Namun, jejak rekam penampilan tunggal putra Indonesia selama tahun 2018 juga memunculkan fakta yang bikin nelangsa. Bahwa tunggal putra kita masih tampil labil. Seolah sulit sekali untuk memenangi gelar atau minimal tampil di babak final secara back to back turnamen. Yang terjadi malah, mereka tampil luar biasa oke di turnamen A, tetapi di turnamen B berikutnya, mereka seperti menjadi pemain berbeda.
Kisah seperti itu yang dialami Jonatan Christie. Usai jadi juara di Asian Games 2018 pada akhir Agustus lalu, Jojo yang tampil di Japan Open Super 750 pada pertengahan September, diharapkan bisa melangkah jauh. Lha wong pemain-pemain yang dihadapi itu-itu saja. Yang terjadi, dia malah langsung tereliminasi di putaran pertama dari pemain 'kurang terkenal' asal India, HS Prannoy.
Ginting pun masih belum mampu tampil stabil. Rentang waktu gelar di Indonesia Masters yang diraih pada bulan Januari kemudian meraih gelar di China Open pada pertengahan September 2018, menjadi bukti betapa pemain kelahiran Cimahi ini belum mampu awet tampil di babak penting di setiap turnamen.
Bahkan, setelah menjadi juara di China Open dengan mengalahkan semua pemain top dari Lin Dan, Axelsen, Chen Long, Chou Tien-chen, dan Momota di final, dia langsung takluk di putaran pertama Denmark Open (kalah dari Momota).
Memang, namanya pertandingan, akan selalu ada kalah dan menang. Pemain yang kalah, tentunya akan melakukan evaluasi agar tidak kembali kalah ketika bertemu lawan yang sama di pertandingan lainnya. Namun, pemain yang sebelumnya menang, seharusnya juga menyiapkan "jurus baru" bila jurus lama tidak ampuh ketika menghadapi pemain yang sama.
Nah, gambaran labilnya performa tunggal putra Indonesia tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah yang perlu diberesi. PBSI sebagai induk olahraga bulutangkis, bukannya diam saja. Mereka pastinya juga telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi "penyakit inkonsistensi" yang diderita tunggal putra Indonesia.
Butuh Masukan dari Mereka yang Kompeten
Mumpung di akhir tahun 2018, tentunya penting untuk melihat kembali apa yang kurang dari tunggal putra Indonesia. Dengan pelatih dan pemain bertemu dan berdialog, plus masukan dari PBSI juga pemain-pemain legenda, kekurangan tersebut diharapkan bisa teratasi.
Masukan dari mereka yang memang berkompeten tersebut tentunya penting. Sebab, dalam sebuah wawancara dengan media, Ginting pernah berujar bahwa tunggal putra Indonesia memang tidak punya panutan langsung karena ketiadaan pemai senior di pelatnas. Untuk pemain di pelatnas, usia mereka rata-rata sama, 21-23 tahun sehingga secara pengalaman pun sama.
Bandingkan dengan tunggal putra Tiongkok yang selisih usia Shi Yuqi (21 tahun) dengan Chen Long (29 tahun) terpaut delapan tahun. Keberadaan Chen Long yang sarat pengalaman, diantaranya meraih medali emas Olimpiade 2016, tentunya memungkinkan terjadi sharing experience.
Meski, pada akhirnya, pemain-lah yang menentukan pencapaiannya sendiri melalui kerja kerasnya selama latihan, ketangguhan mental dan perjuangan di lapangan.