Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Memahami Fenomena "Kuliner Jalanan Harga Selangit" Saat Lebaran

11 Juni 2019   07:05 Diperbarui: 11 Juni 2019   19:01 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati masa libur Lebaran bersama keluarga bisa dilakukan lewat banyak cara. Selain unjung-unjung ke rumah kerabat maupun rekan, mengunjungi tempat-tempat wisata bisa menjadi pilihan. Dari kesemuanya itu, belum akan terasa lengkap tanpa mencicipi kuliner. 

Terlebih bila kita unjung-unjung atau pun berwisata ke daerah yang terkenal memiliki kuliner andalan, kita tentunya tidak akan melewatkan kesempatan menikmati sajian kulinernya. Namun, sebelum berburu kuliner, penting untuk memastikan bahwa kuliner itu aman bagi 'kesehatan'.

Saya sengaja menuliskan tanda petik pada kata kesehatan tersebut. Sebab, maknanya bukan hanya kesehatan dalam artian sebenarnya yang berkaitan dengan badan maupun pencernaan kita setelah menyantap kuliner tersebut. Tetapi yang tidak kalah penting adalah kesehatan dompet sampean (Anda). Jangan sampai, setelah berburu kuliner, dompet sampean langsung sakit alias kering glondangan.

Kok bisa begitu?

Pasalnya, ketika suasana Lebaran seperti sekarang, bila tidak cermat, kita bisa jadi "korban" fenomena 'jebakan' kuliner yang meski berjualan di pinggir jalan (kaki lima), tetapi harganya bisa selangit. Harganya bisa berlipat-lipat bila dibandingkan dengan harga normal ataupun harga kuliner di tempat lain dengan porsi yang hampir sama.

Sampean yang aktif memantau media sosial, pastinya paham, beberapa waktu lalu, sempat ada warung lesehan di Slawi Tegal yang mendadak viral di musim mudik. Tidak mencantumkan harga menu makanan (seafood, ayam, bebek goreng) yang dijual, pemilik warung tersebut memastok harga Rp 700 ribu untuk pembelian dua porsi makanan.

Pemerintah daerah bahkan turun tangan. Pemkab Tegal sempat menutup warung tersebut sembari menunggu proses penanganan pengaduan konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Tegal. Ada konsumen yang merasa dirugikan yang sudah mengadukan aduan resmi ke BPSK.
 
Selepas warung lesehan di Tegal, penjual rujak cingur di Surabaya juga ikut-ikutan menjadi viral. Di media sosial, beredar video viral penjual rujak cingur di pinggir jalan menjual rujaknya dengan harga yang cukup tinggi, hingga Rp 60 ribu.

Dari rekaman video, terlihat konsumen sedang merekam penjual rujak cingur yang berjualan di pinggir jalan tersebut, menjelaskan harga-harga makanannya. Awalnya konsumen tersebut ingin membayar makanannya lalu bertanya berapa jumlah yang harus ia bayarkan. Dia kaget ketika penjual menyebutkan bahwa dia harus membayar total Rp 315 ribu untuk lima porsi rujak cingur dan es teh.

Selain memberi keterangan rujak cingur seharga Rp 60 ribu, dalam video yang viral itu juga disertakan alamat penjual itu. Tak hanya itu, mereka juga mengimbau netizen untuk berhati-hati bila membeli rujak di sana. Karena menurut mereka harganya kelewat mahal.

Mengapa sampai muncul fenomena kuliner pinggir jalan tetapi harga selangit?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun