Konon, untuk menutup lokalisasi agar berhenti beroperasi, meski sulit tetapi bisa dilakukan selama memang pemerintah daerahnya memiliki komitmen kuat dan mendapat dukungan dari masyarakatnya.
Namun, untuk bisa menyetop prostitusi agar tidak lagi terjadi, terlebih yang transaksinya dilakukan lewat online, ceritanya berbeda. Kalau kata anak zaman now, "tidak semudah itu Ferguso".
Benarkah? Entahlah.
Lha wong saya bukan pakar masalah sosial yang memiliki kepakaran dalam menyoroti lokalisasi, prostutisi dan segala macam yang ada di dalamnya. Karenanya, saya lebih suka memakai kata konon. Meski, itu merupakan hasil bincang-bincang dengan beberapa kawan pemerhati masalah sosial.
Tetapi memang, merujuk pada berita-berita yang berseliweran di media massa arus utama maupun di media sosial, gambaran konon tersebut ada benarnya. Bahwa, menutup lokalisasi itu bisa dilakukan, tetapi menghentikan prostitusi itu tidak mudah.
Nah, bicara lokalisasi dan juga prostitusi online yang melibatkan artis dan kebetulan terungkap di Surabaya, ingatan saya lantas melayang pada salah satu eks kawasan lokalisasi di Surabaya yang pernah amat terkenal: Dolly.
Eks lokalisasi yang namanya konon mengutip nama orang Belanda itu kini sudah tinggal sejarah setelah ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya pada pertengahan tahun 2014 silam.
Sebenarnya, di Surabaya bukan hanya pernah ada Dolly. Juga pernah ada lokalisasi Dupak Bangunsari, Sememi, Morokrembangan dan Klakahrejo. Tapi memang tidak seterkenal dan juga sebesar Dolly. Keempat eks wilayah lokalisasi itu juga sudah ditutup oleh Pemkot Surabaya. Seingat saya malah lebih dulu dibanding Dolly.
Saya mendadak teringat bekas kawasan lokaliasi setelah mendapati beberapa komentar di media sosial yang menyoroti kasus ini. Selain mengomentari kasus prostitusi online yang menyeret artis berinisial VA tersebut, beberapa warganet juga bersuara 'melawan arus' alias berkebalikan dengan komentar kebanyakan.
Ada warganet yang menyuarakan agar kasus tersebut menjadi momentum agar praktek lokalisasi dilegalkan alias dipusatkan saja daripada sembunyi-sembunyi seperti kasus yang viral tersebut. Ah, namanya juga netizen yang katanya selalu benar (meski tidak semua warganet seperti itu).
Ide itulah yang lantas menggiring ingatan saya pada eks wilayah lokalisasi di Surabaya. Kebetulan, selama dulu pernah bekerja di 'pabrik koran' dan juga di pemerintah daerah yang berkaitan dengan publikasi, saya pernah mengikuti langsung berbagai aktivitas jelang penutupan, ketika deklarasi penutupan maupun pasca penutupan eks lokalisasi tersebut.
Lantas, akhirnya berkesempatan datang langsung ke kawasan tersebut ketika sudah ditutup oleh Pemkot untuk meliput beberapa eks wisma di lokalisasi yang sudah "disulap" menjadi sentra usaha. Juga melihat dan berbincang langsung dengan beberapa warganya yang telah berhasil berwirausaha. Dulu ketika sebelum penutupan sih nggak pernah ke sana. Sekadar tahu ancar-ancar daerahnya saja.
Dari pengalaman mengikuti dan pernah meliput itulah, saya bisa mengetahui bahwa urusan lokalisasi itu bukan hanya tentang transaksi begituan. Bukan itu saja. Kalaupun dilegalkan tersentralisasi seperti ide dari warganet itu, urusannya bukan hanya seputar itu saja.
Sebab, ada masalah kompleks di dalamnya. Semisal perihal tumbuh kembang anak yang pastinya terganggu, kenyamanan hidup masyarakat di lingkungan sekitar, masalah kemandirian warganya dan sebagainya yang harus diperhatikan.Â
Sampean (Anda) mungkin pernah mendengar ataupun membaca berita perihal alasan mengapa dulu Bu Risma (Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini) bersemangat menutup Dolly dan lokalisasi lainnya di Surabaya.
Awalnya bermula ketika Bu Risma menjadi "guru dadakan" di beberapa sekolah yang mengajarkan motivasi dan berbagi pengalaman. Nah, ketika mengajar di kawasan lokalisasi, wali kota perempuan pertama di Surabaya ini mendapati anak-anak yang 'pandangannya kosong' dan bak tidak punya gairah belajar.
Mereka ternyata anak-anak yang tinggal di kawasan lokalisasi yang sehari-hari melihat 'pemandangan' yang seharusnya tidak boleh mereka lihat, mendengar dentuman musik yang begitu. Terlebih, wali kota juga mendapat kiriman surat dari beberapa siswa yang meminta agar kawasan lokalisasi tersebut ditutup.
Dari situ, penutupan wilayah lokalisasi tersebut mulai diupayakan. Tujuannya demi menyelematkan anak-anak yang ada di sana, sekaligus memberikan ruang gerak dan wilayah yang ramah, aman dan nyaman bagi mereka.
Namun, tidak hanya urusan anak-anak, yang juga tidak kalah penting adalah mengubah pola pikir orang tua dan warga di sana. Ketika masih ada lokalisasi, beberapa warga bisa cukup mudah mendapatkan uang. Semisal jasa parkir kendaraan tamu, warung kopi warung nasi, setiap hari bisa 'panen'.
Bila lokalisasi ditutup, tentunya mata pencaharian mereka berubah. Karenanya, tidak semua sepakat. Ada juga yang menolak penutupan. Butuh pendekatan untuk mengubah mind set warga agar mau beralih bekerja yang lebih mandiri. Pendek kata, menutup lokalisasi tidak bisa sekadar menutup lantas selesai.Â
Karenanya, jauh sebelum penutupan, pemkot melalui beberapa dinas terkait, melakukan berbagai upaya. Salah satunya memberikan pelatihan usaha mikro kecil menengah (UMKM) terhadap beberapa warga terdampak penutupan. Diantaranya pelatihan memasak, membuat keripik, tempe, menjahit, membatik, juga kerajinan tangan. Pokoknya pelatihan yang bisa jadi bekal mereka untuk memulai usaha. Termasuk memberikan rombong/lapak untuk usaha.
Bahkan, ketika usaha mereka sudah mulai jalan, dinas-dinas tersebut masih melakukan pendampingan hingga menfasilitasi tempat usaha agar mereka pede berwirausaha dan mengenalkan produknya.
Tentu saja, semua upaya tersebut tidak serta merta membuahkan hasil. Ada beberapa orang yang akhirnya berhasil, sementara lainnya ada yang merindukan kehidupan seperti dulu. Terbayang kan betapa tidak mudahnya menutup lokalisasi meskipun akhirnya bisa dilakukan.
Saya kebetulan pernah mewawancara salah seorang warga di bekas eks lokalisasi Dupak Bangunsari yang dulunya usaha warung nasi/kopi untuk tulisan di Kompasiana (Kegigihan Anik Sriwatiah Berdayakan Mantan PSK dan Mantan Mucikari Lokalisasi Dupak Bangunsari). Dia berkisah, dulu mudah saja mendapatkan uang satu juta dalam sehari, terutama di akhir pekan. Namun, di sisi lain, ia juga mengaku gerah dengan kehidupan yang seperti itu. Terlebih, dia memiliki anak perempuan.
Karenanya, dia termasuk yang mendukung ketika pemkot akan menutup lokalisasi. Meski, risikonya dia pernah dicap sok suci bahkan pernah diusir warga yang menolak penutupan ketika mengikuti pelatihan UKM. Berkat ketekunan dan sinergi dengan warga lainnya, dia lantas memiliki usaha sendiri.
Begitulah gambarannya peliknya untuk menutup lokalisasi. Tidak sekadar menutup, tetapi juga harus memikirkan kepentingan masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Â Mulai dari anak-anak, anak muda hingga para orang tua yang tentu saja butuh "dapur asap mereka tetap mengepul".
Tak selalu mulus karena ada yang tidak sepakat berubah. Lebih tepatnya mengubah kebiasaan yang telah dilakukan. Karenanya, butuh komitmen kuat dari pemerintah daerahnya dan juga dukungan dari masyarakat maupun media.
Bila penutupan lokalisasi ternyata tidak mudah meski akhirnya bisa, bagaimana dengan prostitusi online?
Merujuk kata konon seperti di awal tulisan ini, mungkin prostitusi online lebih sulit untuk dihilangkan karena 'deal-dealan' nya dilakukan lewat online. Toh, terungkapnya kasus VA di Surabaya, menjadi bukti bahwa praktik prostitusi online masih bisa diendus.
Selain itu, dengan penyidikan oleh kepolisian plus pemberitaan yang begitu viral di media sosial maupun di media arus utama serta di percakapan WhatsApp, seharusnya menjadi momentum kapok bagi mereka yang juga melakukan hal serupa. Mereka harusnya paham, perbuatan mereka tidak hanya bisa mendapatkan sanksi hukum tetapi juga sanksi moral dari masyarakat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H