Apakah sampeyan (Anda) seorang ayah yang rutin mengantar anak berangkat ke sekolah? Bila iya, saya harus mengucapkan selamat.
Selamat karena sampean telah merasakan salah satu momen paling romantis dalam hidup.
Sejak pertengahan tahun 2017 lalu, ketika anak saya menjadi murid sekolah dasar, saya mulai menambahkan agenda mengantar anak ke sekolah di daftar aktivitas harian. Menyenangkan. Meski juga terkadang mendebarkan.
Waktu itu, saya masih merupakan karyawan kantoran yang sebelum pukul 07.30 WIB sudah harus tiba atau absen kehadiran di kantor.
Dengan jarak tempuh Sidoarjo-Surabaya yang butuh waktu sekitar 1 jam-an, dengan jalanan yang di pagi hari penuh sesak oleh pengguna jalan, yang mungkin juga memiliki kewajiban seperti saya dan dengan bocah yang tidak setiap hari bisa tertib berangkat jam 06.00 WIB.
Agenda rutin itu memang terkadang sukses membuat saya berdebar. Sebab, aturan di kantor dulu, bila absen telat 1 menit saja, konsekuensinya adalah potong gaji.
Apalagi bila telatnya di atas 15 menit, besaran potong gajinya akan lebih besar. Apalagi bila terlambatnya setiap hari.
Dengan asumsi tiba di sekolah sekitar pukul 06.30 WIB atau lebih, cerita berikutnya adalah berjuang di jalan menuju ke kantor. Meski, saya lebih sering tidak terlambat. Kalau pun terlambat, ya sudah.
Toh, urusan potong gaji itu hanyalah urusan angka, yang bisa digantikan dengan angka-angka dari sumber lainnya.
Ada yang jauh lebih penting dari itu: Bagaimana memastikan si buah hati sampai di sekolahnya dengan senang dan siap menghadapi harinya.
Jangan mengorbankan romantisme mengantar anak ke sekolah hanya karena kekhawatiran potong gaji itu.
Sampai akhirnya, saya memutuskan menjadi "manusia merdeka" sejak akhir tahun lalu sehingga kini bisa leluasa mengatur waktu untuk mengantar anak ke sekolah.
Lalu, apa hal romantis dalam mengantar anak ke sekolah? Bagi saya, ada dua hal paling romantis yang terjadi antara seorang ayah dan anaknya kala mengantar mereka ke sekolah.
Pertama, seperti kata grup band Padi di salah satu lagu terkenalnya, bahwa "cinta itu tak hanya diam". Begitupula kami.
Selama perjalanan menuju sekolahnya, ada saja obrolan berkualitas di antara kami. Kadang saya bertanya, tapi lebih sering diwawancara.
Seperti kapan hari dia mewawancara tentang masa kecil saya, hingga rasa penasarannya soal UFO.
Lain hari dia nanya perihal kisah sahabat-sahabat Rasulullah yang diakhiri permintaan untuk membeli buku-bukunya.
Dan tadi pagi dia sibuk bertanya, "Dulu pas kakak kecil, kenapa ayah selalu pulang malam?", merujuk pengalaman semasa bekerja di "pabrik koran" yang memang saban hari pulang larut malam sehingga sangat jarang memiliki waktu malam bersamanya.
Di lain waktu, dia sibuk dengan hafalan-hafalan surat pendeknya. Melafalkan hafalannya di atas motor yang melaju. Terkadang kami duet. Terkadang saya menjadi pendengar sekaligus 'juri' nya. Hingga tak terasa motor kami sudah sampai di sekolahnya.
Dan hal romantis kedua, setiba di sekolahnya, saya tidak langsung berangkat menuju kantor meski sudah ditunggu jam masuk kerja.
Selepas memarkir kendaraan, saya turun mengantarnya hingga ke depan pintu pagar sekolah. Setelah bersayangan, dia melambaikan tangan dan melangkah ke halaman sekolah. Selesai? Belum.
Saya terbiasa tidak segera beranjak, tetapi mematung melihatnya memasuki halaman sekolahnya. Dan, dua tiga langkah kemudian, dia menoleh sembari melambaikan tangan seraya berucap, "Kakak sayang ayah, hati-hati di jalan ya".
Dia seolah tahu saya belum beranjak dari luar pagar sekolahnya.
Lantas kembali melangkah, bersalaman dengan guru dan menyapa kawan-kawan nya. Hampir setiap hari begitu.
Ah, urusan ini seperti adegan terbaik di film Ada Apa Dengan Cinta itu. Tatkala Rangga dan Cinta yang mampir ke Pasar Buku Kwitang, lantas ngambek. Lari. Lantas...
Masih inget kan apa yang diomongin om Gito Rollies ke Nicolas Saputra? Cerita berikutnya, menoleh lah si Cinta... Ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H