Nah, Ramadan harusnya menjadi momentum tepat untuk memaknai kembali media sosial sebagai ruang publik. Sebagai ruang publik, apapun yang kita tuliskan, tentunya akan dibaca dan bisa direspons banyak orang dan bahkan bisa menjadi penyebab permusuhan. Bila memahami itu, sudah seharusnya kita memiliki "rem" untuk tidak sembarangan dalam menulis status ataupun cuitan di media sosial.
Selayaknya fungsi rem, ketika hendak menulis cuitan ataupun status, kita tahan dulu. Kita tanyakan ke diri sendiri dulu, apakah tulisan tersebut sudah sepantasnya "dilempar" ke media sosial. Ataukah malah berpotensi menyebabkan gegeran. Singkat kata, mari memakai media sosial "dengan hati", bukan dengan emosi.
Tak perlu baper menanggapi berita/komentar di media sosial
Kita tidak hanya perlu mengedepankan hati dibanding emosi agar tidak gegabah menulis cuitan atau status di media sosial. Kita juga perlu menjaga hati agar tidak doyan berkomentar di media sosial ataupun menanggapi tautan berita yang dibagikan lewat media sosial.
Memang apa salahnya berkomentar di media sosial? Tentu saja tidak ada salah bila berkomentar secara wajar. Apalagi bila bisa memberikan tambahan wawasan kepada warganet lainnya perihal suatu masalah yang diperdebatkan.
Masalahnya, di media sosial, sangat mudah untuk menemukan warganet yang bawa perasaan (baper) dalam beradu komentar tentang berbagai hal. Dari mulai komentar tentang tim sepak bola kesayangan, hingga pasangan capres/cawapres yang mereka jagokan. Lantas, terjadilah perang cacian dengan menuliskan kalimat kasar. Malah ada yang dibumbui kata-kata "penghuni kebun binatang".
Karenanya, daripada terlibat adu komentar di media sosial yang menurut saya lebih banyak sia-sia, lebih baik diam dan menjaga hati saja. Saya menyebut adu argumentasi di media sosial lebih banyak sia-sia karena yang berdebat sudah sama-sama merasa paling benar sehingga tidak akan ada yang mau menghargai dan mengakui kebenaran pendapat orang lain. Apalagi, mereka tidak saling kenal. Lebih enak berdiskusi di warung ketika berbuka puasa.
Jangan asal share berita, awas "dosa jariyah"
Selain menulis cuitan dan komentar, salah satu "hobi" warganet di media sosial adalah membagikan tautan berita. Tentu saja, membagikan informasi/berita terasa lebih keren daripada sekadar menulis status, apalagi bila statusnya tidak penting. Minimal mereka mau membaca.
Masalahnya, tidak sedikit orang yang ketika membaca tautan berita di media sosial, tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu apakah berita tersebut benar atau cuma bohongan. Namun, banyak orang yang mudah saja untuk menyentuh tombol share di smartphone-nya tanpa lebih dulu mengecek benar tidaknya berita tersebut.Â
Semisal ada tokoh publik yang dikabarkan meninggal dunia. Entah apa yang memotivasi kita sehingga lantas cepat-cepat ingin membagikan kabar tersebut kepada orang lain melalui media sosial. Ternyata, beberapa menit kemudian, muncul klarifikasi bahwa berita tersebut ternyata tidak benar. Bila seperti itu, mau ditaruh di mana muka kita.Â
Pilihannya, bila memang kita tidak tahu kebenaran berita tersebut, cukuplah itu menjadi informasi bagi kita saja. Tidak perlu dibagikan. Seperti bunyi kalimat bijak itu "saring sebelum sharing"Â