Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Para Orang Tua, Setop "Sayang Palsu" kepada Anak

31 Oktober 2018   14:21 Diperbarui: 31 Oktober 2018   14:24 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila harus memilih antara asli atau palsu, rasanya semua orang akan lebih menyukai yang asli. Kata asli berkonotasi baik karena menunjukkan makna yang sebenarnya, murni. Sementara kata palsu cenderung bermkna buruk seperti pura-pura atau sekadar tipuan.

Namun, dalam hal menyayangi anak, ternyata tidak sedikit orang tua yang justru menyukai yang palsu. Mereka memberikan 'sayang palsu' kepada anak-anaknya. Atas nama demi menyenangkan anak bahkan memuaskan hati anak ataupun agar anak terlihat 'sempurna' di mata orang lain, mereka rela melakukan kepalsuan.

Sayang palsu bagaimana?

Begini. Saya memaknai sayang palsu ini seperti memberikan rasa sayang berlebihan kepada anak tanpa adanya pertimbangan membentuk karakter anak. Anak diberlakukan seperti seorang raja yang diistimewakan tanpa dipersiapkan bahwa kelak dia akan hidup di dunianya sendiri. Padahal, seorang anak raja pun tidak serta merta menjadi raja, tetapi jiwa kepemimpinannya dikader terlebih dulu

Ada beberapa perlakuan orang tua kepada anak yang bisa dikategorikan sebagai rasa sayang palsu. Apa saja?

Menuruti semua permintaan anak

Dulu, ketika masih bocah, pernakah sampean (Anda) mengira orang tua sampean nggak asyik hanya karena tidak selalu menuruti keinginan sampean? Saya pernah berpikir seperti itu.

Kini, setelah menjadi orang tua, saya jadi paham mengapa dulu orang tua tidak selalu menuruti kemauan saya. Ternyata bukan hanya karena kemampuan keuangan orang tua yang terkadang terbatas dan sudah di-poskan untuk urusan lain yang lebih penting. Anak mungkin tidak paham urusan seperti itu. Namun, sebagai orang tua, kita bisa mengajak mereka belajar paham.

Semisal anak yang selalu meminta dibelikan mainan meskipun mainan yang dimilikinya sudah banyak. Dengan tidak selalu menuruti permintaannya, kita bisa mengajari mereka tentang pentingnya rasa syukur terhadap barang yang sudah ada. Kita bisa mengajari makna menikmati barang yang ada.

Selain itu, kita juga bisa mengajari mereka bahwa orang tuanya perlu bekerja keras untuk mendapatkan uang sehingga mereka bisa belajar bijak dalam memakai uang. Pun, mereka bisa lebih menghargai kerja keras dan lebih sayang kepada orang tuanya.

Sementara bila menuruti apapun yang diinginkan anak, malah bisa mengaburkan makna sayang. Sebab, sikap seperti itu akan membuat anak akan merasa bisa mendapatkan apapun dengan mudah. Tinggal meminta. Itu tidak akan membuat mentalnya tangguh. 

Anak juga cenderung menganggap semua pemberian yang telah diberikan itu sebagai hal biasa. Sehingga, bila sekali saja orang tuanya tidak menuruti, dia merasa dikecewakan dan tidak menghargai semua hal yang selama ini dilakukan orang tua untuknya.

Terbiasa mengerjakan tugas sekolah anak

Benarkah tugas sekolah anak sekarang itu jauh lebih sulit dibanding zaman kita sekolah dulu? Sehingga, ada orang tua yang mengerjakan pekerjaan rumah anaknya. Pertimbanganya, agar tugas sekolahnya selesai.

Bila orang tuanya mengerjakan tugas sekolahnya bersama-sama dengan memberikan pemahaman kepada anak, itu tentu tidak ada masalah. Sebab, anak akan bisa diajak belajar mengatasi tugas sekolahnya sendiri.

Nah, yang tidak benar adalah ketika tugas sekolah anaknya, dikerjakan orang tuanya tanpa ada ruang untuk mengobrol bersama. Apalagi bila aktivitas seperti itu rutin dilakukan. 

Kalau anaknya masih SD kelas 1 sih mungkin masih wajar karena dia masih tahap belajar mengeja tugasnya. Lha bagaimana bila anaknya sudah kelas 1 SMP tetapi yang mengerjakan tugasnya adalah orang tuanya? Sementara anaknya entah ngapain. Dan, ternyata ada lho yang seperti itu.

Memang, tugas sekolahnya selesai. Namun, bila terus seperti itu, orang tua justru tidak mengajari mereka makna tanggung jawab. Merasa sayang anak tetapi sejatinya justru tidak mengajari anak mengatasi urusannya sendiri. Imbasnya, mereka akan tumbuh dengan mengandalkan orang lain.

Membentuk 'citra sempurna' anak di mata guru sekolah

Orang tua mana sih yang tidak ingin anaknya dinilai baik oleh orang lain. Terlebih bila orang lain itu merupakan guru wali kelasnya. Pastinya orang tua ingin mencitrakan anaknya yang paling keren. 

Perihal urusan ini, anak saya yang kini kelas 2 SD, mendapatkan buku khusus dari gurunya. Namanya buku muhasabah. Setiap hari, buku tersebut diisi oleh orang tuanya. Isinya tentang aktivitasnya selama di rumah. Semisal sholat lima waktu maupun aktivitas di malam hari. Buku tersebut lantas dikumpulkan ke wali kelasnya setiap hari Rabu selanjutnya diserahkan kembali ke muridnya.

Bila ingin sang anak dinilai bagus oleh gurunya, mudah saja mengisinya dengan yang bagus-bagus. Semisal sholat lima waktu diisi berjamaah tepat waktu semua. Lalu aktivitas ba'da maghrib diisi dengan mengaji, belajar dan aktivitas keren lainnya. Kalau perlu menuliskan laporan bohong yang tidak sesuai kenyataan.

Nah, oleh istri saya (yang bertugas mengisi dan hasil diskusi dengan saya), buku itu diisi dengan apa adanya. Kepada si kakak, dia memberitahu bahwa hanya akan mengisi yang memang dilakukannya. Tidak untuk berpura-pura agar anak saya terkesan hebat di mata gurunya. Semisal ketika sholat Shubuh tidak ikut sholat karena sulit dibangunkan, ya diisi seperti itu. Dengan cara seperti itu, kami mengajari si kakak untuk jujur. Pun, dia jadi termotivasi untuk melakukan yang perlu dia lakukan bila ingin nilai di buku muhasabahnya bagus.

Sebab, apalah artinya menuliskan yang baik-baik bila kenyataannya tidak begitu. Apalah artinya terlihat baik di mata orang lain tetapi sejatinya kepura-puraan. Itu hanyalah rasa sayang palsu yang tidak mendidik anak untuk menjadi lebih baik.   

Menganggap anak selalu benar tanpa mau tahu akar permasalahan

Memiliki anak laki-laki yang mulai berinteraksi dengan anak lain di kompleks perumahan maupun di sekolah, terkadang terjadi friksi. Mungkin sekadar salah paham yang berujung cekcok dan pertengkaran.

Dan, ketika kembali ke rumah, sang anak akan melaporkan apa yang terjadi di luar rumah kepada orang tuanya. Termasuk tentang pertengkarannya dengan temannya.

Bila seperti itu, sebagai orang tua, tentunya akan membela anaknya. Sebagai orang tua,sangat wajar bila lebih mendukung anaknya dibandingkan orang lain. Itu wajar. Itu bagian rasa sayang.

Namun, akan menjadi salah kaprah bila selalu membela anak tanpa pernah mau tahu akar permasalahan dari persoalan yang dihadapi. Yang terjadi, orang tua seperti ini akan selalu menganggap anaknya benar dan anak lain salah. Padahal, bukan tidak mungkin, karena tidak ingin disalahkan orang tuanya, anak akan membingkai cerita menurut versinya untuk melindungi dirinya sendiri.

Tentu saja,  membela anak itu sebuah keharusan bagi orang tua. Siapa lagi yang membela anaknya selain orang tua tuanya. Namun, bila terjadi masalah, akan lebih bagus bila mengetahui akar permasalahan berdasarkan versi cerita si anak dan cerita anak lain. Juga anak-anak lain yang kebetulan melihat.

Dengan begitu, kita akan mengajari mereka tentang pentingnya berani bertanggung jawab. Bahwa jangan takut bila memang benar dan bila salah harus berani mengakui salah lantas meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi. Bukannya malah menanamkan sikap penjilat kepada anak agar selalu merasa dianggap benar.  

Anak adalah amanah. Ia titipan Tuhan yang membutuhkan "ruang sendiri" untuk bertumbuh, untuk menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan.

Tentu saja, mereka tidak bisa sekadar dibiarkan bertumbuh saja ataupun disayangi dengan berlebihan. Namun, mereka perlu "dihias" agar menjadi lebih bagus. Dihias akhlaqnya, dihias karakternya, dihias ilmunya, dihias kemampuan berbahasanya.

Dan, yang berperan sebagai "tukang hias" tentu saja bukan hanya ibunya. Tapi juga ayahnya. Ya, kita para orang tua, bisa berperan penting dalam "mewarnai mereka" dengan memberikan rasa sayang yang benar, bukan sayang yang palsu. Salam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun