Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Salam Tempel Lebaran, yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dilakukan

11 Juni 2018   10:42 Diperbarui: 11 Juni 2018   10:42 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah sampean sudah menyiapkan anggaran khusus untuk keperluan 'salam tempel'di hari Lebaran nanti? Atau bahkan, sampean sudah menyiapkan berlembar-lembar uang kertas baru yang masih mulus untuk dibagi-bagikan kepada keponakan-keponakan.

Entah siapa yang dulu mengawalinya, 'salam tempel' menjadi tradisi Lebaran yang bahkan yang dilakukan lintas generasi. Malah, tradisi ini dikemas dengan cara kekinian, sesuai perkembangan zaman.

Semisal zaman saya kecil dulu, seingat saya belum ada 'aturan' salam tempel menggunakan uang kertas baru. Namun kini, uang kertas baru ini seperti sebuah keharusan. Jadilah tempat penukaran uang baru di bank-bank, marak didatangi masyarakat sejak hari pertama bulan Ramadan lalu. Pun, jasa penukaran uang baru, mendadak bermunculan di pinggir jalan.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, salam tempel ketika Lebaran ini tidak hanya diberikan secara 'mentahan' berupa uang kertas. Kini tersedia amplop mini dengan beragam bentuk dan gambar lucu-lucu sehingga si penerima salam tempel akan semakin senang.

Salam tempel sebagai "latihan berbagi" kepada sesama

Menurut saya, tidak ada yang salah dengan tradisi salam tempel selama Lebaran. Malah, salam tempel ini bisa menjadi sarana "latihan untuk berbagi" dan menyenangkan orang lain.

Melalui tradisi salam tempel ini, kita diajari untuk secara sadar dan tanpa paksaan, mau menyisihkan duit yang kita miliki lantas diberikan kepada orang lain. Bukankah itu hebat.

Semasa kecil, saya merupakan 'penerima' salam tempel  ketika Lebaran. Dulu, saya seringkali disuruh ibu untuk mengantarkan hantaran berupa kue tradisional atau masakan ibu seperti lontong lodeh plus ketupat ke kerabat dan tetangga. Nah, dari hantaran itu, saya biasanya diberi salam tempel. Sebaliknya, ketika ada anak-anaknya tetangga dan kerabat yang mengantarkan hantaran ke ibu, mereka juga mendapatkan salam tempel. Makanya, dulu istilah salam tempel ini di tempat saya disebut "tinju" karena mungkin saling berbalas memberi itu.

Lantas, ketika saya sudah SD, salam tempel yang saya terima sudah berubah, tidak lagi menjadi pengantar hantaran. Saat keluarga besar berkumpul di rumah ibu, ataupun ketika unjung-unjung ke rumah kerabat, maka saudara-saudara yang sudah bekerja, akan membagi-bagikan salam tempel. Bagi anak kecil seperti saya kala itu, salam tempel tersebut menjadi salah satu momen paling menyenangkan ketika Lebaran.

Nah, siklus salam tempel itu terus berlanjut lintas generasi. Ketika saya dan saudara sepantaran sudah bekerja, ketika Lebaran tiba, tanpa ada paksaan, saya pun merasa mendapat giliran untuk berbagi salam tempel kepada anak-anak dari saudara yang dulunya rajin membagikan-bagikan "uang saku" ketika Lebaran. Jadi, ada siklus berbagi yang berlangsung turun-temurun.

Dari sudut pandang kemauan untuk berbagi dengan menyisihkan uang hasil gaji, tradisi salam tempel tentunya bagus. Bermula dari salam stempel yang dilakukan setahun sekali, siapa tahu akan muncul kepekaan untuk senang membantu orang lain di waktu-waktu lainnya, tidak perlu menunggu Lebaran.

Ini yang tidak boleh dilakukan dalam salam stempel

Namun, tidak selalu salam tempel ketika Lebaran ini berdampak bagus. Bila dilakukan secara salah, salam tempel juga bisa berakibat buruk pada tumbuh kembang anak sehingga seharusnya tidak boleh dilakukan.

Lalu, apa yang tidak boleh dilakukan saat salam tempel ketika Lebaran tiba? Yang tidak boleh adalah ketika kita entah secara sadar atau tanpa sadar, justru telah menanamkan karakter "pengemis" yang suka meminta-minta kepada anak-anak kita.

Mungkin secara tidak sadar, kita pernah berkata begini: "nak, itu lho ada om/tante datang, sana sungkem terus minta salam tempel". Atau malah secara sadar, kta mendorong anak agar 'menagih' salam tempel ketika berkunjung ke rumah kerabat ketika Lebaran. Semisal berucap "nanti kalau di rumah eyang ketemu om/tante A, jangan lupa minta salam tempel".

Mungkin niat kita cuma bercanda, tetapi bagi si anak, boleh jadi ucapan itu tidak dianggap bercanda. Sehingga, yang muncul dalam pikiran mereka, Lebaran adalah saatnya meminta-minta dan mengharapkan pemberian orang lain.

Bila sudah seperti itu, akan mengkhawatirkan bila mereka tumbuh besar sebagai pribadi yang lebih senang bila "tangannya berada di bawah" alias suka mengharapkan pemberian orang lain dibanding "tangan berada di atas" yang mau berbagi dengan orang lain.

Karenanya, jangan sesekali mengajari anak-anak kita untuk meminta-minta ketika Lebaran. Kalaupun mereka diberi dan menerima salam tempel, tanamkan kepada mereka untuk tidak lupa berucap terima kasih. Dan bila sudah sampai rumah hendaknya kita bekali mereka dengan pesan "nanti kalau kakak/adik ketika besar, juga harus senang berbagi ya". Bukankah ucapan orang tua itu doa yang bisa mengetuk "pintu-pintu" langit. Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun