Sebagai manusia, apakah sampean (Anda) pernah berkonflik, lantas merasakan sakit hati ? Bila jawabannya ya, tidak ada yang salah dengan itu. Sebagai manusia yang punya pemikiran, opini, sikap yang berbeda-beda dalam menyikapi hal, wajar bila kemudian terjadi percikan konflik.
Yang salah adalah ketika kata manusiawi itu lantas menjadi pembenaran bahwa wajar untuk terus membiarkan diri diliputi permusuhan. Yang keliru adalah ketika lupa caranya untuk merecovery diri pascakonflik.
Ya, tidak sedikit manusia yang karena sakit hati atau rasa dendam berlebihan, sulit untuk berdamai dan memaafkan kesalahan orang lain. Atau lebih tepatnya enggan untuk memafkan diri sendiri. Mereka lebih memilih memelihara sakit hati dalam jangka waktu lama. Bahkan ada yang mewariskan dendam kesumat pada seseorang, Â hingga anak keturunannya. Â
Bila ada orang yang seperti itu, berarti dia tidak lebih bagus dari monyet. Bahkan, lebih buruk. Sebab, berdasarkan penelitian, monyet ternyata memiliki keinginan untuk berdamai setelah bertengkar dengan sejenisnya. Nah lho.
Ya, studi penelitian di University of Manchester seperti dilansir Xinhua beberapa waktu lalu mengungkapkan temuan mengejutkan perihal keterampilan sosial yang sangat canggih pada primata. Keterampilan sosial itu yakni cara mereka untuk mengatasi agresi dan persaingan yang disebabkan oleh hidup dalam kelompok besar.
Diketahui bahwa primata sosial dengan otak yang lebih besar seperti monyet, bisa lebih mudah mengatasi konflik. Monyet diketahui menggunakan kekuatan otak mereka untuk berdamai setelah bertengkar.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Ecology Perilaku di University of Manchester tersebut tertarik untuk menjelaskan mengapa ada hubungan yang kuat antara ukuran otak, ukuran kelompok dan perilaku pada primata. Hasilnya, primata berotak besar ternyata mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi tingginya tingkat konflik. Misalnya, mereka mampu memahami hubungan sosial antara individu, melacak hubungan sosial dan dapat mengembangkan strategi sosial
Tiga spesies dengan tingkat kemampuan berdamai dengan konflik yang paling  tinggi tersebut adalah babon chacma, Kapusin dan populasi hitam dan putih ruffed lemur. Spesies dengan tingkat terendah dari agonis adalah lemur coklat dan monyet howler hitam.
Ah, saya tidak mau berpanjang lebar lagi mengulas hasil penelitian tersebut. Karena memang, inti pesan tulisan ini sejatinya bukan pada kemampuan monyet untuk move on setelah berkonflik. Bukan itu. Cerita ini hanyalah pintu masuk. Bahwa, bila monyet saja ternyata memiliki strategi untuk berdamai setelah berkonflik, bagaimana kita? Seharusnya, sebagai makhluk yang lebih mulia, kita lebih mampu untuk berdamai dengan konflik dan juga lekas move on dari masalah dengan sesamanya. Bukannya malah memperpanjang sakit hati, benci dan sejenisnya.
Dan untuk kemampuan berdamai setelah berkonflik ini, sejatinya tidak memerlukan strategi khusus. Kuncinya sederhana, mau mengawali. Diawali dari kemampuan kita untuk memafkan diri sendiri, lantas mau membuka pintu maaf untuk orang lain. Sebab, apa untungnya memelihara benci. Benci pada seseorang itu melelahkan. Karena itu, mulailah memafkan. Sebab, hatimu berhak akan kedamaian. Â
Kalau kata band panutan yang tak hilang oleh waktu, Sheila on 7 di salah satu lirik lagunya "Lapang Dada" yang versi official video nya di youtube, sudah dilihat lebih dari 31 juta viewers itu, "kau harus bisa-bisa berlapang dada, kau harus bisa-bisa ambil hikmahnya". Ya, lapang dada. Terlebih di bulan Ramadan. Salam.