Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Memahami Lelahnya "Robot-robot" Bulutangkis Era Kekinian

1 November 2018   22:34 Diperbarui: 2 November 2018   10:38 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marcus/Kevin kini bak

Begini. Semuanya tidak lepas karena aturan. Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menerapkan struktur baru untuk turnamen sepanjang tahun mulai 2018 yang sempat memunculkan pendapat pro dan kontra.

Mulai tahun ini, BWF menerapkan dua aturan baru. Selain mengenai perubahan service, juga kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim.

Para pebulutangkis tunggal, putra dan putri, yang ada di peringkat 15 besar serta sepuluh besar nomor ganda, putra, putri, dan campuran, wajib mengikuti 12 turnamen terbuka (tiga turnamen Premier of Premiers, lima turnamen Superseries Premier, dan empat dari tujuh turnamen Super Series. Jumlah ini lebih banyak dariperiode sebelumnya (wajib tampil pada lima turnamen). Nah, jika absen, pemain harus membayar denda.

Selain 12 turnamen, bagi para pemain elite Indonesia masih dijadwalkan tampil pada Kualifikasi Piala Thomas dan Uber pada Badminton Asia Team Championships, putaran final Piala Thomas Uber, dan Asian Games.

Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bahkan sempat melayangkan protes terkait aturan baru Federasi Badminton Dunia (BWF) untuk musim 2018-2021. Khusus perubahan kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti, PBSI menganggap BWF telah dengan sengaja memforsir atlet demi meraup pundi-pundi uang. Pasalnya, kuota minimal 12 turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim dinilai membuat atlet kelelahan dan rentan cedera.

Beberapa pemain senior juga angkat suara. Tunggal putra legendaris Tiongkok yang sudah meraih segalanya di bulutangkis, Lin Dan (35 tahun), mengakui kuota minimal 12 turnamen itu sangat memberatkan dirinya sebagai atlet senior. "Jika BWF mengharuskan atlet memainkan lebih banyak turnamen, mereka memaksa kami terus tampil untuk mengumpulkan poin. Karena itu, terkadang kami tak bisa bermain dengan kualitas terbaik," ungkap Lin Dan seperti dilansir dari Badmintonplanet.

Dampaknya, kelelahan pun mulai menghinggapi Lin Dan di beberapa turnamen terakhir jelang berakhirnya rangkaian BWF World Tour. Hal itu terlihat ketika mantan rival Taufik Hidayat itu tak mampu berbuat banyak dan sering kali kandas di babak pertama. Tahun ini, dia hanya sekali tampil di final (All England Open 2018).

Merujuk pada hal ini, pebulutangkis top era kekinian, tak ubahnya seperti "robot bulutangkis". Mereka seperti 'robot' yang mau tidak mau harus patuh pada peraturan yang telah dibuat. 

Atas nama profesionalisme, mereka harus menurut pada semua kewajiban itu. Meski, pertaruhannya bisa kelelahan dan cedera. Juga citra buruk mereka dari pecinta badminton yang terkadang tidak mau tahu bagaimana kelelahan akut yang mereka alami sehingga sulit tampil dalam form terbaik. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun