Tidak melulu karena alasan ketiadaan halaman. Saya melihat penutupan ruas jalan saat hajatan juga karena memaksakan. Sebab, ada yang sebenarnya masih memiliki halaman untuk menampung tenda hajatan. Toh, tetap saja memilih memasang tenda di jalan. Bahkan, ada yang hanya panggung hiburannya saja yang ditaruh di jalan. Bila seperti itu, mengapa harus memaksakan menggelar acara hiburan?
Perihal urusan ini, saya sempat berbincang dengan seorang tetangga baru di perumahan yang berasal dari Jakarta.
Menurut tetangga baru itu, di tempatnya dulu juga seringkali terjadi penutupan ruas jalan ketika ada hajatan. Sebab, kebanyakan warga memang tidak memiliki halaman. Lantas, warga kemudian disedikan ruang khusus di balai kelurahan yang bisa dipakai warga untuk menggelar hajatan. Sejak itu, tidak pernah lagi ada hajatan yang berimbas penutupan jalan. Itu solusi bagus.
Masalahnya, solusi bagus seperti itu terkadang tidak bisa diterapkan di semua wilayah. Tergantung kemauan warganya. Tidak jauh dari perumahan saya sebenarnya ada lapangan bola. Bila mau, lapangan bola tersebut sebenarnya bisa difungsikan untuk tempat hajatan. Toh, kenyataannya tidak seperti itu. Malah, selama ini, kebanyakan warga yang punya hajatan dan menutup jalan, tempat tinggalnya tidak jauh dari lapangan bola. Bahkan, pernah ada warga yang rumahnya di seberang lapangan bola, ketika punya hajatan, masih menutup jalan. Entahlah, mungkin tren nya sudah seperti itu. Tren bahwa bila menggelar hajatan, tak lengkap tanpa menutup jalan.
Sebenarnya, terkait hajatan yang menutup jalan ini, tidak bisa asal-asalan. Sebab, ada aturannya. Meski, pada prinsipnya, aturan hukum yang berlaku di Indonesia, membolehkan jalanan yang merupakan fasilitas umum digunakan untuk kepentingan pribadi seperti pesta perkawinan maupun acara duka kematian, selama memenuhi beberapa syarat yang sudah ditentukan.
Dari beberapa referensi yang saya baca, diantaranya di hukumonline.com, aturan penggunaan jalan untuk hajatan dan kepentingan pribadi lainnya ini merujuk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2012. Berdasarkan aturan-aturan tersebut, ada beberapa kondisi dimana jalan boleh ditutup untuk kepentingan pribadi.
Diantaranya, penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan penutupan jalan, diperbolehkan asalkan ada jalan alternatif yang bisa diakses warga. Dan, pengalihan arus lalu lintas ke jalan alternatif harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara.Â
Lalu, jalan yang boleh ditutup untuk acara hajatan pribadi tersebut merupakan kategori jalan kabupaten/kota dan jalan desa. Sementara untuk jalan kategori jalan nasional atau jalan provinsi, hanya boleh ditutup untuk kegiatan berskala kepentingan nasional.
Selain itu, pihak yang memiliki hajatan dan menutup jalan harus mengajukan izin ke kepolisian (kapolres/kapolresta setempat untuk penggunaan jalan kabupaten/kota dan kapolsek/kapolsekta setempat untuk penggunaan jalan desa). Permohonan izin ini harus diajukan paling lambat tujuh hari kerja sebelum pelaksanaan hajatan. Khusus untuk acara peristiwa kematian, permohonan izin bisa diajukan secara lisan.
Terakhir, pihak penyelenggara juga harus menyiapkan berbagai dokumen sebagai syarat untuk melengkapi permohonan izin ke pihak kepolisian. Antara lain foto kopi KTP penyelenggara/penanggung jawab kegiatan, waktu penyelenggaraan, jenis kegiatan, perkiraan jumlah peserta, peta lokasi kegiatan serta Jalan alternatif yang akan digunakan.
Nah, bila persyaratan itu tidak dipenuhi, si penyelenggara hajatan yang menutup jalan, bisa dikenakan sanksi yang bersifat administratif maupun pidana. Sanksi administratif bisa berupa peringatan tertulis, penghentian sementara pelayanan umum, penghentian sementara kegiatan serta denda administratif berupa pembatalan atau pencabutan izin.Â