Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bisa "Menjual Diri", Duit pun Datang Menghampiri

29 Agustus 2018   07:11 Diperbarui: 29 Agustus 2018   14:23 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih pekerjaan yang paling membahagiakan itu?

Ternyata bukan hanya pekerjaan yang memiliki jabatan keren, yang gajinya gedhe ataupun yang jam kerjanya nggak perlu lembur sampe malam. Menurut saya, pekerjaan paling membahagiakan itu adalah yang bisa kita syukuri. Dan, syukur itu berwujud pada keikhlasan kita menjalaninya.

Sayangnya, tidak semua orang yang bekerja, bisa punya perasaan ikhlas dan mensyukuri pekerjaan yang dijalaninya. Malah, saya seringkali menemui orang-orang yang bekerja dengan enggan, bekerja dengan melipat muka, pelit senyum dan lupa caranya ramah. Alasannya klasik, katanya gajinya tidak seberapa. Jadilah ia bekerja asal bekerja. Diantaranya penjaga keamanan (security) di kompleks tempat tinggal saya.

Tetapi memang, tidak bisa digeneralisir semuanya. Tidak semua orang begitu. Cukup sering mengobrol dengan mereka ketika kebetulan senggang, jadi tahu bagaimana dinamika pekerjaan mereka. Nah, selain beberapa dari mereka yang bekerja asal, yang sekadar untuk berdiri dan tersenyum ketika ada warga keluar/masuk ke kompleks saja enggan, masih ada yang mau bekerja dengan hati.

Dia bekerja dengan standarnya sendiri. Ramah, care, dan juga enak diajak ngobrol. Dia tak mau mengikuti "pola lama" kawan-kawannya yang sekadar bekerja untuk memenuhi jadwal. Ah, betapa melelahkan bekerja yang sekadar memenuhi jadwal tanpa ada kelegaan untuk menikmatinya.

Nah, kapan hari, ketika menyerahkan selebaran pengumuman kegiatan 17 Agustusan ke rumah, si security ramah tersebut bercerita banyak hal kepada saya.  

Dia bercerita, selain menjadi petugas keamanan, dia kini juga dipercaya beberapa warga di perumahan untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Termasuk juga permintaan warga untuk mengantar ke pasar ataupun tujuan lain. Bahkan, ada juga warga yang memintanya bantu-bantu merenovasi rumah.

Tentunya, "pekerjaan sampingan" itu dilakukan ketika di luar jam kerjanya sebagai security. Dan tentunya, semua itu menjadi tambahan penghasilan bagi bapak dengan dua anak ini. Dibandingkan dengan teman-temannya, dia mendapatkan penghasilan yang lebih besar.

Lucunya, beberapa temannya yang terbiasa bekerja asal, malah iri dengan nasib baik kawannya itu tanpa mau berpikir mengapa dia yang dipercaya banyak orang sementara dirinya tidak. Mereka yang iri menyebut dia "kemaruk" alias serakah karena semua pekerjaan seolah dia ambil. "Tapi pas saya persilahkan mereka untuk menggantikan saya untuk mengantar anak sekolah, mereka malah tidak mau. Bisanya cuma mengomel," ujarnya.

Ya, tidak sedikit orang yang belum memahami bahwa sikap apa yang ditampilkan oleh diri mereka, itu merupakan gambaran diri mereka. Apa yang dialami si penjaga keamanan ramah tersebut merupakan buah dari sikapnya yang ramah dan care. Karena sikapnya menyenangkan dan menganggapnya bisa dipercaya, orang akhirnya suka dan senang memberinya peluang mendapatkan tambahan penghasilan.

Bahwa setiap kita, ketika berkumpul dengan banyak orang, secara tidak langsung, kita telah "menjual" image diri. Orang akan mendapatkan gambaran seperti apa diri kita dari sikap dan cara bicara kita. Itulah yang dinamakan dengan branding diri. Bahwa siapa yang paling mampu "menjual diri" dengan benar kepada orang lain melalui kemampuan/kualitas kerja, perilaku yang baik dan bisa dipercaya, pekerjaan (duit) bisa datang sendiri.

Terkait hal ini, saya jadi teringat ucapan dari Warren Buffet, salah satu horang paling kaya di jagad ini. Kata dia, "seseorang yang mata duitan justru sulit mendapat uang. Tahu mengapa" dalam sebuah wawancara dengan media beberapa tahun silam.

"Karena pikirannya tertutup oleh bayangan tentang uang, sehingga tak pernah melihat betapa pentingnya untuk menanam 'pohon uang'. Dan, pohon uang itu adalah services/pelayanan," jawab dia.  

Pendek kata, siapapun yang ingin mendapat uang banyak, apapun profesinya, apapun usahanya, fokuskan perhatian pada usaha-usaha untuk bisa melayani orang lain dengan kualitas terbaik. Nanti, uang akan terurus dengan sendirinya.

Saya pun telah merasakan kebenaran dari ujaran "pentingnya menanam pohon uang" itu. Ketika memutuskan untuk menjadi "manusia merdeka" sebagai penulis freelance yang bekerja tidak terikat waktu atau jam kerja kantor, saya seolah merasakan buah dari pohon yang selama ini saya tanam.

Bahwa, dalam bekerja, uang sejatinya urusan kesekian. Selama kita mampu mem-branding diri dengan benar, mampu meyakinkan orang lain bahwa diri kita memang mau atau punya komitmen bekerja, punya kualitas karya dan bisa dipercaya atau disiplin, maka uang itu tidak jauh. Ia bisa datang sendiri. Barokallah. Salam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun