Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mereka yang "Bekerja dalam Kesunyian"

15 September 2018   22:37 Diperbarui: 16 September 2018   11:58 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
N'Golo Kante, salah satu pesepak bola yang bekerja dalam kesunyian/Foto: FootballTribe

Ada banyak jenis orang gila di negeri ini. Dari yang gila beneran, sampai gila 'jadi-jadian'. Kalau yang gila beneran, tipikal orang gila seperti ini kudu diperhatikan. 

Di beberapa kota seperti di Surabaya, orang gila baik itu orang asli Surabaya atau warga pendatang, dirawat di lingkungan pondok sosial (Liponsos) dan mendapatkan jatah makanan setiap hari.

Seharusnya, orang gila asli Surabaya saja yang dirawat. Tetapi, tentunya tidak mungkin menanyai orang gila tentang asal-usul mereka dari mana. Bisa-bisa yang menanyai malah ikut-ikutan gendeng.

Jumlah orang gila beneran ini masih kalah banyak dari orang gila jenis baru yang banyak terdapat di negeri ini. Ada yang namanya gila jabatan, juga gila hormat. Orang gila seperti ini sama sekali tidak terlihat gila. Mereka waras dan juga sehat. Mereka tampil rapi. Mereka juga menduduki jabatan penting. Bahkan, banyak yang berpendidikan tinggi. Namun, pikiran dan hati mereka sudah tertutupi oleh ambisi dan kesombongan. Jadilah mereka gila jabatan. Jadilah mereka gila hormat.   

Lihat saja, ada banyak orang di negeri ini yang perilakunya kadang aneh-aneh. Ada yang naik pesawat komersial tetapi merasa seperti naik pesawat pribadi. Jadinya, ketika dia diingatkan pramugari untuk tidak menggunakan ponsel di dalam pesawat karena memang aturan dan standar internasional penerbangan seperti itu, dia malah marah-marah. Dia merasa jadi orang penting sehingga ingin orang lain harus menghormatinya.

Tetapi memang, tidak sedikit pejabat di negeri ini yang dilanda kegenitan ingin dihormati dan dipuji. Mereka ingin diperhatikan banyak orang. Maunya mereka, semua hal-hal baik yang mereka lakukan bisa diekspos besar-besar agar masyarakat tahu kalau mereka itu orang baik. Bagi mereka, tidak penting menjadi orang baik. Tetapi lebih penting menjadi orang yang terlihat baik.

Membaca berita-berita di koran tentang pejabat yang merasa memiliki peran lebih penting dari lainnya, saya jadi teringat pria bernama Tenzing Norgay. Kepada pria ini, jenis orang gila hormat dan gila jabatan di negeri ini, hendaknya belajar tentang kebersahajaan dan keikhlasan.

Dinukil dari beberapa literatur, sejarah mengingat Tenzing Norgay sebagai "pendamping" dalam penaklukan puncak Himalaya untuk kali pertama. Sehari-hari, pria Nepal ini bekerja sebagai penggembala di Himalaya. Disela kesibukannya, dia kadang dolan ke Everest, puncak tertinggi Himalaya. 

Hobi itu membuatnya tahu persis arah mana yang mudah untuk mendaki ke Everest. Karenanya, ketika pendaki asal Selandia Baru bernama Edmund Hillary akan mendaki Everest, orang yang dimintai tolong adalah Tenzing Norgay. Sebagai pemandu, Tenzing pasti berada di depan agar orang yang dipandu tidak salah arah.

Dan pada 29 Mei 1953, keduanya sampai di Everest tanpa orang tahu apa yang sebenarnya terjadi di puncak tertinggi di bumi itu. Begitu turun, banyak wartawan mewawancarai Edmund dan hanya satu wartawan bertanya pada Tenzing. 

"Sebagai pemandu, mestinya Anda lebih dulu menginjakkan kaki di puncak Everest," tanya si wartawan. "Betul, saya ada di depannya. Tapi, tinggal selangkah mencapai puncak, saya persilahkan Edmund mendahului saya," ujar Tenzing.  

"Mengapa hal itu Anda lakukan?," tanya si wartawan itu yang lantas dijawab Tenzing: "Itu impian Edmund, bukan impian saya," ujarnya.     

                                                                                                                             ****

Di sepak bola, sosok manusia rendah hati seperti Tenzing yang tidak mengharap publikasi atas apa yang dilakukannya, terwujud pada pemain berposisi gelandang bertahan. Peran dan pengaruh mereka sangat krusial dalam sebuah tim. Tetapi, tak banyak orang yang bisa melihat kontribusi penting itu.

Di sepak bola Eropa, ada teknologi yang bisa mengetahui seorang pemain berlari berapa kilometer dalam satu pertandingan. Dan gelandang  bertahanlah "juara" nya. Mereka berlari dengan jarak tempuh terjauh dari pemain lainnya. Ambil contoh Xabi Alonso, mantan gelandang bertahan Real Madrid ini rata-rata berlari 13 ribu meter atau 13 kilometer di satu pertandingan. 

Mereka seperti ada di setiap jengkal lapangan. Mereka muncul di daerah lawan untuk membantu serangan tapi sekejap kemudian sudah berdiri gagah di area pertahanan sendiri.  Tapi, tugas mereka itu justru seperti berada dalam kesunyian. Seperti tak terlihat. Hanya sedikit saja, orang yang bisa melihat besarnya peran mereka.

Tentang peran dan pengorbanan gelandang bertahan ini, pernah ditunjukkan pria bernama Roy Maurice Keane ketika timnya, Manchester United melawan Juventus di semifinal Liga Champions 1998/99. 

Di Turin, Italia, pada 21 April 1999, laga baru berjalan 12 menit, United sudah tertinggal 0-2. Skor sementara itu jelas mimpi buruk bagi United yang berharap timnya menang atau draw dengan skor besar setelah hasil 1-1 di semifinal pertama di Manchester dua pekan sebelumnya.

Dalam situasi terdesak, Keane mendadak menggebrak. Dia maju ke garis lawan bak komandan perang yang nekad. Satu gol dia ciptakan untuk memperkecil skor 1-2. Keane dengan determinasi, dan jiwa kepemimpinan yang kuat, memimpin rekan-rekannya. Dia membuat pemain tengah Juventus seperti Didier Deschamps, Zinedine Zidane dan Edgar Davids, terkesima. Keane mendominasi mereka. 

Apes, Keane yang terlalu bersemangat, justru diganjar kartu kuning setelah tak sengaja men-tackling Zidane. Kartu kuning itu berarti Keane tidak bisa main jika United lolos ke final. Padahal, agregat masih 3-2 untuk Juve. Toh, kartu kuning itu tak mampu memberangus semangatnya. Keane tetap tampil edan dan menginspirasi kemenangan United, 3-2. Dia menunjukkan komitmen dan etos kerja demi meloloskan timnya ke final meski tahu dirinya akan absen di final.

Dalam biografinya, Managing My Life, mantan pelatih legendaris United, Sir Alex Ferguson memuji penampilan heroik Keane itu. "Di menit ketika dia mendapat kartu dan out dari final, dia justru berusaha lebih keras memastikan timnya ke final. Itu penampilan paling tidak egois di sepak bola yang pernah saya lihat. Dia seperti lebih senang mati daripada kalah. Dia menginspirasi semuanya," ujarnya.

Keane mengaku yang terpenting timnya main di final. Itu lebih penting dibanding dirinya ada atau tidak di final. Meski, dalam autobiografi nya berjudul "As I See It" pada 2002, dia menyatakan merasa bersalah terkait kartu kuning di semifinal itu. Dia merasa telah membiarkan tim down secara mental karena dirinya tidak bisa main di final. 

Keane memang bukan pemain palsu-palsu yang bicara hal berbeda dari yang ia pikirkan. Dia pemain apa adanya yang tampil total di lapangan tanpa mengharap publikasi media. Ironisnya, pers justru lebih mengingat aksi-aksi kontroversialnya ketimbang etos kerjanya.          

Dan, kita yang mengaku gila bola, terkadang tidak adil bila melihat pemain bertipikal seperti Keane ataupun N'Golo Kante di era sekarang. Selama ini, mereka dianggap pemain sepak bola dengan "pekerjaan kotor" seperti men-tackling, dan melakukan pelanggaran untuk menyetop serangan dan akrab dengan kartu kuning atau bahkan kartu merah.

Mereka memang melakukan tugas yang jauh dari kesan elegan. Mereka tidak diberkahi bakat melakukan "pekerjaan mulia" di sepak bola, yakni mencetak gol atau memberi assist. Dalam bahasa Eric Cantona, pemain seperti ini adalah "tukang angkut air". Sebutan yang dialamatkan Cantona pada rekan timnya di Timnas Prancis, Didier Deschamps.

Nasib disepelekan pernah dirasakan gelandang bertahan asal Prancis, Claude Makelele. Dia bagian tim Real Madrid saat memenangi Liga Champions 2002. Makalele adalah "jongos" diantara "pemain ningrat" Real yang ngetop dengan Los Galacticos. 

Kala itu, Makelele minta kontraknya diperbarui, termasuk penyesuaian gaji. Gaji Makelele waktu itu yang paling kecil dibanding rekan setimnya seperti Zinedine Zidane atau Luis Figo. Tapi, bos Real, Florentino Perez menolak permintaan Makelele. Kecewa, Makelele meminta dijual. Perez yang murka lantas merendahkan kemampuan Makelele dan menyebut ketiadaan pemain asal Prancis itu tidak akan berpengaruh besar bagi Real. 

"Kami tidak akan merindukan Makelele. Tekniknya standar. Dia tidak punya kecepatan dan skill untuk mengambil bola dari lawan dan 90 persen distribusinya hanya mengalirkan bola ke belakang atau ke samping," ujar Perez.                                   

Seusai Makelele dijual ke Chelsea, Perez mendatangkan banyak nama top berkarakter serang seperti Michael Owen, Julio Baptista, dan Robinho. Tapi Perez gagal menemukan pengganti Makelele setelah negosiasi dengan Arsenal guna membeli Patrick Vieira, gagal. Penyebabnya, Perez menolak menggaji tinggi pemain bertipikal  "defensive players". Dia hanya mau menghargai mahal pemain berkarakter serang. 

Jadilah Real Madrid kala itu tim yang hanya pandai mencetak gol tetapi tidak tahu cara menjaga gawanganya. Dan, sejak itu, Real Madrid tidak pernah lagi bisa juara Liga Champions (dan baru juara lagi tahun 2014). Ada yang menganggap itu sebagai kutukan Makelele.  

Para gelandang bertahan memang tak pernah mendapat pujian sepantasnya seperti penyerang. Mereka jarang mendapatkan pengakuan dan penghargaan pemain terbaik dunia seperti pemain-pemain yang berposisi sebagai gelandang serang maupun penyerang. 

Tengok saja, sejak FIFA menggelar pemilihan pemain terbaik dunia, FIFA World Football of the Year mulai 1991 lalu berganti nama jadi FIFA Ballon D'Or sejak 2010, daftar pemenang didominasi penyerang atau gelandang serang. Hanya Lothar Matthaus dan Fabio Cannavaro yang pernah menjadi antithesis. 

Selebihnya, tak pernah ada nama gelandang pekerja macam Frank Rijkaard, Demetrio Albertini, Didier Deschamps, atau Andrea Pirlo meskipun mereka sangat berjasa dalam membawa klub mereka berjaya. 

Pun dalam noinasi FIFA Ballon D'or di tahun 2018 ini, tidak ada nama Kante dalam nominasi meski dia berhasil membawa Prancis jadi juara dunia 2018. 

Toh, mereka tidak pernah protes. Mereka tidak pernah merasa ingin dihormati atau dipuji. Bagi mereka, totalitas penampilan di lapangan sudah cukup untuk menjelaskan dedikasi mereka.  

Itulah pelajaran kebersahajaan dari lapangan sepak bola. Karena ada atau tidak ada reward, tidak ada alasan untuk bekerja setengah-setengah. Salam inspiratif dari lapangan bola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun