Bulan Ramadan itu ternyata romantis. Setiap Ramadan datang, ia seperti mengajak kita kembali ke masa lalu. Tanpa harus melakukan perjalanan waktu (time travel) seperti di film megah Avengers End Game, kita bisa mengingat momen-momen seru di masa lampau.
Terlebih bagi saya yang tumbuh besar di sebuah kampung di Sidoarjo pada akhir tahun 80-an. Ada banyak momen seru berupa tradisi-tradisi di bulan Ramadan yang pernah saya alami langsung.
Saya selalu senang membagi cerita tradisi Ramadan di kampung di masa lalu itu kepada dua anak saya. Termasuk kepada beberapa keponakan di kampung ketika berkumpul di rumah ibu.
Dulu, momen Ramadan di kampung itu jadi bulan yang paling menyenangkan. Dari waktu sahur hingga waktu berbuka sampai sahur lagi, dari hari pertama hingga Lebaran, selalu Ada l cerita menyenangkan.
Sehari jelang Ramadan, kami berkumpul di musholla untuk kerja bakti agar warga bisa beribadah dengan nyaman. Kala itu, bagi bocah seperti saya, momen menjemur sajadah dengan naik di atas genteng mushola juga menguras kamar Mandi berukuran besar, menjadi momen paling seru.
Lalu, pagi pertama di bulan Ramadan, selepas Shubuh, ada banyak warga yang keluar ke jalan. Sekadar berolahraga ringan, jalan-jalan sampai jembatan layang di seberang desa sembari bertegur sapa sesama warga. Bagi anak-anak, tidak lupa bermain petasan yang membuat suasana semakin meriah.
Sebelumnya, ketika waktu Sahur tiba, menjadi momen paling menyenangkan. Kami berkeliling kampung untuk membangunkan warga bersantap sahur dengan membawa bedug yang diangkut sepeda. Plus membawa alat lainnya seperti kentongan hingga botol yang bisa dibunyikan. Demi bisa ikut tur keliling kampung ini, saya dan teman-teman rela tidur malam di musholla. Sebab, bila tidur di rumah, khawatir tidak bisa ikut karena ketinggalan.
Kalaupun tidak berkeliling kampung karena kekurangan personil, kami tetap membangunkan sahur dari musholla melalui pengeras suara plus 'musik pengiring'. Ah, itu momen paling seru.
Malam harinya selepas sholat Tarawih, kami tadaruz-an di musholla. Selain bergantian membaca Al-Quran, ada hal yang paling kami tunggu. Warga mengirimkan makanan/minuman (takjil) ke musholla bagi mereka yang ikut tadaruz. Bila di kebanyakan tempat, takjil adanya ketika berbuka, di kampung kami adanya selepas Tarawih. Kami biasa menyebutnya tradisi puluran alias memberikan makanan/camilan.
Sayangnya, tidak semua tradisi di kampung selama Ramadan tersebut berumur panjang alias bertahan hingga kini. Beberapa diantaranya kini tinggal kenangan yang hanya bisa diceritakan. Dinamika zaman telah menggerusnya.
Ber-gawai dan kongkow di warung kopi kini jadi "tradisi baru" ketika Ramadan
Memang, tidak semua tradisi Ramadan di kampung itu telah lenyap. Beberapa tradisi seperti Megengan, kerja bakti di mushola sebelum Ramadan maupun Puluran ketika tadaruz, masih langgeng hingga kini. Meski dengan 'kemasan' pelaksanaan yang sudah berbeda dengan era saya ketika masih bocah dulu.
Namun, tradisi berkeliling kampung untuk membangunkan warga agar sahur, juga berjalan pagi di hari pertama puasa, kini tidak ada lagi. Kemajuan zaman yang datang dengan teknologi, telah mengubah kebiasaan dan cara berpikir warga.
Dulu, ketika Ramadan tiba, apalagi ketika libur sekolah/kerja, warga kampung lebih senang melewatkan pagi di awal puasa dengan berjalan kaki sembari bertemu warga lainnya. Dulu, ketika belum banyak warga memiliki peralatan yang bisa membuat mereka bangun di jam tertentu, tradisi membangunkan sahur masih dianggap penting karena berperan dalam membangunkan orang untuk bangun sahur.
Kini, rasanya sulit mendapati orang 'bangun tidur kerinan' alias tidak bisa bangun ketika waktu sahur. Sebab, hampir semua orang memiliki gawai (handphone) yang bisa di-setting alarm nya untuk berbunyi di jam tertentu. Gawai inilah yang pada akhirnya menggantikan tradisi membangunkan sahur.
Apalagi, kini tidak banyak anak muda/orang di kampung yang rela bangun jam 2 pagi untuk kemudian ke masjid/mushola lalu menyiapkan peralatan untuk membangunkan orang sahur. Begitupun tradisi jalan kaki di awal Ramadan. Banyak orang yang kini lebih senang untuk melanjutkan tidur setelah Sholat Shubuh ataupun berdiam di rumah dengan gawai masing-masing.
Apalagi, kampung saya sudah mulai berasa semi kota. Hamparan sawah yang dulu mengepung kampung, kini telah berubah menjadi kompleks perumahan. Bahkan, warga kampung kini lebih senang tidak memiliki halaman rumah yang dulunya menjadi tempat asyik untuk bermain. Mereka kini lebih senang dibangun pertokoan yang disewakan dengan uang sewa lumayan pertahunnya.
Maklum, lokasinya memang cukup strategis karena berada di seberang jalan yang setiap hari ramai karena menjadi akses utama bagi warga di beberapa kampung sebelah yang menuju ke kota.
Belum lagi keberadaan warung kopi yang menjamur. Bayangkan, dalam lingkup satu RT saja, bisa ada enam bahkan tujuh warung kopi. Ada yang milik warga kampung, ada warga luar yang berinvestasi di situ. Meski begitu, hampir semuanya ramai pengunjung yang tentu saja bukan warga kampung.
Tentu saja, hak mereka untuk kongkow di warung kopi ketika malam hari. Namun, di masa Ramadan seperti ini, rasanya sedih bila melihat ada banyak anak muda yang lebih asyik bergawai di warung kopi ketimbang duduk khusyu di musholla untuk tadaruz-an seperti zaman saya dulu. Ah, zaman memang sudah berubah. Semoga saja perubahan itu tidak ikut menggerus kekhusyukan kita dalam beribadah di bulan Ramadan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H