Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Agar Pernikahan Tak Seperti "Membeli Barang Elektronik"

26 September 2018   07:59 Diperbarui: 26 September 2018   14:10 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikah tidak seperti membeli barang elektronik, kita bisa merasakan kebahagiaan bertahan lama/Foto: Orami

Bertemu kawan yang masih berstatus pengantin baru, menjadi salah satu pertemuan yang paling menyenangkan. Sebab, pada diri kebanyakan pengantin baru, kita bisa mendapati aura bahagia, optimisme dan juga harapan. Gambaran seperti itu yang saya rasakan ketika kemarin bertemu kawan yang baru saja menikah.

Namun, sebahagia-bahagianya bertemu pengantin baru, saya jauh lebih senang bertemu pasangan 'bukan pengantin baru' tetapi kehidupan rumah tangganya mengalir tenang, akrab, dan tentu saja saling menyayangi.

Pasangan yang sudah menikah 10 tahun, 25 tahun atau bahkan lebih dari 50 tahun-an tetapi aura wajahnya masih seperti baru menikah kemarin, nyala semangatnya masih terang, juga kedekatan dan cara berkomunikasi mereka masih bak anak muda yang kasmaran meski tanpa harus kegenitan. Saya suka bertemu orang-orang seperti ini karena mereka merupakan teladan yang telah berhasil.

Berhasil? Benar.

Mereka telah berhasil mengarungi (kata orang) samudera yang penuh ombak dan terkadang badai.

Saya yakin, perjalanan rumah tangga mereka selama puluhan tahun, bukannya tanpa 'ombak'. Namanya orang hidup pasti akan menghadapi urusan/masalah. Namun, mereka tidak terbawa masalah, tetapi mampu menjadikan 'ombak' itu justru sebagai kesempatan bermain. Sebagai perekat untuk menguatkan hubungan mereka.

Bagi saya, mereka adalah contoh. Contoh yang telah berhasil mematahkan asumsi bahwa menikah itu terkadang seperti "membeli barang elektronik'.

Ya, masih ada orang yang menganggap menikah itu seperti membeli barang eletronik. Seperti barang elektronik yang kualitas gambar (video) masih jernih, suara (audio) nya masih kencang, juga tidak pernah mengalami gangguan. Namun, seiring berjalannya waktu, barang elektronik tersebut mulai rentan aus, rusak sehingga perlu diperbaiki. Pendek kata, tidak seperti ketika baru pertama membeli dulu.

Saya dan sampean (Anda) mungkin sering mendengar orang berucap begini: "biasa masih pengantin baru, masih bahagia-bahagianya, masih mesra-mesranya. Coba nanti kalau sudah tiga tahun".

Seolah-olah bahagianya orang menikah itu punya batas waktu. Bahwa di waktu tertentu, bahagianya akan hilang dan akan berganti episode buruk alias tinggal yang nggak enak-anaknya. Ah, merana sekali bila menikah seperti itu.

Saya pun dulu ketika masih baru menikah, ada yang berucap seperti itu. Dan saya yakin, ucapan itu bukan hasil dari penelitian yang valid. Tetapi mungkin pengalaman yang bersangkutan seperti itu lantas "digebyah uyah" alias digeneralisir bahwa semua orang juga sama dengan dirinya. Astaga.

Nyatanya, sekarang, ketika hampir berjalan delapan tahun dan diamanahi dua bocah, Alhamdulillah saya dan istri masih baik-baik saja. Tidak ada perubahan ucapan saat kami bertutur.

Tidak ada yang berubah semisal sekarang jadi risih ketika memeluk istri atau menggandeng tangannya ketika berjalan di luar rumah. Tidak ada yang berubah kecuali tiga empat helai rambut yang mulai memutih dan perut yang kini mulai berganti bentuk menjadi "family pack".

Sejatinya, menjadi pasangan yang bahagia itu bukan ditentukan oleh hitungan tahun seperti daya tahan barang elektronik. Sebab, ternyata tidak sulit untuk menjadi pasangan yang bahagia selama kita memang mau. Mau menepikan ego masing-masing. Mau saling mendengar. Mau merasakan 'bertukar peran'. Juga mau "berbagi pagi".

Maksud dari berbagi pagi ini, bagi pasangan yang sudah menikah, ada beberapa hal-hal kecil yang bisa dilakukan di pagi hari, dan itu merupakan kunci nya bahagia. Hal-hal sederhana yang bisa berefek besar bagi hubungan ini merupakan rekomendasi dari para doktor dan psikolog yang pernah saya baca di The Huffington Post.

Melakukan Kontak Mata

Apa susahnya melakukan kontak mata. Ini hal yang sederhana. Tetapi, seperti kata pepatah, berawal dari mata lalu turun ke hati.

Ya, pasangan bahagia akan mudah mengawali pagi nya dengan saling berpandangan sembari tersenyum. Melihat ke mata masing-masing akan menambah rasa sayang.

Akan sangat berbeda rasanya bila mengawali pagi dengan saling cuek. Tidak ada tatap mata. Obrolan pagi pun tanpa ada kontak mata, hingga masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Bila setiap hari begitu, tentu saja rumah akan serasa hambar.

Berpelukan

Berpelukan selama beberapa menit adalah cara terbaik untuk memulai hari sebelum beraktivitas. Bahkan, beberapa penelitian menyebut berpelukan akan meredakan stres dan juga memicu pikiran positif. Tidak percaya? Silahkan dicoba.

Pasangan bahagia tidak akan meninggalkan rumah untuk bekerja sebelum berpelukan. Jangan membiasakan keluar rumah sekadar hanya dengan ucapan atau lambaian tangan saja. Itu terlalu biasa bagi dua orang yang hidup bersama.

Mencoba Bangun Tidur di Waktu yang Sama

Pagi adalah periode menentukan untuk bisa mengawali hari dengan mengasyikkan atau menyebalkan. Namun, tidak jarang, pasangan memiliki rutinitas pagi yang sama sekali berbeda.

Ada kawan yang karena bekerja hingga larut malam, jarang bisa menikmati pagi bersama istrinya. Ketika dia pulang kerja dan tiba di rumah pada tengah malam, istri dan anak-anaknya sudah tertidur pulas. Dan pagi ketika istrinya beraktivitas maupun berangkat kerja, giliran dia masih tertidur karena baru berangkat bekerja pada siang hari. Mereka hanya bisa menikmati hari bersama ketika libur.

Di periode tahun-tahun awal menikah, saya dulu juga punya pengalaman bermasalah dengan waktu tidur yang amburadul. Saya pulang kerja larut malam dan ketika tiba di rumah, istri dan anak saya sudah tertidur. Saya terbiasa baru tidur di atas pukul 24.00 WIB. Selepas Shubuh saya biasanya menambahi "tidur jilid II" satu atau dua jam. 

Di pagi hari, sebelum berangkat bekerja, saya usahakan untuk menikmati pagi, sekadar jalan-jalan bersama istri dan anak. Ataupun mengantarnya berbelanja ke tukang sayur.

Menurut para psikolog, pasangan bahagia punya semangat untuk menghidupkan pagi dengan mencoba bangun tidur di jam yang hampir bersamaan. Dengan begitu, mereka bisa saling berpandangan, berpelukan dan berkomunikasi sebelum memulai hari. Mereka tidak mau membiarkan pasangannya sendirian di pagi hari.

Mudah Tersenyum, Tak Peduli Seberapa Lelah

Tidak semua pasangan bisa merasakan waktu tidur cukup. Tidak semua pasangan bisa berangkat tidur bersamaan. Karena pekerjaan, ada yang baru bisa tidur dini hari sehingga terbangun dalam kondisi masih lelah dan mengantuk.

Namun, merusak pagi hanya karena lelah dan mengantuk lantas kita bersikap ketus dan uring-uringan. Seberapapun lelah, jangan melupakan satu hal di pagi hari: tersenyum. Ya, selelah apapun, jangan lupa untuk tersenyum pada pasangan. Dari senyuman inilah, interaksi dengan pasangan dimulai. Apa susahnya tersenyum?

Menikmati Secangkir Kopi Atau Teh Bersama

Duduk bersama di teras depan rumah atau di ruang tamu sembari meminum secangkir kopi atau teh bersama-sama, menjadi salah satu kebiasaan membahagiakan untuk mengawali pagi. Cukup dengan secangkir kopi atau teh, lantas berbincang tentang rencana hari itu, maka pagi akan serasa sangat sejuk.

Mungkin agenda di hari itu akan sangat padat dan melelahkan. Namun, karena kita bisa mengawali pagi dengan manis, kita punya bekal untuk menghadapi hari yang sepadat apapun. Minimal kita tidak menjejali pikiran dengan pesimisme di pagi hari.

Taruh Ponsel Sejenak

Ada rupa-rupa kebiasaan ketika bangun di pagi hari. Ada yang langsung mencari gawai nya, menonton televisi, mengaji, baca koran dan sebagainya. Tentu saja, tidak ada larangan untuk memegang gawai di pagi hari. Sekadar mengecek ada pesan terbaru apa di grup WhatsApp. Namun, tidak bagus bila pagi dilalui hanya dengan mager alias malas gerak demi gawai.

Waktu pagi terlalu berharga untuk dilewatkan hanya dengan sibuk memainkan gadget masing-masing. Sebab, waktu berbincang dengan pasangan di pagi hari, jauh lebih hebat dibanding beraktivitas dengan gadget meski tidak ada larangan untuk itu.

Membagi Tugas-tugas Pagi

Suami dan istri punya tugas dan peran masing-masing. Namun, menganggap rumah seperti kantor di mana pegawai punya tugas dan pokok fungsi masing-masing yang harus dia kerjakan, bukanlah hal bagus. Membagi wilayah pekerjaan istri atau suami bukanlah ciri pasangan bahagia.

Tidak bagus ketika ada pikiran bahwa urusan mencuci baju, piring, membersihkan lantai ataupun memasak nasi hanyalah tugasnya istri. Sementara suami lebih banyak berkutat di luar rumah ataupun bila bekerja di rumah, tugasnya ya hanya bekerja.

Karena, pekerjaan di rumah tidak akan selesai bila sekadar mendikotomi kerjaan istri atau suami. Tidak ada istilah dapur dan sumur hanya milik istri. Rumah milik bersama, ya kerjaan pun diberesi bareng. Seharusnya tidak perlu ada dikotomi peran suami dan istri di rumah seperti yang pernah saya tulis di kompasiana.com/hadi.santoso.

Ya, kita bisa bekerja sebagai tim dengan membagi tugas dan mengerjakan bersama-sama. Semisal ketika suami bangun terlebih dulu, tidak perlu menunggu istri untuk memasak nasi ataupun memberesi pekerjaan rumahh. Atau ketika istri memasak, si suami bisa memberesi piring-piring yang kotor ataupun mencuci baju. Pun, ketika anak-anak masih kecil, jangan sungkan untuk mencuci baju anak-anak ataupun mengganti popoknya.

Cara membangun koneksi di pagi hari yang menyenangkan itu ternyata bisa membawa kebahagiaan sepanjang hari. Minimal, kita bisa mengawali hari dengan mood yang bagus.

Pendek kata, menjalani pernikahan itu tidak seperti membeli barang elektronik. Selama kita mau bahagia dengan banyak bersyukur, terus berusaha menjadi lebih baik, tidak mudah emosi dan mau mendengar/tidak hanya banyak bicara, kita bisa merasakan kebahagiaan itu bertahan lama tanpa ada batasan daya tahan seperti halnya barang elektronik.

Sebab, doa sejuta umat "sakinah, mawaddah wa rahma" yang sering kita ucapkan kepada pengantin baru itu sejatinya bukan sekadar doa. Tapi, ia adalah manifestasi dari komitmen untuk mau berproses. Mengawali dengan niat baik (sakinah), saling mencintai dan menerima apa adanya (mawaddah), Insya Allah kita akan mendapati keberkahan (rahma) Nya. Aamiin. Barokallah. Salam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun