Mudah membayangkan betapa bahagianya menjadi suporter Timnas Vietnam, Filipina dan Thailand sekarang ini. Mulai akhir pekan ini, tiga negara Asia Tenggara tersebut akan tampil di "panggung gemerlap" Piala Asia 2019 yang digelar di Uni Emirat Arab. Sabtu malam nanti, pesta sepak bola Asia ini akan dibuka dengan pertandingan antara tuan rumah Uni Emirat Arab melawan Bahrain.
Filipina, Thailand dan Vietnam akan menjadi bagian sejarah dari Piala Asia yang dikemas sesuai kemasan era kekinian. Ya, AFC memang telah melakukan beberapa terobosan demi membuat gelaran Piala AFC 2019 menjadi lebih menarik. Â
Salah satunya dengan menambah jumlah peserta. Bila di Piala Asia sebelumnya hanya melibatkan 16 tim, kini menjadi 24 tim. Dengan penambahan jumlah peserta, negara-negara yang jarang tampil di Piala Asia, tentunya bisa lebih bersemangat untuk bisa lolos.
Piala Asia 2019 juga akan memberlakukan penggunaan video assistant referee (VAR) untuk kali pertama. Sebelumnya, VAR sudah diterapkan di Piala Dunia 2018 lalu. Tim-tim seperti Arab Saudi, Iran dan Korsel, bakal 'bernostalgia' dengan VAR yang sempat membuat mereka merana di Piala Dunia lalu.
Inovasi lainnya, mulai Oktober 2018 lalu, AFC mengizinkan penerapan empat kali pergantian pemain. Hanya saja, pergantian pemain keempat hanya boleh dilakukan saat babak tambahan waktu. Artinya, pergantian empat kali ini hanya berlaku di babak eliminasi atau knock out. Selain itu, Piala Asia 2019 juga tidak lagi mempertandingkan pertandingan perebutan tempat ketiga bagi dua tim yang kalah di semifinal.
Dan, yang terakhir, tim juara Piala Asia 2019 nantinya akan meraih trofi baru yang lebih keren. Ya, sejak kali pertama penyelenggaraan pada 1956, AFC akhirnye mengubah desain trofi Piala Asia. Sampean yang ingin tahu bagaimana kerennya trofinya, silahkan 'mengetuk pintu' google.
Memang, secara usia, para pelatih top tersebut sudah berada di luar masa kejayaannya. Sukses mereka di masa lalu hanya tinggal kenangan. Namun, nama besar mereka tetap saja bisa membuat Piala Asia 2019 lebih menarik dan kompetitif
Ambil contoh nama Alberto Zaccheroni. Pelatih asal Italia berusia 65 tahun ini kini melatih tim tuan rumah Uni Emirat Arab (UEA). Dia sudah melatih UEA sejak Oktober 2017 lalu. Selama kariernya sebagai pelatih, Zaccheroni pernah melatih tim top Italia, AC Milan. Dia bahkan pernah membawa Milan jadi juara Liga Italia pada tahun 1999. Namun, pencapaian terbesarnya adalah saat melatih Jepang pada 2010-2014 dan membawa negara tersebut lolos ke Piala Dunia 2014.
Kini, UEA berharap Zaccheroni bisa membawa mereka berprestasi di Piala Asia 2019. Minimal untuk mengulangi pencapaian di tahun 1996 saat mereka menjadi finalis ketika berstatus tuan rumah Piala Asia 1996. Hingga kini, itu menjadi pencapaian tertinggi UEA di Piala Asia. Sebagai tuan rumah Piala Asia 2019, UEA berada di Grup A bersama Bahrain, India dan Thailand.
Selain Zaccheroni juga ada nama Sven-Goran Eriksson. Untuk kali pertama, pelatih berpengalaman asal Swedia yang pernah membawa Lazio juara Serie A pada tahun 2000 ini akan merasakan atmosfer Piala Asia bersama tim yang ditanganinya, Filipina. Eriksson yang pernah melatih Inggris di Piala Dunia 2002 dan 2006, baru empat bulanan melatih Filipina. Dia dikontrak pada bulan Oktober.
Namun, Eriksson sudah melakukan 'pemanasan' dengan tampil di Piala AFF 2018 pada November-Desember 2018 lalu. Hasilnya, Filipina dibawanya ke semifinal sebelum dihentikan Vietnam yang akhirnya menjadi juara. Filipina bahkan mengungguli Indonesia di fase grup.
"Perang Bintang" Pelatih di Grup C
Di Piala Asia 2019, Filipina berada di Grup C bersama tim favorit, Korea Selatan, Tiongkok dan juga Kyrgystan. Filipina akan melakoni pertandingan pertamanya melawan Korea Selatan pada 7 Januari nanti.
Menariknya, Korea Selatan yang menjadi lawan Filipina dan biasanya dilatih "pelatih lokal", kali ini juga memilih orang luar berstatus "world cup coach". Korsel kini dilatih mantan pelatih Timnas Portugal di Piala 2014, Paulo Bento.
Kali ini, dengan beberapa pemain top yang bermain di Eropa, salah satunya striker Son Heung-min tengah tampil bagus di Tottenham Hotspur, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang diunggulkan untuk bisa tampil di final. Namun, Bento menolak bila Korsel disebut favorit utama.
"Saya yakin kami akan mampu bermain bagus, tetapi kami bukan satu-satunya tim yang bersaing memburu gelar. Tim-tim lain juga siap menjadi juara. Saya tidak berpikir kami favorit utama di turnamen ini," ujarnya.
Dan, Grup C seolah menjadi 'perang bintang' pelatih dengan nama tenar. Selain Eriksson dan Bento, juga ada nama Marcello Lippi yang menangani Timnas Tiongkok. Penggemar Liga Italia 90-an pastinya mengenal nama Lippi, pelatih berambut putih dengan cerutu besar di tangannya ketika pertandingan.
Lippi pelatih terakhir yang membawa Juventus jadi juara Liga Champions pada 1996 silam dan juga sukses membawa Italia menjadi juara di Piala Dunia 2016, diharapkan menjadi "tukang sulap" bagi Timnas Tiongkok untuk berprestasi di Piala Asia 2019.
Ya, bersama Lippi yang kini berusia 70 tahun, Tiongkok berharap bisa mengulang atau bahkan melebihi pencapaian terbaik mereka di Piala Asia kala menjadi finalis di edisi 2004 dan 1984.
Hanya saja, pelatih seorang diri tidak akan mampu menentukan keberhasilan sebuah tim. Begitu juga di tim Tiongkok, tidak akan muda bagi mereka bersaing menjadi yang terbaik di Piala Asia.
Apalagi, Tiongkok datang ke turnamen tidak dalam kondisi bagus. Dalam tujuh pertandingan persahabatn sejak September 2018 lalu, Tiongkok hanya mampu menang satu kali atas Syria, selebihnya imbang empat kali dan kalah dua kali. Tapi, siapa tahu Lippi bisa membuat kejutan
Deretan pelatih top di Piala Asia 2019 bertambah dengan nama Juan Antonio Pizzi di Arab Saudi. Pria asal Argentina ini sudah menangani Arab Saudi di Piala Dunia 2018. Fans sepak bola Arab Saudi tentunya berharap Pizzi bisa mengulang prestasi saat membawa Chile jadi juara Copa America di tahun 2016 dengan mengalahkan Argentina. Arab Saudi berada di Grup E bersama Lebanon, Qatar dan Korea Utara.
Lalu ada nama Carlos Queiroz di Timnas Iran. Queiroz mampu membuat Iran tampil apik di Piala Dunia 2018 lalu meski bersaing dengan Spanyol dan Portugal. Mantan pelatih Real Madrid ini merupakan pelatih dengan masa kerja terlama di Piala Asia 2019. Dia sudah melatih Iran sejak 2011. Iran berada di grup D bersama Irak, Yemen dan juara Asia Tenggara 2018, Vietnam.
Selain itu, masih ada nama Hector Cuper di Uzbekistan. Cuper merupakan pelatih Timnas Mesir di Piala Dunia 2018 lalu. Dia pernah menjadi pelatih disegani kala melatih pelatih Valencia di awal 2000-an saat membawa klub itu jadi finalis Liga Champions 2000 dan 2001.
Namun, di balik gemerlap Piala Asia 2019, tentu saja ada kurangnya. Andai saja Timnas Indonesia ikut tampil di sana. Andai Indonesia bisa mengulang pencapaian Piala Asia tahun 1996 silam yang juga digelar di Uni Emirat Arab.
Masih terngiang dalam ingatan betapa heroiknya penampilan Timnas Indonesia di Piala Asia 1996. Meski gagal lolos ke babak knock out, tetapi penampilan enerjik Ronny Wabia, Marzuki Badriawan, Chris Yarangga dan Bima Sakti, sulit dilupakan. Â
Dan, tentu saja, gol 'tendangan sepeda' Widodo Cahyono Putro saat melawan Bahrain di laga pertama yang membuat saya bersorak sendirian di tengah malam ketika orang-orang rumah sudah tertidur. Sayangnya, keunggulan dua gol kala itu bisa disamakan Bahrain. Gol penyama bahkan terjadi di menit ke-85. Meski begitu, rasanya puas menyaksikan penampilan Timnas.
Ah, rasanya rindu melihat Timnas Indonesia bisa tampil gagah di Piala Asia. Ya, di Piala Asia, bukan hanya di Piala AFF. Semoga saja, sepak bola Indonesia bisa cepat sembuh dari 'penyakit' match fixing. Semoga saja sepak bola Indonesia bisa kembali terbang tinggi seperti logo burung garuda di dada. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H