik. Malah, mereka yang ditinggalkan, ikut senang dan ikut mendoakan agar dia lebih sukses di tempat yang baru. Bukankah itu indah daripada kita pergi meninggalkan jejak permusuhan?
Bukankah bila kita berbuat baik kepada orang lain, sejatinya kita telah berbuat baik bagi diri sendiri? Seperti salah satu petikan ayat suci Alquran: "In Ahsantum Ahsantum li Anfusikum". salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H