Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jalanan dan Media Sosial, Ujian Meredam Marah Selama Ramadan

26 Mei 2019   22:55 Diperbarui: 26 Mei 2019   23:02 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sejak awal Ramadan hingga puasa memasuki hari ke-21 hari ini, sampean (Anda) mungkin pernah atau bahkan sering mendengarkan tausiyah ustadz perihal "orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain hanya merasakan lapar dan haus", baik dalam kultum ketika jelang sholat tarawih ataupun khotbah Jumat. Apa maksudnya?

Bahwa tidak sedikit orang yang memaknai puasa sekadar menahan lapar dan haus ataupun tidak berhubungan suami istri ketika waktu berpuasa. Ada banyak dari kita yang mengetahui tentang hal-hal yang bisa membatalkan puasa dan kita sadar untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Namun, belum semua dari kita yang  berpuasa, bisa memaknai puasa sebagai momentum untuk mengendalikan perilaku. 

Padahal, kita tentunya tidak ingin, berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain hanya merasakan lapar dan haus. Amat disayangkan bila seharian puasa tetapi justru tidak mendapatkan esensi ibadahnya.

Disinilah pentingnya agar kita belajar untuk "menyayangi puasa". Menyayangi puasa, saya maknai sebagai ikhtiar untuk menjaga puasa kita agar tidak sia-sia. Dan seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Untuk bisa menyayangi puasa, kita perlu mengetahui apa saja yang bisa menghapus pahala puasa sehingga kita tidak tergoda melakukannya.

Sekadar meneruskan pesan dalam khotbah Jumat dua hari lalu, ada di empat hal yang bisa menghanguskan pahala puasa selayaknya api yang membakar rumput kering. Dari empat hal tersebut, tiga diantaranya bersumber dari mulut kita.

Yakni menggunjing atau membicarakan orang lain alias ghibah, menciptakan permusuhan (marah) dan menebar kebencian, serta menyampaikan sumpah palsu alias berbohong. Satu lainnya bersumber dari mata. Yakni memandang yang menyebabkan nafsu.

Ya, tiga hal penghapus pahala puasa bersumber dari mulut. Itu menandakan betapa bila kita ingin puasa kita benar dan berpahala, maka menjaga mulut adalah yang utama. Bahwa lebih baik diam daripada mengobrol yang bisa menjadi api yang menghanguskan pahala puasa.

Namun, menjaga lisan dan bersikap diam itu ternyata tidak mudah. Sebab, kita bukan pertapa yang seharian bersemedi sendirian. Sebaliknya, selama berpuasa, kita berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang, tanpa sadar kita mendadak marah, mengumpat atau bahkan menyebar pesan kebencian kepada orang lain. 

Nah, dari sekian aktivitas kita selama seharian, ada dua tempat yang sekiranya paling menguji kesabaran kita untuk tetap kalem dan tidak mudah marah. Dua tempat yang bila kita bisa meredam amarah dan menahan emosi untuk tidak berseteru, kita akan bisa meraih kemenangan yang sesungguhnya di akhir bulan Ramadan nanti.

Di Jalan, Kita Mudah Sekali Tersulut Emosi

Hampir setiap hari "mengukur" jalan untuk berangkat menuju tempat kerja dan kembali ke rumah, saya jadi paham betapa ada banyak orang yang mudah sekali tersulut emosinya ketika di jalan.

Mungkin, ketika kita berangkat dari rumah, kita akan bersabar di jalan. Namun, ketika tiba-tiba mendapati kelakuan orang lain yang nyeleneh, kita mendadak kehilangan ketenangan,  marah dan mengumpat orang lain.

Bayangkan bila ketika berkendara di jalan, mendadak ada orang merokok dan asapnya berhamburan ke muka kita. Bayangkan bila ketika mendadak ada orang yang meludah dan ludahnya "nyangkut" di kendaraan kita. Belum lagi bila ada pengendara di depan kita yang berhenti mendadak ataupun mendadak belok, atau juga pasang lampu sein kiri tetapi belok kanan.

Belum lagi bila tengah mengisi bensin di SPBU. Bayangkan bila sampean tengah mengantre dan akan mendapat giliran, mendadak ada orang yang menyerobot antrean karena alasan terburu-buru. Atau ketika petugas SPBU nya memberikan uang kertas kembalian yang sudah kusam dan lepek, bahkan ada tambalan lakbannya karena sobek.

Semua kejadian yang sangat mungkin terjadi di jalan itu, sungguh tidak mudah dihadapi. Terkadang bikin emosi. Bila mengalami hal seperti itu, kita mendadak kehilangan sabar, menjadi marah dan mengumpat orang lain.

Lalu harus bagaimana agar kita tidak mudah marah di jalan? 

Ketika kita berangkat dari rumah dengan tenang, seharusnya itu membuat kita bisa tenang menghadapi apapun yang bisa terjadi di jalan. Selain itu, berangkat menuju tempat kerja lebih pagi, akan membuat kita lebih kalem. Sebaliknya, bila berangkat terburu-buru, kita cenderung menjadi pemarah bila mendapati kejadian "aneh" di jalan.

Media Sosial juga menjadi ujian sabar

Selain jalanan, media sosial juga menjadi ujian agar kita tidak lekas marah ataupun berseteru dengan orang lain 

Memang, di media sosial, kita tidak akan menemukan kejadian "aneh bin ajaib" seperti di jalan. Di media sosial, kita hanya akan menemukan tulisan,  tautan berita, video ataupun desain grafis. Namun, semua hal yang kelihatannya sepele itu, bisa berpotensi membuat kita marah dan gegeran dengan orang lain.

Semisal ketika membaca status tulisan orang lain di media sosial, kita bisa baper (bawa perasaan) lantas membalas tulisan itu dengan respons ketus. Lantas, terjadilah "perang" di media sosial. 

Atau ketika ada orang menyebarkan tautan berita yang ngawur, itu juga bisa menjadi awal perseteruan di media sosial. Bila kita ingin mengingatkan orang tersebut, bukan tidak mungkin membuat perseteruan makin panjang.

Lalu, bagaimana caranya agar bisa kalem di media sosial sehingga tidak mudah berseteru?

Terpenting, jangan kita gampang baperan di media orang lain. Ketika orang lain menulis status, jangan kita latah ikut mengomentarinya. Padahal, orang lain bisa menulis terserah mereka dan kita tidak paham maksudnya orang itu menulis status tersebut. 

Cara paling aman untuk menjaga hati tentunya tidak perlu ikut berkomentar. Cukup dibaca saja. Bagaimana bila yang nulis status tersebut memang hobinya "baku hantam" di media sosial, sehingga bila kita meresponsnya, kita berarti telah masuk ke dalam perangkapnya.

Ah, semoga kita bisa menahan amarah di jalanan dan juga menghindari perseteruan di media sosial. Sayangi puasa kita. Jangan "memggadaikan" pahala berpuasa dengan hal-hal yang sebenarnya kita bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. 

Bila kita berpuasa tetapi mudah marah dan gampang berseteru, ya kapan kita mau merasakan kemenangan Ramadan. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun