Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Korupsi karena Gaji Rendah dan Wartawan "Bodrek"

18 Januari 2019   22:32 Diperbarui: 18 Januari 2019   22:36 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Apakah sampean (Anda) ikut khusyu menyaksikan debat perdana calon presiden yang ditayangkan salah satu (atau mungkin salah dua) stasiun televisi tadi malam? Ataukah sampean merasa malas menonton debat tetapi malamnya malah tergoda ingin tahu bagaimana keseruannya sehingga lantas sibuk mencari tahu dengan berkunjung ke saluran Youtube maupun di media sosial?

Sejak jauh hari sebelum debat, saya sebenarnya kurang berminat menonton debat yang palingan begitu saja. Bagi saya, keseruan (bila memang seru karena ada banyak kawan yang malah menyebutnya tidak menarik) debat calon presiden ini tidak seperti dulu.

Tadi malam, ketika acara debat berlangsung, saya malah tengah mengantre menunggu giliran berurusan dengan tukang potong rambut. Hujan deras yang mendadak turun, membuat penantian tiga orang itu bak serasa lama.

Nah, di tengah menunggu giliran dipotong rambut itulah, saya tergoda untuk melangkah ke warung kopi yang ada di dekat tempat tersebut. Hujan-hujan paling enak nyeruput kopi hitam hangat. Ternyata, di warung kopi yang dilengkapi wi-fi gratis dan televisi tersebut, juga tengah diputar acara debat. Entah menonton sejak awal atau sekadar pindah saluran televisi. Saya kurang tahu.

Kebetulan, ketika saya melihatnya, salah satu capres tengah menyampaikan pernyataan perihal banyaknya pejabat di Indonesia yang melakukan korupsi karena dipicu gaji mereka terlalu kecil. Dengan kata lain, gaji pejabat yang rendah menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Pernyataan salah satu capres tersebut menjadi salah dua angle yang menjadi ulasan utama beberapa media arus utama. Silahkan sampean masuk ke mesin pencari Google dan menuliskan kata kuncinya, akan muncul beberapa link berita dari beberapa media daring terkenal.

Bagi saya, inti pernyataan tersebut sebenarnya tidak melulu pada korupsinya. Korupsi di sini hanya sebab akibat. Episentrum dari pernyataan tersebut tak lebih dari 'sebuah magnet'. Sebuah magnet yang dipakai untuk menarik para abdi negara, aparatur sipil negara agar memberikan suaranya di Pilpres mendatang. Lha wong calon presiden tersebut lantas menyampaikan "kunci jawabannya" perihal janji akan meningkatkan gaji para ASN agar para pejabat negara tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

Sebenarnya, benarkah pejabat yang melakukan korupsi karena kepepet sebab gaji mereka rendah sementara kebutuhan keluarga bertambah besar sehingga mereka lantas mencari 'jalan cepat' agar menjadi serba berkecukupan?

Mungkin ada benarnya. Sebab, namanya alasan kan ada saja macamnya. Namun, menurut saya, sebenarnya tidak melulu gaji besar yang menyebabkan pejabat tergoda korupsi. Meski, para pejabat juga seharusnya tidak digaji kecil yang bisa menjadi celah untuk tergoda melakukan korupsi.

Konon, dalam sejarah Great Wall di Tiongkok, selama bertahun-tahun sejak dibangun, bangunan tembok gagah memanjang itu benar-benar menjadi benteng kokoh untuk membentengi kekaisaran Cina kuno dari serangan bangsa Mongolia. Hingga suatu ketika, Great Wall bisa ditembus.

Dengan cara apa? Ternyata karena pasukan Mongolia menyogok petugas yang berjaga di tembok China dengan memberikan makanan dan kebutuhan mereka. Sogokan itulah yang membuat benteng kokoh itu bisa ditembus.

Gaji cukup memang perlu. Namun, terpenting sejatinya lebih kepada orangnya sendiri. Ya, selain gaji yang cukup, terpenting adalah merasa cukup. Gaji sebesar apapun tidak menjadi jaminan bisa memadamkan keinginan korupsi selama orangnya memang selalu merasa kurang. Ada sebuah analogi bahwa bila manusia diberi dua gunung emas, mereka tidak akan puas. Sebaliknya, mereka akan meminta gunung emas yang keempat dan kelima.

Beberapa tahun lalu, ketika masih bekerja di instansi pemerintah, saya pernah menghadiri seminar dengan salah satu narasumbernya berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Saya lupa beliau siapa. Namun, dari sekian pesan bagus yang disampaikan, saya masih ingat salah satu pesan mulianya. Bahwa, agar tidak tergoda korupsi, seorang abdi negara harus sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Bahwa, ada banyak skill yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun, ada satu skill yang tidak boleh hilang dalam diri seorang pemimpin adalah memberikan contoh baik bagi yang dipimpinnya. Bukankah abdi negara merupakan pemimpin bagi masyarakat, pemimpin bagi keluarga dan dirinya sendiri?

Keteladanan dari pemimpin menjadi hal terpenting dalam upaya pencegahan tindakan yang mengarah pada korupsi. Pemimpin yang memiliki integritas akan dicontoh oleh anak buahnya. Bahkan lebih penting dari sistem tata kelola e-government demi mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sebab, kalaupun sistemnya bagus, tetapi bila pengelola sistemnya mudah tergoda korupsi, sistem itu tidak ada gunanya.

Nah, untuk menjadi teladan yang bersih dari korupsi, seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri serta tahu tujuan akhir hidupnya. Ketika pemimpin tidak lagi memikirkan dirinya sendiri dan sadar tujuan akhir hidupnya, mereka tidak akan tergoda oleh godaan korupsi.

Ah ya, berkaitan dengan tema korupsi karena gaji rendah ini, saya jadi teringat dengan mereka yang mengakunya para pencari berita tetapi juga merangkap pencari duit. Dalam bahasa populer, mereka ini acapkali disebut "wartawan bodrek".

Konon, istilah itu muncul karena oknum pencari berita sekaligus pencari uang ini acapkali membuat pusing kepala narasumbernya karena sering meminta uang. Jadilah istilah merk obat sakit kepala itu menempal pada para pencari berita. Karena menggunakan kata konon, saya tidak tahu apakah memang benar seperti itu.

Tetapi memang, ketika dulu bekerja di "pabrik koran", saya beberapa kali bertemu tipikal orang jenis ini. Kawan-kawan pekerja media biasanya sudah hafal orangnya. Kalau kata kawan-kawan dulu, mereka ini seperti punya 'banyak mata dan telinga' sehingga selalu tahu bila ada agenda seminar, rapat, jumpa pers atau kegiatan lainnya. Biasanya, mereka datang sendiri ataupun berkelompok (tanpa diundang) dan lantas susah pulang (karena menunggu pesangon dulu).

Mengapa mereka melakukan itu? Apakah karena gajinya memang sedikit? Mungkin iya. Tetapi yang jelas, gaji itu sejatinya soal kesekian. Sejatinya, mereka tidak punya ketulusan hati dalam bekerja. Sebab, kalau tulus, tentunya tidak akan mau menunggangi profesinya demi mendapatkan uang di luar gaji. Kalau merasa gajinya kecil, mengapa tidak mencoba alih profesi mencari gaji yang lebih besar.

Syukurlah, ada banyak kawan pekerja media yang masih bekerja dengan tulus. Mereka merasa cukup dengan gaji yang diterima dari kantor. Jangankan meminta, mereka berani menolak bila diberi uang karena khawatir uang tersebut akan merusak independensinya dalam menulis.

Sebab, yang paling bahaya dari mendapatkan 'uang besar dalam waktu cepat' ini adalah munculnya adalah pola pikir yang keliru. Pelakunya akan berpikir bahwa mendapatkan uang dalam jumlah besar itu ternyata mudah tanpa harus bekerja keras dan menunggu lama.

Bila sudah seperti itu, sampai kapanpun mereka tidak akan merasa selesai dengan urusan duit dan duit. Sampai kapanpun, mereka tidak akan pernah merasa cukup.  Sampai kapanpun mereka tidak akan mau tahu dengan tujuan akhir hidupnya.

Ah ya, saya tidak sempat menyimak bagaimana kelanjutan debat tadi malam. Lha wong sudah giliran saya untuk duduk di kursi empuk tukang potong rambut. "Mau dicukur kayak apa mas," ujar tukang potong rambutnya". Salam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun