Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenangan Berburu Layangan di Sawah dan Jebakan Bingkisan Lebaran

3 Juni 2018   15:48 Diperbarui: 3 Juni 2018   15:58 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berburu layangan putus, salah satu kenangan paling seru semasa kecil di bulan Ramadan/Foto: Hipwee.com

Tidak mudah untuk mengajari anak berusia 6,8 tahun agar mau dan senang bisa berpuasa penuh. Malah semakin tidak mudah karena ada banyak godaan yang bisa membuatnya batal puasa. Mulai dari teman sepermainannya yang belum berpuasa ataupun puasa setengah hari, hingga keusilan adiknya yang sengaja "ngiming-ngiming" makan/minum di depan kakaknya.

Bila sudah seperti itu, perlu jurus jitu untuk membuatnya bertahan puasa hingga maghrib. Jurus jitu itu tak hanya iming-iming "hadiah" saat Lebaran bila puasanya penuh. Namun, juga memberinya kesempatan memainkan game favoritnya di gawai. Apalagi, sekolahnya sudah libur. Meski, saya tetap memberikan aturan durasi waktu main yang wajib ditaati. Dan siangnya, mengondisikan dia untuk tidur siang. Alhamdulillah, puasanya masih penuh hingga hari ini.  

Saya terkadang kasihan kepadanya. Dia tak punya banyak pilihan untuk mengisi waktu Ramadan seperti halnya saya kecil dulu. Kelak, ketika besar, dia tidak akan punya kenangan seru semasa kecil di waktu Ramadan yang bisa diingat. Tidak seperti ayahnya yang punya puluhan kenangan seru dan lucu.   

Kenangan dikejar-kejar pemilik sawah saat berburu layangan

Ya, ada banyak kenangan masa kecil di bulan Ramadan yang ketika kembali mengenangnya, spontan membuat saya tertawa sendiri. Dari mulai main petasan, main layangan hingga ngerjain orang di jalan.

Di kampung saya dulu, setiap Ramadan datang dan ketika pas musim kemarau, itu artinya waktunya musim layangan (layang-layang). Dulu di awal 90-an, kampung saya masih benar-benar lingkungan kampung. Rumah-rumah warga masih memiliki halaman yang luas. Masih ada banyak pepohonan di kanan kiri jalan, juga sungai yang airnya masih lumayan bening. Dan tentunya, masih banyak area persawahan yang kini sudah hilang berganti kawasan perumahan.

Nah, setiap musim layangan, anak-anak sepantaran saya yang kala itu masih berusia 10-12 an tahun, terbagi menjadi "dua kelompok". Yakni kelompok yang gemar menerbangkan dan mengadu layangannya. Beberapa teman saya yang jago "ngadu" layangan ada Omen Gandhi dan Wawan. Lalu, kelompok yang hanya suka berburu layangan putus hasil adu tarung layangan tersebut. Saya termasuk tipe yang lebih suka berburu layangan putus ketimbang mengadu layangan ini. Selain saya ada Didik, Yanto, juga Edi.

Setiap pulang sekolah, demi melihat ada dua atau tiga layangan mengangkasa, naluri pemburu saya dan juga beberapan teman, langsung muncul. Kami langsung berlarian menuju sawah, menunggu layang-layang putus. Kala itu, bisa mendapatkan layang-layang putus yang kemudian ditenteng di punggung, seolah menjadi kebanggaan luar biasa.

Dulu, di setiap petak sawah, dipisahkan oleh tanah pembatas yang di kampung saya disebut galengan. Ada galengan yang panjang, ada juga yang sekadar menjadi sekat dalam satu sawah. Bagi para pemburu layangan seperti kami, galengan inilah yang menjadi jalan untuk memburu layang-layang putus.

Teori dalam berburu layang-layang, siapa yang paling pandai menghitung kapan layang-layang akan putus dan berada di atas galengan yang lokasinya paling dekat, dia yang akan dapat. Namun, teori itu hanya tinggal teori ketika ada layang-layang putus. Yang sering, kami berbarengan berlarian di area sawah yang barusan di tanami padi ataupun yang akan dipanen. Sehingga, tidak jarang kami menginjak bahkan merusak tanaman padi tersebut.

Pernah di suatu siang, karena saking asyiknya memperhatikan layangan yang diadu, kami tidak melihat ada pemilik sawah tengah berada di sawahnya. Ketika ada layang-layang putus, kami pun berlarian mengejarnya. Tak peduli tanaman padinya terinjak. Demi melihat aksi ngawur kami, si pemilik sawah yang berada cukup jauh itu lantas berlari ke arah kami sembari mengacungkan sabit nya.

Didik, kawan saya yang kebetulan melihat petani itu berlari sambil mengacungkan sabitnya, langsung berteriak. "Wooi ono sing nduwe sawah ngamuk, ayo mlayu (ada yang punya sawah sedang marah, ayo kabur)," teriaknya sambil berlari.  

Saya dan teman-teman pun spontan ikut lari tunggang langgang, menuju rumah masing-masing. Siang itu, tidak hanya lelah bukan main, tapi juga takut dan kapok "berburu" lagi. Namun, itu hanya kapok sambal. Keesokan harinya ya berburu layangan lagi. Meski sebelum terjun ke sawah, kami tengak-tengok dulu apakah si pemilik sawah yang mengejar kami kemarin ada di sawah atau tidak.

Hebatnya, meski seringkali seharian berada di sawah yang membuat wajah kami gosong karena kepanasan dan baru kembali ke rumah sore, kami tetap kuat menjalankan puasa hingga adzan maghbrib.  

 Jebakan bingkisan Lebaran yang sukses besar

Bila siang hari kami menghabiskan waktu di sawah, malamnya kami merupakan "anak masjid/musholla". Usai sholat isya dan tarawih, kami tidak akan ke mana-mana, tetapi bergantian tadaruz-an (membaca Al-Quran). Meski, salah satu motivasi kami kala itu karena di musholla ada beraneka makanan/minuman takjil yang setiap hari dikirimi warga. Kapan lagi kami bisa makan/minum gratis seperti itu bila tidak di bulan Ramadan.

 Selama Ramadan, musholla adalah rumah kedua kami di malam hari. Usai tadarruz-an, kami tidak pulang, tetapi tidur di musholla. Mesi tanpa bantal dan tanpa selimut. Sekadar membawa sarung. Lantas bangun di waktu sahur untuk membangunkan warga makan sahur melalui suara toa musholla dan bunyi-bunyian seadanya.

Nah, ada momen yang paling saya ingat dari kebiasaan kami tidur di musholla ini. Yakni keusilan kami pada seminggu terakhir jelang Lebaran. Kebetulan, musholla kami berada persis di seberang jalan. Dan, kala itu, pada seminggu jelang lebaran, orang dari kampung-kampung seberang kampung kami, sedang ramai-ramainya berbelanja ke satu-satunya mall di kota. Dan satu-satu nya jalan untuk menuju kota ya di seberang musholla kami itu.

Dari situ, pikiran usil kami muncul. Kami menyiapkan "perangkap" di jalan. Kami menyiapkan kardus kecil yang diisi batu atau hanya kertas yang kemudian dibungkus tas plastik merk mall tersebut. Kami lalu menaruhnya di seberang jalan. Jadi kesannya, seolah-olah ada barang belanjaan orang yang terjatuh di jalan sehingga akan menarik orang untuk mengambilnya.

Untuk menyempurnakan jebakan itu, kami mematikan semua lampu musholla setelah tadarruz-an usai. Supaya kesannya di musholla tersebut memang tidak ada orang. Dan, beberapa menit kemudian, keusilan kami itupun berbuah tawa.

Ya, ketika pengguna jalan yang awalnya melajukan kencang motornya di jalan tersebut, lantas berbalik arah demi ingin mengambil bungkusan tersebut. Dan ketika mereka berhenti untuk mengambil bungkusan itu, kami yang awalnya menahan tawa di dalam musholla lantas berteriak kompak "ketipu...".

Tentu saja orang tersebut malu dan lantas berlalu. Pernah ada yang marah-marah. Bahkan, ada juga yang nekad mengambil bungkusan jebakan tersebut meskipun sudah tahu itu bohongan. Ah, bapak-bapak yang dulu terkena jebakan kami, mohon dimaafkan keusilan kami tersebut.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun