Lantas, akhirnya berkesempatan datang langsung ke kawasan tersebut ketika sudah ditutup oleh Pemkot untuk meliput beberapa eks wisma di lokalisasi yang sudah "disulap" menjadi sentra usaha. Juga melihat dan berbincang langsung dengan beberapa warganya yang telah berhasil berwirausaha. Dulu ketika sebelum penutupan sih nggak pernah ke sana. Sekadar tahu ancar-ancar daerahnya saja.
Dari pengalaman mengikuti dan pernah meliput itulah, saya bisa mengetahui bahwa urusan lokalisasi itu bukan hanya tentang transaksi begituan. Bukan itu saja. Kalaupun dilegalkan tersentralisasi seperti ide dari warganet itu, urusannya bukan hanya seputar itu saja.
Sebab, ada masalah kompleks di dalamnya. Semisal perihal tumbuh kembang anak yang pastinya terganggu, kenyamanan hidup masyarakat di lingkungan sekitar, masalah kemandirian warganya dan sebagainya yang harus diperhatikan.Â
Sampean (Anda) mungkin pernah mendengar ataupun membaca berita perihal alasan mengapa dulu Bu Risma (Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini) bersemangat menutup Dolly dan lokalisasi lainnya di Surabaya.
Awalnya bermula ketika Bu Risma menjadi "guru dadakan" di beberapa sekolah yang mengajarkan motivasi dan berbagi pengalaman. Nah, ketika mengajar di kawasan lokalisasi, wali kota perempuan pertama di Surabaya ini mendapati anak-anak yang 'pandangannya kosong' dan bak tidak punya gairah belajar.
Mereka ternyata anak-anak yang tinggal di kawasan lokalisasi yang sehari-hari melihat 'pemandangan' yang seharusnya tidak boleh mereka lihat, mendengar dentuman musik yang begitu. Terlebih, wali kota juga mendapat kiriman surat dari beberapa siswa yang meminta agar kawasan lokalisasi tersebut ditutup.
Dari situ, penutupan wilayah lokalisasi tersebut mulai diupayakan. Tujuannya demi menyelematkan anak-anak yang ada di sana, sekaligus memberikan ruang gerak dan wilayah yang ramah, aman dan nyaman bagi mereka.
Namun, tidak hanya urusan anak-anak, yang juga tidak kalah penting adalah mengubah pola pikir orang tua dan warga di sana. Ketika masih ada lokalisasi, beberapa warga bisa cukup mudah mendapatkan uang. Semisal jasa parkir kendaraan tamu, warung kopi warung nasi, setiap hari bisa 'panen'.
Bila lokalisasi ditutup, tentunya mata pencaharian mereka berubah. Karenanya, tidak semua sepakat. Ada juga yang menolak penutupan. Butuh pendekatan untuk mengubah mind set warga agar mau beralih bekerja yang lebih mandiri. Pendek kata, menutup lokalisasi tidak bisa sekadar menutup lantas selesai.Â
Karenanya, jauh sebelum penutupan, pemkot melalui beberapa dinas terkait, melakukan berbagai upaya. Salah satunya memberikan pelatihan usaha mikro kecil menengah (UMKM) terhadap beberapa warga terdampak penutupan. Diantaranya pelatihan memasak, membuat keripik, tempe, menjahit, membatik, juga kerajinan tangan. Pokoknya pelatihan yang bisa jadi bekal mereka untuk memulai usaha. Termasuk memberikan rombong/lapak untuk usaha.
Bahkan, ketika usaha mereka sudah mulai jalan, dinas-dinas tersebut masih melakukan pendampingan hingga menfasilitasi tempat usaha agar mereka pede berwirausaha dan mengenalkan produknya.