Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasa Berlebihan Ingin Dihormati Orang Lain, Wajarkah?

28 Oktober 2018   17:20 Diperbarui: 31 Oktober 2018   08:44 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Punya gelar tinggi bukan berarti berlebihan ingin dihormati oleh orang lain/Foto: Normantis.com

Menghormati orang lain bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya dengan menyebut nama panggilan yang baik. Termasuk menyebut gelar yang dimilikinya. Baik itu gelar yang diperoleh dari pendidikan ataupun gelar karena ibadah.

Semisal di dunia pendidikan, mereka yang bergelar profesor, akan lebih elok bila kita memanggil namanya dengan embel-embel kata 'prof'. Tidak sekadar pak atau ibu. Begitu juga mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji, sudah sewajarnya bila kita memanggil mereka dengan panggilan "pak haji, bu haji, abah atau ummi".

Yang tidak elok dan terkesan kurang menghormati orang lain adalah ketika kita sengaja mengabaikan gelar tersebut alias pura-pura tidak tahu meskipun kita sejatinya tahu. Sehingga, kita memanggil mereka dengan panggilan seadanya.

Nah, yang juga tidak elok adalah ketika yang berpunya gelar tersebut merasa berlebihan ingin dihormati orang lain. Sehingga, ketika ada orang lain yang tidak memanggil dengan panggilan yang mereka ingini, mereka akan marah ataupun terbawa perasaan (baper).

Masalahnya, bagaimana jika orang lain yang memanggil dia ternyata tidak mengetahui gelar yang dimilikinya? Lha wong tidak semua orang tahu 'perjalanan hidup' nya.

Masak iya, orang yang tidak tahu itu lantas dimarahi. Masak iya, ketika dia diundang warga kampung untuk tasyakuran ataupun kondangan khitanan/nikahan, tidak mau datang hanya karena nama yang tertulis di undangannya tidak tertera gelarnya (karena yang mengundang tidak tahu). Lantas, mengabaikan undangan tersebut karena merasa yang diundang itu bukan dirinya, tetapi orang lain. Lha wong tidak ada gelarnya.

Sampean (Anda) mungkin pernah mendapati cerita atau bahkan pernah mengetahui langsung orang-orang yang merasa ingin dihormati secara berlebihan oleh orang lain. Sehingga pola pikirnya menjadi sangat kaku. 

Saya kebetulan pernah menulis di majalah sebuah kampus. Ada seorang kawan yang juga ikut menulis. Nah, kawan saya (yang memang bukan alumnus kampus tersebut) itu mendapat tugas untuk mewawancara seorang dokter muda yang sudah bergelar profesor. Karena memang tidak tahu, dia memanggil dokter muda tersebut dengan panggilan "pak dokter" sebelum mengawali wawancara. Yang terjadi, dia pun 'diceramahi' oleh profesor berusia muda tersebut.

Meski, itu sekadar sebuah kesalahpahaman. Mungkin kawan saya tersebut memang salah karena tidak mencari tahu profil sosok yang akan ia wawancara. Sementara pak profesor mengira kawan saya itu anak kampus tersebut sehingga beranggapan masak tidak tahu gelar keilmuannya.

Nah, perihal mereka yang merasa layak mendapatkan penghormatan lebih dari orang lain karena gelarnya, saya mendadak teringat kejadian tadi pagi ketika mengantar istri berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung kelontong milik seorang teman di kampung.

Bagi saya, berbelanja di toko kelontong memiliki keasyikan yang tidak didapatkan ketika berbelanja di minimarket waralaba. Terlebih ketika membeli beras, telur, ataupun tepung, masih ada 'prosedur' menimbang di timbangan sesuai jumlah yang dibeli pembeli. Bagi sebagian orang, mungkin itu kurang praktis. Namun, toh belanja tidak selalu butuh kecepatan ataupun kepraktisan.   

Namun, kelebihan berbelanja di toko kelontong dibanding minimarket tentu saja bisa ngobrol dengan pemilik toko. Semisal membeli telur, kita bisa ngobrol harga telur di pasaran apakah sedang naik atau turun. Itu seru.

Tidak seperti membeli telur di minimarket yang sudah dikemas dan bila hendak membayar, sekadar mengobrol seadanya dengan kasir. Palingan hanya ditanya "sudah ini saja pak". Atau, malah mendapatkan berondongan pertanyaan "nggak pulsanya, rokoknya sekalian pak, atau nggak ini itu mumpung diskon'.

Si pemilik toko kelontong itu, pasangan suami istri yang baru pulang ibadah haji tahun ini. Suaminya dulu merupakan teman saya di SMP. Pagi tadi, kebetulan istrinya yang sedang menunggu toko.

Bila kebetulan saya yang belanja, saya biasanya memanggil "bu haji" atau "ummi" yang merupakan panggilan lebih familiar bila di kampung bagi mereka yang sudah berhaji.

Nah, oleh istri saya, dia dipanggil "mbak" (sama seperti sebutan sebelumnya ketika sebelum berhaji) ketika menyebut apa saja kebutuhan yang akan dibeli. Pun, ketika sudah selesai semua. "Sudah mbak, berapa semuanya," ujar istri saya.

Saya yang kebetulan tengah mengobrol bareng bocah-bocah, lantas nyelethuk ke istri "ma, panggilnya sekarang bu haji atau ummi, bukan lagi mbak".

Mendengar celethukan saya tersebut, bu haji pemilik toko kelontong tersebut lantas bilang begini.

"Tidak harus begitu kok pak (dipanggil bu haji). Dipanggil mbak juga tidak apa-apa. Lha wong saya dan suami berhaji itu niatnya karena ibadah. Bukan karena niat agar setelah pulang haji dipanggil bu haji".

Ah, bagi saya, jawaban itu luar biasa. Jawaban yang mencerminkan kerendahan hatinya. Jawaban yang bisa menjadi contoh bagi mereka yang dalam menunaikan ibadah serupa, mungkin masih tergoda oleh niat yang keliru.  

Bahwa dalam beribadah ya niatnya ibadah saja, tanpa perlu mengharapkan efek status sosialnya di masyarakat dari ibadah tersebut. Bahwa dalam mendalami bidang keilmuan yang ditekuni sehingga bisa beroleh gelar tertinggi, cukup ilmunya yang bermanfaat tanpa harus berharap ingin dilebihkan oleh orang lain.

Sebab, perasaan ingin dilebihkan oleh orang lain karena gelar ibadah atau gelar keilmuan, itu sejatinya 'jebakan'. Sebuah jebakan agar kita merasa diri kita lebih baik, lebih hebat, lebih tinggi dari orang lain.

Bila orang yang memiliki keilmuan tinggi bersikap seperti itu, apa iya sudah selaras dengan ilmu padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Bila orang yang baru saja berhaji masih tergoda ingin berlebihan dihormati orang lain, apa iya sudah sesuai dengan semangat haji mabrur yang berarti semakin baik ibadah dan sikapnya kepada orang lain selepas pulang dari tanah suci. Bukankah parameter haji mabrur itu dinilai dan dirasakan oleh orang lain yang berinteraksi dengannya? 

Karenanya, menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini, menurut saya tidak elok bila orang yang karena gelar ibadah ataupun gelar pendidikan yang tinggi, lantas merasa berlebihan ingin dihargai orang lain sehingga uring-uringan bila tidak mendapatkan rasa hormat seperti yang diinginkannya.

Lha wong, Sang Pemilik manusia jelas-jelas tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri seperti firman-Nya di surat Luqman ayat 18. Pun, langit saja tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi. Karenanya, setinggi apapun derajat, keilmuan dan gelar, di dunia ini sejatinya kita sama: seorang manusia. 

Seorang manusia yang bila ingin dihormati orang lain, maka harus menghormati orang lain. Tidak perlu ada yang merasa lebih penting dari orang lain. Karena manusia sejatinya bersaudara sama lain dan saling membutuhkan pertolongan orang lain.

Seperti kata eyang Pramoedya Ananta Toer dalam "Cerita Calon Arang", bahwa semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu, tiap orang yang membutuhkan pertolongan, harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara". Salam. Barokallah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun