Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Tentang THR, Kapan Kita "Naik Kelas" dari Penerima Jadi Pemberi?

6 Juni 2018   17:01 Diperbarui: 8 Juni 2018   07:55 2472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://elshinta.com

Sejak awal pekan kemarin, beberapa grup WhatsApp yang kebetulan saya bergabung di dalamnya, riuh oleh pembahasan tentang Tunjangan Hari Raya (THR). Di grup WhatsApp keluarga besar, mulai berseliweran kiriman gambar meme lucu perihal THR yang intinya mengabarkan bahwa THR sudah "on the way" untuk dikirim. 

Sementara di grup WhatsApp yang sebagian besar anggotanya merupakan pekerja lepas (outsorching), lebih banyak berbagi berita resah tentang ketiadaan THR bagi mereka. Resah karena di sisi lain, berita tentang THR bagi mereka yang berstatus pegawai tetap ataupun abdi negara, juga banyak diberitakan di media.      

Framing konten di grup WhatsApp yang membahas tema THR ini sudah terjadwal muncul setiap tahun menjelang akhir Ramadan. Seperti tema terus yang berulang tetapi kita seolah tidak pernah bosan ketika kembali membahas hal itu. 

Dan memang, THR menjadi "hadiah" paling manis yang ditunggu oleh banyak orang menjelang akhir Ramadan. Mereka yang pasti mendapatkan THR dan mereka yang masih samar-samar apakah mendapatkan THR atau tidak, sama-sama antusias membahasnya. Mungkin hanya mereka yang tidak pernah "mengenal" THR yang tidak tertarik membicarakan hadiah satu ini.  

Saya pribadi sejak bekerja di perusahaan pada tahun 2005 silam, sudah merasakan hiruk pikuk THR dalam berbagai versi. Dari delapan tahun bekerja sebagai karyawan tetap yang tiap tahun mendapatkan transferan THR dari perusahaan, hingga menjadi karyawan lepas yang lebih marak pemberitaannya mengenai ada tidaknya THR.

Dan memang, sebagai hadiah, pemberian atau apalah namanya, THR itu menyenangkan. Siapa sih yang tidak senang mendapatkan pemasukan tambahan yang sifatnya bonus di luar gaji. Dan artinya, kita punya pemasukan doubel untuk menyambut hari Raya Idul Fitri.

Dulu, di awal-awal menerima THR, saya sempat berpikir konyol. Saya pernah membatin begini: "masa jelang Lebaran itu masa paling enak menjadi karyawan karena mendapatkan penghasilan tambahan, sementara bagi para juragan/bos menjadi masa paling susah karena harus mengeluarkan pengeluaran lebih dengan memberikan THR kepada karyawannya?"

Namun, belakangan, saya mengetahui bahwa pikiran konyol saya itu ternyata tidak tepat. Justru, dari cerita beberapa kawan saya yang sudah "naik kelas" dari dulunya seorang karyawan kini menjadi juragan yang memiliki beberapa karyawan sehingga menjelang Lebaran begini tidak lagi menerima THR tetapi memberikan THR, katanya nikmatnya lebih luar biasa.

Benarkah?

Saya belum merasakan hal itu (memberi THR) karena belum punya karyawan alias masih bekerja untuk orang lain meskipun dalam tataran lebih profesional karena berorientasi target "job per job" yang tidak terikat waktu kerja harian. Namun, saya mengamini bahwa bisa "naik kelas" dengan berperan sebagai "pemberi THR", pasti nikmatnya luar biasa.

Saya percaya, "tangan yang berada di atas" yang bisa berbagi dengan orang lain, akan merasakan kenikmatan lebih besar dari "tangan di bawah". Minimal, karena bisa berbagi, mereka lebih memiliki keluasan rezeki.

Sekadar berbagi pengalaman, sekira sebulan jelang Ramadan lalu, saya kebetulan mewawancara seorang dokter bergelar profesor yang menjadi pengajar dan juga menjabat sebagai bos sebuah rumah sakit ibu dan anak di Surabaya. Sebagian dari pekerjaan saya sebagai "pengisi naskah" majalah rumah sakit, membuat saya acapkali berkesempatan mewawancara dan mendengarkan cerita-cerita inspiratif dari dokter-dokter hebat. Kebetulan, tema majalahnya kali ini adalah "dokter entrepreneur".

Nah, dalam wawancara tersebut, ketika saya bertanya perihal tujuan yang ingin dicapai setelah ber-entrepreneur di bidang perumahsakitan, pak profesor menegaskan bahwa usahanya bukan sekadar bertujuan demi bertambah kaya alias berorientasi penghasilan. 

Sebaliknya, lewat jalan entrepreneur, dia mengaku merasakan ada nilai-nilai mulia. Salah satunya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain. Dia mencontohkan, salah satu rumah sakitnya di kawasan Kendangsari, kini memiliki kurang lebih 140 pegawai. Bahkan, dia bersama rekan-rekannya kini telah memiliki beberapa rumah sakit ibu dan anak di daerah lain yang tentunya bertambah jumlah karyawannya.

Di masa jelang berakhirnya Ramadan seperti ini, pak profesor merasakan kebahagiaan luar biasa bisa bertemu dengan semua karyawannya. "Minimal satu pegawai memiliki suami/istri dan anak yang mengharapkan sandaran hidupnya disini. Saya baru merasakan saat bulan puasa, ketika berbuka puasa bersama dan juga ada (pembagian) THR. Itu yang membuat saya dan teman-teman jadi lebih bersemangat. Jadi bukan hanya ingin kaya pendapatan, itu bukan lagi yang utama. Tetapi bagaimana membantu pemerintah dan masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan," ujarnya.

Jawaban itu terngiang dalam ingatan saya selain saya juga masih menyimpan rekaman hasil wawancaranya. Dan, seusai wawancara itu, muncul semangat saya untuk mulai menapaki jalan menjadi wirausaha. 

Pemikiran saya, bila seorang dokter yang super sibuk saja bisa 'merangkap profesi' menjadi entrepreneur, seorang penulis lepas seperti saya yang punya waktu lebih cair, tentunya juga bisa menapaki jalan ini.

Dalam urusan pemberian THR ini, saya yang tahun ini Alhamdulillah masih merasakan THR dari beberapa "juragan majalah" tempat saya bekerja, juga ingin merasakan nikmatnya "naik kelas". Ya, naik kelas dari yang selama ini menjadi penerima THR, berubah jadi pemberi THR kepada orang lain jelang akhir Ramadan. Semoga. Salam    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun