Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Memahami Lelahnya "Robot-robot" Bulutangkis Era Kekinian

1 November 2018   22:34 Diperbarui: 2 November 2018   10:38 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kento Momota dan Chen Long/Foto: New Strait Times

Jadi pebulutangkis papan atas era kekinian itu harus siap capek. Bahkan sangat capek. Betapa tidak, selama satu tahun ini, hampir tiap bulan, mereka harus tampil di "turnamen wajib" yang digelar oleh Federasi Bulutangkis Dunia (BWF). Tak hanya satu turnamen, bahkan bisa dua turnamen berurutan dalam rentang dua pekan.

Untuk tahu gambaran seberapa capeknya atlet bulutangkis zaman sekarang, silahkan membayangkan situasi ini.

Pemain ganda putra Indonesia yang kini menempati rangking 1 dunia, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya baru tampil di final turnamen French Open 2018 pada Minggu (28/110) kemarin, usai melahap pertandingan dalam lima hari beruntun. Di pekan sebelumnya, mereka juga tampil lima hari beruntun di Denmark Open yang berakhir gelar juara.

Final French Open 2018 selesai Minggu malam. Keesokan harinya, mereka kembali dari Paris ke Indonesia. Dan, setelah jeda kurang lebih dua hari, Kamis (1/11/2018) hari ini, mereka kembali berlatih bersama pemain-pemain bulutangkis Pelatnas lainnya.

Dan, tiga hari ke depan, mereka akan kembali berangkat bertanding. Kali ini ke Tiongkok. Marcus/Kevin bersama pebulutangkis-pebulutangkis top Indonesia seperti Jonatan Christie, Anthony Ginting, Gregoria Mariska Tunjung, Greysia Polii/Apriyani Rahayu dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, akan tampil di turnamen Fuzhou Open Super 750 yang berlangsung 6-11 November. Lantas, berlanjut tampil di Hongkong Open Super 500 yang digelar pada 13-18 November 2018.

Umumnya turnamen dimulai hari Selasa dan berakhir Minggu. Bila mampu lolos ke final, mereka akan terus bermain selama empat atau lima hari beruntun. Dari Selasa/Rabu (babak 32 besar), Kamis (babak 16 besar), Jumat (perempat final), Sabtu (semifinal) dan Minggu (final).

Dan, sehari kemudian, sudah berada di negara lain untuk bersiap tampil di turnamen berikutnya. Duh, recovery nya bahkan lebih mepet dari pesepak bola sekalipun.

Malah, bukan hanya capek tampil di lapangan, tenaga mereka juga terkuras dalam perjalanan. Lha wong turnamennya memang tidak digelar antar kota dalam provinsi ataupun antar kota antar provinsi dalam satu negara seperti halnya angkutan bus kota. Mereka harus siap melakukan perjalanan pindah negara dalam hitungan hari.

Jadwal padat seperti itu tidak hanya terjadi kali ini. Sejak Januari lalu, ritme hidup pebulutangkis-pebulutangkis top Indonesia sudah seperti itu. Bahkan, di tahun 2018 ini, selain tampil di turnamen BWF World Tour, mereka juga harus membela negara di turnamen beregu. Seperti Badminton Asian Team Championship (BATC) 2018 yang digelar pada Februari lalu, Piala Thomas/Uber hingga Asian Games 2018.  

Kenapa bisa begitu?

Begitulah, saat ini, bulutangkis telah menjelma menjadi salah 'industri' olahraga yang digemari. Dan dalam industri, berlaku ekspansi. Itu merupakan salah satu cara untuk mempromosikan "brand" olahraga ini agar semakin digemari di tingkat global.

Ekspansi itu berwujud pada beberapa turnamen yang terbilang baru digelar di beberapa negara yang sebelumnya tidak jadi "tuan rumah" turnamen. Karena negara tersebut memiliki beberapa pebulutangkis top dunia dan banyak fans bulutangkis di negara itu, jadilah turnamen digelar di sana. Tentu saja, turnamen baru ini menambah daftar turnamen yang telah ada sebelumnya.

Ambil contoh India Open yang mulai digelar sejak tahun 2008 silam. Bila di awal-awal, turnamen ini 'hanya' berlabel grand prix (kelas dua), sejak 2011 'naik kelas' menjadi BWF Super Series dan kini menjadi BWF World Tour Super 500 sehingga diikuti oleh pemain-pemain top dunia. Di India Open tahun 2018 ini, Indonesia meraih dua gelar di ganda putra lewat Marcus/Kevin dan ganda putri lewat Greysia/Apriyani.

Kelelahan, pemain jadi rentan cedera

Semakin banyak turnamen, tentunya waktu istirahat bagi atlet-atlet bulutangkis semakin berkurang. Malah, di akhir tahun yang harusnya menjadi periode berkumpul keluarga, pebulutangkis-pebulutangkis top dunia tetap akan tampil di turnamen bergengsi bertajuk "World SuperSeries Finals". Pesertanya adalah delapan pemain terbaik di masing-masing nomor yang dirangking berdasarkan pencapaian di BWF World Tour selama setahun ini.

Tentu saja, jadwal superpadat seperti itu memunculkan efek. Karena kelelahan, pemain jadi rentan cedera. Itu yang dialami tunggal putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung. Gregoria yang membuat kejutan dashyat saat melaju hingga semifinal Denmark Open, mengalami cedera pinggang. Cederanya makin parah ketika di French Open. Dia pun mundur di babak perempat final.

Dan, setelah menjalani pemindaian cederanya di Prancis, Jorji--sapaan Gregoria pun harus absen di turnamen SaarLorLux Open Super 100 yang digelar di Saarbrucken, Jerman, mulai Selasa (30/10/2018) kemarin

Tak hanya pemain Indonesia, pemain top dunia pun merasakan kelelahan dari jadwal padat yang mereka lakoni. Yang terkini, tunggal putra rangking 1 dunia, Kento Momota mengaku kelelahan usai tampil beruntun di Japan Open, China Open, Denmark Open dan French Open selama rentang September-Oktober. Hasilnya, usai jadi juara di Japan Open, China Open dan Denmark Open, Momota gagal di French Open. Dia kalah dengan skor telak, 18-21, 8-21 dari Chen Long di semifinal.

Kento Momota dan Chen Long/Foto: New Strait Times
Kento Momota dan Chen Long/Foto: New Strait Times
"Di Prancis kemarin, saya betul-betul kelelahan. Rasa capeknya terakumulasi dengan pertandingan di Denmark. Saya merasa kaki dan tangan saya tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya," ujar Momota seperti dikutip dari badminton_time.

Chen Long yang akhirnya juara French Open 2018 pun mengakui, dirinya menang karena Momota kelalahan. "Laga ini adalah pertandingan kesembilannya dalam dua minggu, jadi dia sedikit lelah hari ini (Sabtu). Saya menang karena kesabaran saya," ujar Chen Long seperti dikutip dari https://www.bolasport.com/bulu-tangkis/314443-french-open-2018--kelelahan-jadi-sebab-kento-momota-tumbang-di-tangan-chen-long

Semuanya karena aturan baru BWF

Lalu, jika memang menghadapi jadwal padat yang menguras stamina dan rentan cedera, kenapa pemain tetap saja mau berangkat dan bermain?

Begini. Semuanya tidak lepas karena aturan. Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menerapkan struktur baru untuk turnamen sepanjang tahun mulai 2018 yang sempat memunculkan pendapat pro dan kontra.

Mulai tahun ini, BWF menerapkan dua aturan baru. Selain mengenai perubahan service, juga kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim.

Para pebulutangkis tunggal, putra dan putri, yang ada di peringkat 15 besar serta sepuluh besar nomor ganda, putra, putri, dan campuran, wajib mengikuti 12 turnamen terbuka (tiga turnamen Premier of Premiers, lima turnamen Superseries Premier, dan empat dari tujuh turnamen Super Series. Jumlah ini lebih banyak dariperiode sebelumnya (wajib tampil pada lima turnamen). Nah, jika absen, pemain harus membayar denda.

Selain 12 turnamen, bagi para pemain elite Indonesia masih dijadwalkan tampil pada Kualifikasi Piala Thomas dan Uber pada Badminton Asia Team Championships, putaran final Piala Thomas Uber, dan Asian Games.

Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bahkan sempat melayangkan protes terkait aturan baru Federasi Badminton Dunia (BWF) untuk musim 2018-2021. Khusus perubahan kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti, PBSI menganggap BWF telah dengan sengaja memforsir atlet demi meraup pundi-pundi uang. Pasalnya, kuota minimal 12 turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim dinilai membuat atlet kelelahan dan rentan cedera.

Beberapa pemain senior juga angkat suara. Tunggal putra legendaris Tiongkok yang sudah meraih segalanya di bulutangkis, Lin Dan (35 tahun), mengakui kuota minimal 12 turnamen itu sangat memberatkan dirinya sebagai atlet senior. "Jika BWF mengharuskan atlet memainkan lebih banyak turnamen, mereka memaksa kami terus tampil untuk mengumpulkan poin. Karena itu, terkadang kami tak bisa bermain dengan kualitas terbaik," ungkap Lin Dan seperti dilansir dari Badmintonplanet.

Dampaknya, kelelahan pun mulai menghinggapi Lin Dan di beberapa turnamen terakhir jelang berakhirnya rangkaian BWF World Tour. Hal itu terlihat ketika mantan rival Taufik Hidayat itu tak mampu berbuat banyak dan sering kali kandas di babak pertama. Tahun ini, dia hanya sekali tampil di final (All England Open 2018).

Merujuk pada hal ini, pebulutangkis top era kekinian, tak ubahnya seperti "robot bulutangkis". Mereka seperti 'robot' yang mau tidak mau harus patuh pada peraturan yang telah dibuat. 

Atas nama profesionalisme, mereka harus menurut pada semua kewajiban itu. Meski, pertaruhannya bisa kelelahan dan cedera. Juga citra buruk mereka dari pecinta badminton yang terkadang tidak mau tahu bagaimana kelelahan akut yang mereka alami sehingga sulit tampil dalam form terbaik. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun