Kejuaraan Asia Junior 2018 perorangan alias Asia Junior Championship (AJC) 2018 yang digelar di Jaya Raya Sport Hall Training Center, Jakarta, berakhir Minggu (22/7/2018) kemarin.
Bila diputar ulang, laga final kejuaraan yang diikuti pebulutangkis-pebulutangkis berusia di bawah 19 tahun se-Asia ini menyuguhkan beberapa kisah menarik.
Dari lima nomor final yang dipertandingkan, Indonesia berhasil meraih satu gelar yang dipersembahkan oleh pasangan ganda putri, Febriana Dwipuji Kusuma/Ribka Sugiarto. Di final, Febriana/Ribka mengalahkan ganda Malaysia, Pearly Koong Le Tan/Ee Wei Toh, 21-12, 21-16.
Selain satu gelar juara (medali emas), pemain-pemain Indonesia juga  meraih tiga medali perunggu untuk pemain yang berhasil melaju hingga semifinal Asia Junior Championship 2018. Karena tidak ada perebutan peringkat tiga, pemain yang masuk semifinal otomatis meraih perunggu. Tiga pemain Indonesia yang berhasil memperoleh perunggu yakni tunggal putra, Ikhsan Leonardo Imanuel Rumbay, pasangan ganda putra Pramudya Kusumawardana/Ghifari Anandaffa Prihardika dan pasangan ganda putri Agatha Imanuela/Siti Fadia Silva Ramadhanti.
Kabar ini seolah terdengar biasa. Maklum, dalam enam tahun terakhir penyelenggaraan AJC, Tiongkok memang selalu menjadi juara umum. Bahkan, di tahun 2015 dan 2016, Tiongkok sungguh "terlalu". Mereka menyapu bersih semua gelar dengan memenangi lima nomor final yang dipertandingkan: tunggal putra/putri, ganda putra/putri dan ganda campuran.
Nah, yang menarik dari final AJC 2018 adalah munculnya kejutan di tunggal putra. Sebuah kejutan besar. Tunggal putra India, Lakshya Sen tampil sebagai juara. Anak muda berusia 16 tahun ini jadi juara setelah mengalahkan pemain Thailand yang menjadi unggulan 1 dan juga juara Kejuaraan Dunia junior 2017, Kunlavut Vitidsarn. Sen yang jadi unggulan 6, menang dua game langsung, 21-19, 21-18.
Yang menarik, Lakshya Sen menjadi pemain India pertama yang menjadi juara tunggal putra di kejuaraan yang pertama kali digelar pada tahun 1997 silam. Itu prestasi hebat. Tak pelak, media-media India memberitakan kemenangan Lakshya Sen itu dalam porsi pemberitaan besar.
Sebuah kebetulankah?
Menurut saya tidak. Tidak ada yang kebetulan dengan raihan gelar juara. Sen yang di babak semifinl AJC 2018 mengalahkan pemain Indonesia, Ikhsan Leonardo Rumbay, memang punya potensi.
Pada AJC 2016 yang digelar di Bangkok, Thailand lalu, pemuda kelahiran 16 Agustus 2001 ini mampu masuk semifinal dan meraih perunggu. Selama tahun 2017 lalu, dia mengasah kemampuannya dengan menjadi juara di Eurasia Bulgaria Open 2017, India International Series 2017 dan runner up Tata Open India International.
Saya kurang tahu detail bagaimana cara federasi bulutangkis India dalam menjaring pemain-pemain muda berbakat lantas mengasahnya menjadi pemain potensial. Yang jelas, Lakshya Sen bukan tunggal putra pertama India yang mencuri perhatian dunia.
Sebelumnya, India sudah punya Srikanth Kidambi yang tahun 2017 lalu meraih lima gelar Sper Series dan juga peraih medal emas SEA Games 2016. Lalu ada Sameer Verma dan HS Prannoy yang masuk dalam top world 20. Â
Lakshya Sen mengikuti jejak Pusarla Sindhu yang menjadi tunggal putri pertama India yang menjadi juara di ajang AJC. Sindhu melakukannya di tahun 2012 sekaligus memupus dominasi pemain Tiongkok yang selalu juara beruntun sejak 2002. Dan kini, Sindhu telah menjelma menjadi salah satu tunggal putri top dunia.
Seperti Sindhu, bukan tidak mungkin, Laksya Sen juga bakal sukses di level senior, mengikuti jejak mantan juara AJC yang di era kekinian mulai menjadi "pemain utama" dalam persaingan tunggal putra dunia. Diantaranya ada Kento Momota (Jepang) yang pernah jadi juara AJC pada 2002 dan juga Shi Yuqi (Tiongkok) yang juara AJC 2014. Â
Serta ada nama Ardiansyah yang juara pada tahun 2002 dengan mengalahkan Soy Dwi Kuncoro di final. Sayangnya, tidak banyak jejak digital yang mengulas bagaimana kelanjutan kiprah Ardiansyah di level senior. Sekadar menyebut bahwa ia merupakan klub Tangkas Bogasari Jakarta.
Tampilnya Lakshya Sen menjadi juara juga mengusik kembali kerinduan kita pada hadirnya tunggal putra Indonesia yang punya prospek menjadi pemain besar. Sebagai badminton lover yang besar dengan menonton bulutangkis di televisi di era 90 an, saya rindu periode ketika kita punya tunggal putra top yang tumbuh di era hampir bersamaan seperti era nya Alan Budikusuma, Arby B Wiranata. Kemudian Hariyanto Arbi, Joko Supriyanto. Lalu Hendrawan dan Taufik Hidayat.
Ah, semoga kerinduan itu tidak sebatas seperti kerinduan fans klub sepak bola yang lebih suka mengenang kejayaan klubnya di masa lalu tetapi kini pasrah pada realita karena kondisinya sekarang sudah jauh berbeda.Â
Bila di sektor tunggal putri kita sudah punya Gregoria Mariska Tunjung, gadis berusia 18 tahun yang menjadi juara dunia junior 2017 dan kini mulai bersaing dengan pemain-pemain top dunia, semoga di tunggal putra segera bermunculan pemain-pemain masa depan yang bisa membangkitkan kembali kejayaan bulutangkis Indonesia di sektor ini. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H