Gelaran "pesta sepak bola" antar negara paling meriah sejagad, Piala Dunia, tinggal menghitung hari. Sebanyak 32 negara dari lima federasi sepak bola, AFC (Asia), CAF (Afrika), CONCACAF (Amerika Tengah dan Karibia), Conmebol (Amerika Selatan) dan UEFA (Eropa) tengah bersiap tampil.
Peluit awal mula alias kick off Piala Dunia 2018 yang berlangsung selama satu bulan penuh, akan dimulai saat tuan rumah Rusia menghadapi Arab Saudi pada 14 Juni petang waktu Rusia.
Di 10 hari pertama, Piala Dunia 2018 akan mempertandingkan babak penyisihan grup. Ke-32 tim tersebut terbagi dalam delapan (8) grup yang artinya setiap grup terdiri dari empat tim. Nantinya, hanya dua tim peringkat teratas dengan poin tertinggi dari tiap grup yang berhak lolos ke babak knock out 16 besar yang akan dimainkan pada 10 hari kedua. Lantas, hanya delapan tim terbaik lolos ke perempat final, kemudian semifinalis dan final yang akan digelar pada10 hari terakhir.
Dan, sebuah kebetulan ketika Piala Dunia 2018 datang, bulan puasa Ramadan akan pergi meninggalkan kita. Tidak seperti empat tahun lalu yang datangnya hampir berbarengan sehingga kita bisa mengucapan bersamaan, Marhaban Ya Ramadan dan "Marhaban Piala Dunia".
Nah, menyoal Ramadan dan Piala Dunia, ternyata keduanya punya analogi yang berkaitan. Terutama di malam-malam ketika Ramadan. Kita tahu, salah satu yang membedakan malam Ramadan dengan malam-malam di luar Ramadan adalah adanya sholat tarawih dilanjut sholat witir seusia sholat Isya. Di beberapa masjid dan musholla, setelah sholat tarawih, lantas disambung dengan membaca Al-Quran (tadaruz-an).
Dan, bukan rahasia lagi bila di awal puasa, ketika di 10 hari pertama, semua masjid/musholla penuh sesak oleh jamaah yang antusias melaksanakan Sholat Isya dan Tarawih. Di beberapa musholla di kampung saya bahkan sampai harus menggelar karpet/tikar di halaman musholla karena tidak mampu memuat jamaan yang kelewat banyak. Â
Bila dianalogikan dengan gelaran Piala Dunia, malam Ramadan di 10 hari pertama itu sama dengan babak penyisihan. Semua tim tampil bertanding. Ya, ada banyak orang yang tergerak untuk melangkahkan kaki ke masjid untuk mengisi malam Ramadan dengan sholat Isya dan Tarawih berjamaah. Termasuk saya dan sampean (Anda).
Kita tak peduli bila sore beberapa jam sebelumnya baru pulang kerja dan rasa capek belum hilang. Tak peduli bila masih ada pekerjaan kantor yang perlu diberesi di rumah. Tak peduli bila ada tayangan televisi favorit di jam tersebut. Semuanya tak dipedulikan demi bisa mengikuti Tarawih dan mendapatkan berkah di malam Ramadan.
Siklus Malam Ramadan dan Piala Dunia
Namun, seperti siklus Piala Dunia di mana tim-tim yang tampil di babak penyisihan bakal berguguran karena tidak semuanya bisa tampil ke babak 16 besar yang dimainkan pada 10 hari kedua, malam Ramadan pun juga begitu.
Di 10 hari kedua, perlahan, jumlah jamaah sholat Isya dan Tarawih mulai menyusut. Jumlah shof (barisan sholat) pun semakin mengalami kemajuan alias maju ke depan dekat imam karena jumlah jamaahnya semakin berkurang. Lalu, yang awalnya antusias ikut tadaruz-an, mulai memilih warung kopi berfasilitas free wi-fe demi bisa jalan-jalan di sosial media maupun download game kesukaan. Â
Dan, di 10 hari terakhir, oleh sebagian orang, malam Ramadan seolah semakin 'dianggap biasa'. Terlebih setelah tunjangan hari raya (THR) dari tempat kerja sudah ditransfer ke rekening. Pikiran pun sudah beralih fokus pada belanja kebutuhan Lebaran ataupun persiapan mudik ke kampung halaman. Jadilah malam-malam Ramadan tidak lagi diisi di masjid, tetapi berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan.
Hanya mereka yang benar-benar punya tekad kuat yang tidak akan merasa berat kaki dan berat hati untuk tetap konsisten mengisi malam-malam terakhir di bulan Ramadan. Mereka-lah yang bisa merasakan istimewanya malam-malam Ramadan dibandingkan malam-malam di luar Ramadan.
Bahkan, seperti halnya tim-tim di Piala Dunia yang berhasil lolos ke perempat final dan akan lebih termotivasi untuk tampil lebih baik demi bisa lolos ke babak yang lebih penting (semifinal, lalu ke final dan memburu gelar juara), mereka juga  berusaha untuk lebih rajin beribadah di 10 hari terakhir demi mendapatkan "gelar juara".
Ya, berbahagialah sampean yang bisa konsisten mengisi dan menikmati istimewanya malam Ramadan sejak malam pertama hingga 10 hari terakhir seperti sekarang. Sampean-lah yang pantas masuk 'nominasi' peraih kemuliaan malam yang lebih mulia dari seribu bulan (Lailatur Qadar) dan lantas kembali fitrah di "Hari Kemenangan".
Berbahagialah sampean yang bisa menghidupkan malam-malam Ramadan karena sadar, kita tidak pernah tahu apakah tahun depan kita masih diberi kesempatan untuk menikmati nikmatnya malam-malam Ramadan.
Semoga, tahun depan, saya dan sampean masih mendapatkan kesempatan berjumpa kembali Ramadan dengan niat dan tekad yang lebih kuat untuk "menghidupkan" malam-malam Ramadan. Salam. Â Â
Sebagai penyambung silaturrahmi, monggo mampir ke tulisan-tulisan saya lainnya, matur nuwun.
Belanja demi lebaran untuk apa?
Hadiah lebaran paling berkesan, tiket mudik dari kompasiana.
Cerita mudik sejauh 823 km yang nyaris tanpa tidur.
Tentang THR, kapan kita naik kelas?
Sahur on the road harusnya jadi momentum syukur, bukan sebaliknya.
Memungut hikmah dari mitos-mitos puasa yang tanpa sadar sering kita lakukan
Kau bilang sayang ramadan, ternyata....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI