Dan, di 10 hari terakhir, oleh sebagian orang, malam Ramadan seolah semakin 'dianggap biasa'. Terlebih setelah tunjangan hari raya (THR) dari tempat kerja sudah ditransfer ke rekening. Pikiran pun sudah beralih fokus pada belanja kebutuhan Lebaran ataupun persiapan mudik ke kampung halaman. Jadilah malam-malam Ramadan tidak lagi diisi di masjid, tetapi berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan.
Hanya mereka yang benar-benar punya tekad kuat yang tidak akan merasa berat kaki dan berat hati untuk tetap konsisten mengisi malam-malam terakhir di bulan Ramadan. Mereka-lah yang bisa merasakan istimewanya malam-malam Ramadan dibandingkan malam-malam di luar Ramadan.
Bahkan, seperti halnya tim-tim di Piala Dunia yang berhasil lolos ke perempat final dan akan lebih termotivasi untuk tampil lebih baik demi bisa lolos ke babak yang lebih penting (semifinal, lalu ke final dan memburu gelar juara), mereka juga  berusaha untuk lebih rajin beribadah di 10 hari terakhir demi mendapatkan "gelar juara".
Ya, berbahagialah sampean yang bisa konsisten mengisi dan menikmati istimewanya malam Ramadan sejak malam pertama hingga 10 hari terakhir seperti sekarang. Sampean-lah yang pantas masuk 'nominasi' peraih kemuliaan malam yang lebih mulia dari seribu bulan (Lailatur Qadar) dan lantas kembali fitrah di "Hari Kemenangan".
Berbahagialah sampean yang bisa menghidupkan malam-malam Ramadan karena sadar, kita tidak pernah tahu apakah tahun depan kita masih diberi kesempatan untuk menikmati nikmatnya malam-malam Ramadan.
Semoga, tahun depan, saya dan sampean masih mendapatkan kesempatan berjumpa kembali Ramadan dengan niat dan tekad yang lebih kuat untuk "menghidupkan" malam-malam Ramadan. Salam. Â Â
Sebagai penyambung silaturrahmi, monggo mampir ke tulisan-tulisan saya lainnya, matur nuwun.
Belanja demi lebaran untuk apa?
Hadiah lebaran paling berkesan, tiket mudik dari kompasiana.
Cerita mudik sejauh 823 km yang nyaris tanpa tidur.
Tentang THR, kapan kita naik kelas?