Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasa Berlebihan Ingin Dihormati Orang Lain, Wajarkah?

28 Oktober 2018   17:20 Diperbarui: 31 Oktober 2018   08:44 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Punya gelar tinggi bukan berarti berlebihan ingin dihormati oleh orang lain/Foto: Normantis.com

Namun, kelebihan berbelanja di toko kelontong dibanding minimarket tentu saja bisa ngobrol dengan pemilik toko. Semisal membeli telur, kita bisa ngobrol harga telur di pasaran apakah sedang naik atau turun. Itu seru.

Tidak seperti membeli telur di minimarket yang sudah dikemas dan bila hendak membayar, sekadar mengobrol seadanya dengan kasir. Palingan hanya ditanya "sudah ini saja pak". Atau, malah mendapatkan berondongan pertanyaan "nggak pulsanya, rokoknya sekalian pak, atau nggak ini itu mumpung diskon'.

Si pemilik toko kelontong itu, pasangan suami istri yang baru pulang ibadah haji tahun ini. Suaminya dulu merupakan teman saya di SMP. Pagi tadi, kebetulan istrinya yang sedang menunggu toko.

Bila kebetulan saya yang belanja, saya biasanya memanggil "bu haji" atau "ummi" yang merupakan panggilan lebih familiar bila di kampung bagi mereka yang sudah berhaji.

Nah, oleh istri saya, dia dipanggil "mbak" (sama seperti sebutan sebelumnya ketika sebelum berhaji) ketika menyebut apa saja kebutuhan yang akan dibeli. Pun, ketika sudah selesai semua. "Sudah mbak, berapa semuanya," ujar istri saya.

Saya yang kebetulan tengah mengobrol bareng bocah-bocah, lantas nyelethuk ke istri "ma, panggilnya sekarang bu haji atau ummi, bukan lagi mbak".

Mendengar celethukan saya tersebut, bu haji pemilik toko kelontong tersebut lantas bilang begini.

"Tidak harus begitu kok pak (dipanggil bu haji). Dipanggil mbak juga tidak apa-apa. Lha wong saya dan suami berhaji itu niatnya karena ibadah. Bukan karena niat agar setelah pulang haji dipanggil bu haji".

Ah, bagi saya, jawaban itu luar biasa. Jawaban yang mencerminkan kerendahan hatinya. Jawaban yang bisa menjadi contoh bagi mereka yang dalam menunaikan ibadah serupa, mungkin masih tergoda oleh niat yang keliru.  

Bahwa dalam beribadah ya niatnya ibadah saja, tanpa perlu mengharapkan efek status sosialnya di masyarakat dari ibadah tersebut. Bahwa dalam mendalami bidang keilmuan yang ditekuni sehingga bisa beroleh gelar tertinggi, cukup ilmunya yang bermanfaat tanpa harus berharap ingin dilebihkan oleh orang lain.

Sebab, perasaan ingin dilebihkan oleh orang lain karena gelar ibadah atau gelar keilmuan, itu sejatinya 'jebakan'. Sebuah jebakan agar kita merasa diri kita lebih baik, lebih hebat, lebih tinggi dari orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun