Apakah sampean (Anda) masih ingat dengan apa yang sampean lakukan di waktu sehari setelah menjalani prosesi wisuda di kampus dulu? Apakah ingin menikmati "hari-hari merdeka" setelah berjuang alot menaklukkan dosen pembimbing dan juga penguji skripsi?Â
Namanya menikmati tentu beda-beda caranya. Dari berwisata hingga sekadar tidur di rumah. Ataukah sampean sudah lansung "nge-gas" bikin lembar surat lamaran kerja beserta curriculum vitae sehingga bila sewaktu-waktu ada informasi lowongan pekerjaan sudah siap memasukkan lamaran kerja. Atau malah, sampean sudah merasakan dunia kerja bahkan sebelum diwisuda sehingga tidak ada kehidupan yang berbeda antara masa sebelum atau sesudah wisuda?
Minggu kemarin, saya bersama istri dan anak-anak mendampingi keponakan yang diwisuda menjadi sarjana pendidikan. Dari informasi yang saya terima, total ada kurang lebih 500 peserta yang diwisuda di prosesi wisuda ke XXI Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) ini. Tapi, bukan itu yang menarik buat saya.Â
Pandangan saya terhampar pada pedagang bunga-bunga yang berjajar (jadi inget wisuda zaman dulu, inget kampus, inget mantan eh...). Bedanya, kalau zaman saya di-wisuda pas awal 2005 dulu, bunga mawar yang dijual dikemas apa adanya. Kini, bunga dijual sepaket dengan boneka doraemon, minnions, hingga princess elsa dari fil frozen. Â
Ah ya, suasana yang juga berbeda dengan masa lalu, kini tidak banyak tukang foto yang berseliweran menawarkan jasa foto wisuda bareng keluarga dengan latar belakang buku-buku yang tertata rapi. Sebab, dari mereka yang diwisuda, banyak yang membawa "tukang foto pribadi" alias cukup difoto anggota keluarga dengan smartphone kamera.
                                                                          *****
Balik lagi ke pertanyaan di paragraf awal, usai prosesi wisuda selesai, usai foto-foto, lantas mengantar keponakan kembali ke rumahnya, diskusi seru itu pun dimulai di rumah. Kepada saya dan istri, orangtua dari keponakan pun mulai curhat tentang masa depan putrinya itu.Â
Tentang keinginan untuk segera bekerja, tentang peluang menjadi guru di sekolah yang baru dibangun, tentang adanya tawaran dari teman untuk memasukkan lamaran ke sebuah perusahaan, hingga tentang kebiasaan menghabiskan waktu di tempat tidur selama menunggu proses wisuda.
Sebagai orang yang diminta saran, saya sekadar memberi masukan agar menikmati dulu periode pasca wisuda. Ambil jeda beberapa hari, sembari tetap melakukan rutinitas yang selama ini dilakukan sambil membuka pintu dan pikiran. Bangun koneksi dengan kawan-kawan. Dan, juga tidak ada salahnya menyiapkan surat lamaran pekerjaan dan membuat profil diri untuk persiapan (bila ingin bekerja kantoran atau di perusahaan.
Sebenarnya, keponakan saya ini mulai bisa mandiri dan menghidupi dirinya sendiri dengan menjalani passion hidupnya, yakni mengajar. Dia mulai mengajar anak-anak SD di Balai Desa, dua kali dalam sepekan. Dia juga mengajar di tempat bimbingan belajar. Memang, pemasukan yang dia terima belum bisa dibilang banyak. Namun, apa sih yang lebih keren selain menjalani passion dan mendapat pemsukan (duit).
Nah, itu yang coba saya garis bawahi. Bahwa, seusai wisuda, tentu saja semua akan berpikir bagaimana memaknai wisuda itu. Banyak yang bilang wisuda itu bukan akhir, tetapi awal dari periode yang lebih berat. Banyak orang yang juga cenderung memaknainya dengan mencari pekerjaan, melamar pekerjaan yang tentunya bergaji layak.
Namun, yang jauh lebih penting dari itu, ambillah jeda terlebih dulu. Susun "srategi perangmu". Tulis daftar passionmu, kelebihanmu dan coba maksimalkan itu. Terlebih, di era kekinian, ada banyak orang yang tidak lagi memilih untuk bekerja di kantor/perusahaan. Ada banyak orang dengan skill di bidang tertentu (yang awalnya biasa lantas terus berproses sehingga kemudian menonjol) yang lebih suka bekerja tanpa batasan ruang dan jam kerja atau bahkan tidak perlu repot memasukkan lamaran pekerjaan.
Yang perlu disadari, bekerja itu tidak melulu dimaknai dengan berangkat ke kantor di hari-hari kerja. Bekerja juga tidak selalu dimaknai berangkat pagi pulang sore/malam. Meski, banyak orang yang terlanjur memaknai "bekerja" sebagai rutinitas yang begitu sehingga mereka yang tidak melakoni rutinitas itu seolah-olah dianggap tidak bekerja.Â
Saya juga pernah melalui fase-fase rutin auto seperti itu. Lantas, saya menemukan dan menjalani fase baru. Bahwa, bekerja bukan melulu tentang tempat kerja dan jam kerja yang kaku.
Karena, bekerja itu soal rasa. Ia bukan tentang duit saja. Ada yang jauh lebih bermakna. Sebab, kalau hanya soal duit, bila kau punya kemampuan yang dicari banyak orang, bila kau punya sikap yang disukai banyak orang, Insya Alla duit yang akan menghampirimu.
Ah ya, kepada keponakan saya dan juga anak-anak muda yang baru saja diwisuda, mari belajar dari situasi yang dihadapi pelatih sepak bola yang baru saja memenangkan pertandingan penting dan akan menghadapi pertandingan yang jauh lebih penting dan bahkan lebih berat.Â
Saya memang antusias membaca komentar dari pelatih-pelatih yang kerapkali menghadapi situasi seperti ini. Dan, kalimat yang saya sukai dari mereka diantaranya begini.Â
"Untuk saat ini, kami ingin menikmati kemenangan hebat ini bersama para fans. Baru, kami akan mengevaluasi dan berpikir bagaimana cara menghadapi pertandingan penting pekan depan".Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H