Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agar "Tugas" Mengantar Anak ke Sekolah Tak Berujung Pilu

28 Juli 2018   07:42 Diperbarui: 28 Juli 2018   11:40 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengantar anak ke sekolah, lakukan dengan segembira mungkin/Foto: youreduaction.it

Ketika tiba di sekolah, penting bagi kita untuk turun dari kendaraan--baik roda dua maupun roda empat--lantas mengantar anak-anak berjalan menuju gerbang sekolahnya. Akan lebih sempurna bila kita sejenak berdiri 'mematung' untuk melihat dia masuk ke halaman sekolahnya, bersalaman dengan guru-guru dan berbincang dengan kawan-kawannya.

Dan yang tidak kalah penting adalah membiasakan bersikap tenang dan membuat anak-anak nyaman ketika menuju sekolahnya. Kalaupun sedang buru-buru, jangan perlihatkan sikap tergesa-gesa itu kepada anak. Apalagi bila menampakkan raut muka sebal bahkan sampai memarahinya. Kasihan anak kita yang sejatinya ingin merasakan kegembiraan bisa diantar orang tuanya, malah kena marah. Mungkin kita tidak sadar, dari sikap kita itu, bisa merusak mood nya seharian di sekolah.

Sekadar berbagi pengalaman, tahun lalu ketika masih bekerja kantoran di Surabaya, di tempat kerja yang mengharuskan saya masuk pagi (pukul 07.30 WIB) dan bila telat ada risiko pemotongan gaji, hampir setiap hari saya menghadapi risiko tersebut ketika mengantar anak saya yang kelas 1 SD ke sekolahnya.

Dengan jarak dari rumah ke sekolah yang lumayan jauh, 15-20  menit perjalanan motor dengan estimasi kemacetan pagi hari, tidak mudah untuk 'memaksa' anak agar berangkat pada jam sesuai yang saya kehendaki, agar saya juga bisa berangkat ke Surabaya dengan tenang. Terlebih, tidak hanya sang kakak, sang adik yang masih TK yang sekolahnya juga tidak jauh dari sang kakak, juga terkadang ingin berangkat ke sekolah bersamaan. Bilapun sang kakak pada jam 06 pagi sudah siap berangkat, ternyata sang adik yang lelet.

Seringkali, ketika sampai di sekolah sang kakak, jarum jam sudah menunjuk pukul 06.40 atau 06.45. Syukurlah dia tidak terlambat. Namun, di situlah saya terkadang mengalami "perang batin". Antara langsung berangkat ke tempat kerja dan membiarkan dia sendirian menelusuri gang masuk ke sekolahnya yang jaraknya dari jalan raya sekitar 50 meter an. Atau, ikut masuk ke gang tersebut, lantas memarkir kendaraan dan turun untuk mengantarnya ke sekolah yang berarti mengambil risiko telat datang ke kantor.  

Saya memilih yang kedua. Meskipun jam sudah menunjuk pukul 06.50 yang berarti saya akan terlambat ngantor karena tidak mungkin sampai ke Surabayaselama 45 menit atau sebelum pukul 07.30 dengan jalanan yang saking padatnya kendaraan sampai tidak kelihatan ruang kosong. 

Ah, kalaupun gaji dipotong beberapa belas ribu (per hari), itu tidak akan pernah sebanding dengan kenikmatan ketika melihat anak masuk ke gerbang sekolah setelah mencium tangan kita lantas berucap "ayah, hati-hati ya dijalan. Kakak sayang ayah" sembari tersenyum. Toh, keputusan tersebut tidak selalu membuat saya terlambat. Saya tidak setiap hari terlambat karena situasi di jalan tidak selalu macet parah.  

Meski pada akhirnya, di akhir tahun lalu, saya memutuskan untuk resign dan menjadi "manusia meredeka" yang bisa mengantar anak ke sekolah tanpa perlu kahwatir terlambat ngantor. Lha wong bekerjanya kini tanpa "jam kerja" Kecuali bila memang ada agenda bertemu orang yang tentu saja harus tepat waktu, tugas mengantar anak ke sekolah itu digantikan istri saya.

Semoga tulisan sederhana yang setengah berbagi pengalaman (untuk tidak menyebut curhat) ini bisa bermanfaat. Semoga tidak ada lagi kisah pilu yang terjadi seperti uraian di awal tulisan ini. Salam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun