Nah, oleh istri saya (yang bertugas mengisi dan hasil diskusi dengan saya), buku itu diisi dengan apa adanya. Kepada si kakak, dia memberitahu bahwa hanya akan mengisi yang memang dilakukannya. Tidak untuk berpura-pura agar anak saya terkesan hebat di mata gurunya. Semisal ketika sholat Shubuh tidak ikut sholat karena sulit dibangunkan, ya diisi seperti itu. Dengan cara seperti itu, kami mengajari si kakak untuk jujur. Pun, dia jadi termotivasi untuk melakukan yang perlu dia lakukan bila ingin nilai di buku muhasabahnya bagus.
Sebab, apalah artinya menuliskan yang baik-baik bila kenyataannya tidak begitu. Apalah artinya terlihat baik di mata orang lain tetapi sejatinya kepura-puraan. Itu hanyalah rasa sayang palsu yang tidak mendidik anak untuk menjadi lebih baik. Â Â
Menganggap anak selalu benar tanpa mau tahu akar permasalahan
Memiliki anak laki-laki yang mulai berinteraksi dengan anak lain di kompleks perumahan maupun di sekolah, terkadang terjadi friksi. Mungkin sekadar salah paham yang berujung cekcok dan pertengkaran.
Dan, ketika kembali ke rumah, sang anak akan melaporkan apa yang terjadi di luar rumah kepada orang tuanya. Termasuk tentang pertengkarannya dengan temannya.
Bila seperti itu, sebagai orang tua, tentunya akan membela anaknya. Sebagai orang tua,sangat wajar bila lebih mendukung anaknya dibandingkan orang lain. Itu wajar. Itu bagian rasa sayang.
Namun, akan menjadi salah kaprah bila selalu membela anak tanpa pernah mau tahu akar permasalahan dari persoalan yang dihadapi. Yang terjadi, orang tua seperti ini akan selalu menganggap anaknya benar dan anak lain salah. Padahal, bukan tidak mungkin, karena tidak ingin disalahkan orang tuanya, anak akan membingkai cerita menurut versinya untuk melindungi dirinya sendiri.
Tentu saja, Â membela anak itu sebuah keharusan bagi orang tua. Siapa lagi yang membela anaknya selain orang tua tuanya. Namun, bila terjadi masalah, akan lebih bagus bila mengetahui akar permasalahan berdasarkan versi cerita si anak dan cerita anak lain. Juga anak-anak lain yang kebetulan melihat.
Dengan begitu, kita akan mengajari mereka tentang pentingnya berani bertanggung jawab. Bahwa jangan takut bila memang benar dan bila salah harus berani mengakui salah lantas meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi. Bukannya malah menanamkan sikap penjilat kepada anak agar selalu merasa dianggap benar. Â
Anak adalah amanah. Ia titipan Tuhan yang membutuhkan "ruang sendiri" untuk bertumbuh, untuk menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan.
Tentu saja, mereka tidak bisa sekadar dibiarkan bertumbuh saja ataupun disayangi dengan berlebihan. Namun, mereka perlu "dihias" agar menjadi lebih bagus. Dihias akhlaqnya, dihias karakternya, dihias ilmunya, dihias kemampuan berbahasanya.