Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin.
Tentu saja, Idul Fitri datang setiap tahun. Namun, momentum Idul Fitri tahun ini terasa istimewa. Utamanya bagi kita yang tinggal di Indonesia. Sebab, Idul Fitri kali ini datang bertepatan dengan setelah selesainya pemilihan umum (pemilu).
Ada harapan, Idul Fitri menjadi momentum "happy ending" terhadap semua drama yang terjadi selama sebelum, hari H maupun pascapemilu. Utamanya bagi kita yang merupakan warga 'akar rumput' yang sejatinya tidak begitu paham makna politik tetapi ikut-ikutan terjebak fanatisme.
Bukankah, tidak sedikit orang yang karena atas nama membela pilihan masing-masing dalam pemilu, sampai nekad 'menggadaikan' pertemanan dan citra diri mereka.Â
Tidak sedikit orang yang memalingkan muka dengan kawan yang sudah berkawan lama, menulis postingan status kasar di media sosial, hingga saling caci di kolom komentar.
Bahkan, ada banyak orang yang menjadi gemar membagikan tautan berita yang belum tentu benar hanya karena merasa berita itu menguntungkan pilihannya atau menyudutkan pihak lawan.
Bila tidak salah ingat, pada momentum lebaran dua tahun lalu dan setahun lalu, bahkan untuk sholat Idul Fitri pun sampai 'dipolarisasi'. Contohnya sholat Ied di masjid A, yang menjadi khotib (berkhotbah) adalah tokohnya ini. Sehingga, beberapa orang lantas menyerukan untuk tidak sholat ke masjid itu karena merasa "berseberangan".
Berita bohong (hoaks), lalu tajassus (mengorek kesalahan orang), kemudian ghibah (menggunjing) hingga merendahkan sesama, memberikan julukan buruk, dan gemar mempolitisasi segala hal, seolah menjadi konsumsi sehari-hari. Ironisnya, agama dijadikan alat legitimasi untuk berebut kuasa.
Mengutip tulisan renungan Idul Fitri dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di kolom Opini Kompas pada 5 Juni 2019 berjudul "Mencerahkan Akal Budi",Â
bahwa kewarasan publik diporak-porandakan oleh logika-logika sumbu pendek yang menghasut, menekan, menghujat, serta menebar aura marah dan permusuhan yang berubah menjadi perangai kolektif buruk di tubuh bangsa ini.Â
Opini, prasangka, data dangkal, dan subyektivitas menjadi kebenaran publik yang dikonstruksi serbamutlak membenarkan era post-truth.