"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu".
Manis sekali cara Andrea Hirata mengajak kita agar memiliki cita-cita setinggi langit. Oleh Hirata, cita-cita itu disebutnya sebagai mimpi. Ajakan itu diwujudkannya dalam buku yang dia beri nama "Sang Pemimpi".Â
Pria yang namanya ngetop lewat karya fenomenal "Laskar Pelangi" yang sudah dialihbahasakan ke dalma bahasa ibu beberapa negara ini memang rajin mengajak pembacanya tentang pentingnya memiliki mimpi (cita-cita).
"Sebab, berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia," ujar Hirata.
Dan, setiap kali Piala Dunia disebut, maka kita pun seolah diingatkan kembali akan mimpi-mimpi lama bangsa ini. Mimpi bernama  menyaksikan Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia.
Setiap gelaran Piala Dunia datang (baik di level senior maupun level kelompok umur), di tengah keasyikan menyaksikan pemain-pemain negara lain 'menari gembira' dengan bola di lapangan, kita lagi-lagi teringat pada pertanyaan: "kapan ya Indonesia bisa main di Piala Dunia?".
Mimpi itu sebenarnya sudah terngiang lama di telinga kita. Dan, Timnas Indonesia (di level senior), sebenarnya sudah mencoba meraih mimpi itu. Namun, kita selalu dihadang 'tembok tebal" bernama kualifikasi. Rentetan cerita gagal, seolah selalu menjadi ending cerita perjuangan Tim Merah Putih menuju Piala Dunia. Â
Bahkan, pada awal Oktober 2018 lalu, Timnas Indonesia U-16 sempat sudah sangat dekat dengan Piala Dunia. Timnas U-16 yang dilatih Fakhri Husaini, hanya butuh satu kemenangan untuk bisa lolos ke Piala Dunia U-17 2019 tahun depan. Apa daya, Timnas U-16 yang tahun ini menjadi juara ASEAN, kalah 2-3 dari Australia di perempat final Piala Asia U-16 2018 di Malaysia. Indonesia pun gagal melaju ke semifinal. Dan, mimpi ke Piala Dunia pun buyar.
Entah kapan, mimpi itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Mungkin seperti kata penyanyi Ebiet G Ade, bahwa kita harus menanyakannya pada rumput yang bergoyang.
Sampai-sampai, penyair kharismatik, Taufik Ismail, pernah menuangkan ketidakbisaan kita tampil di Piala Dunia lewat paduan kata ironi dalam puisinya "Malu (aku) Jadi Orang Indonesia" yang ia tulis pada tahun 1998 silam.
Di negeriku rupanya sudah diputuskan