Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan featured

Belajar dari "Hidup Panjang" Harian Kompas

6 Juli 2017   11:05 Diperbarui: 28 Juni 2020   07:05 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Juni lalu, Harian Kompas genap berusia 52 tahun. Bagi sebagian orang, momen ulang tahun sebuah media yang saban tahun diperingati, boleh jadi sekadar penambahan hitungan angka sehingga berkurang kesakralannnya. Bagi saya, ulang tahun Kompas kali ini memiliki pesan lebih kuat bila dibandingkan momen serupa di tahun-tahun sebelumnya. Kenapa?

Pertama, karena sebagai media cetak, Harian Kompas mampu tetap eksis di tengah kepungan media-media online yang terus bertumbuh (entah berapa jumlahnya bila diakumulasi se-Indonesia) dan tidak jarang menjadi penyebab kematian media cetak. Belum lagi kehadiran media aggregator news yang dengan mudahnya nongol di layar ponsel pintar kita dengan berita-berita yang menjual judul menggoda.

Bahkan, Harian Kompas tidak sekadar berumur panjang, tetapi juga mampu hidup panjang. Tentu saja, konteks berumur panjang berbeda dengan hidup panjang. Bila umur panjang berkonotasi sekadar tua, tetapi hidup panjang bermakna lebih. Sebab, buat apa berumur panjang bila ternyata tidak mampu "hidup". Dalam artian mampu menjadi pegangan bagi banyak orang, serta bisa memengaruhi pembacanya ke arah positif lewat pemberitaannya. Ya, buat apa berumur panjang bila sekadar ada.    

Kedua, ulang tahun Harian Kompas yang lebih dari setengah abad kali ini, hadir di tengah cerita memilukan nasib beberapa 'kawan-kawan' nya. Kawan-kawan yang saya maksud di sini adalah sesama media cetak yang mulai megap-megap (baca terancam gulung tikar) menghadapi godaan bisnis media digital yang dianggap lebih menggoda dibanding bisnis media cetak. Ada banyak berita berseliweran di media sosial yang mengabarkan tentang nasib media cetak dan pekerjanya yang mendadak ditiada pekerjakan.  

Fenomena beberapa media cetak yang mulai mendekati bahkan ada yang sampai pada kematian nya tersebut nyatanya tidak hanya terjadi di negeri ini. Di luar negeri juga serupa. Beberapa pekan lalu, saya ngobrol dengan salah seorang pegiat media sosial yang juga pendiri salah satu website pemberi apa saja kabar bagus dari Indonesia.

Pria yang tengah laris diundang menjadi pembicara tentang urgensi media sosial ini bercerita, dalam kunjungan nya ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, ada pemandangan berbeda dibanding kedatangannya ke sana beberapa tahun lalu. Perbedaan itu ada pada oplah salah satu koran ternama di negeri adikuasa itu. Bila beberapa tahun lalu, setiap pagi, tumpukan koran terkenal itu begitu tinggi, kini telah jauh berkurang. Menurutnya, pengurangan jumlah oplah itu karena koran tersebut mulai memindahkan core bisnis nya ke e-paper. Dan itu, menjadi salah penanda bahwa minat warga AS terhadap media cetak, kini mulai menurun. Beralih ke platform media e-paper.

Saya tidak mau berpanjang kali lebar bercerita tentang nasib koran di AS itu. Saya lebih tertarik menulis perihal nasib 'kawan'kawan' nya Harian Kompas di dalam negeri. Tepatnya, mengapa kawan-kawan nya Kompas itu tidak mampu berumur panjang dan juga hidup dalam jangka waktu lama. Jawaban yang acapkali muncul adalah karena merugi sebab oplah koran yang lesu karena tak punya pangsa pembaca tetap serta  pemasukan minim dari iklan yang menjadi nafas utama bisnis media cetak.

Bila diolah, pertanyaan ini tentunya identik dengan mengapa Harian Kompas bisa berumur panjang hingga sekarang. Menurut saya yang kebetulan dulu pernah mencicipi bekerja di dunia media cetak selama beberapa tahun, ada beberapa faktor yang membuat Harian Kompas bisa berumur dan hidup panjang. Dan kita bisa belajar dari faktor-faktor itu. Apa saja?

Kekuatan Kompas

Bisa berumur sebegitu panjang, Harian Kompas tentunya punya kekuatan. Menurut saya, kekuatan Kompas ada pada kesederhanaan mereka dalam membingkai berita-beritanya. Berita-berita Kompas itu sederhana, tidak bombatis. Sederhana tapi penuh dengan data-data dan juga makna. Berita Kompas tidak menjual sensasi. Tapi, menampilkan berita aktual secara apa adanya berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik.

Berita-berita Harian Kompas juga tidak memihak golongan tertentu. Kalaupun memihak, yang diberpihaki Harian Kompas adalah rakyat sesuai motto "amanat hati nurani rakyat". Bila mengutip kutipan ucapannya pak Jakob Oetama, Harian Kompas itu jauh dari sikap menggurui karena penulisnya ingin berbagi inspirasi sehingga bisa dipetik dan bermanfaat bagi pembacanya.  


Terpercaya Karena Layak Dipercaya

Rahasia umur panjang Kompas tidak hanya pada kesederhanaan dalam menampilkan beritanya. Tapi juga kebenaran yang disampaikan. Berita Kompas itu terpercaya karena tidak mengada-ada, tidak sekadar menampilkan narasumber tertentu untuk menguatkan opini yang hendak disampaikan kepada pembaca. Tengok saja narasumber yang dipilih Kompas dalam mengulas isu-isu penting skala nasional. 

Termasuk juga  penulisan yang benar, penggunaan huruf besar dan kecil, spasi dan penggunaan kosakata yang baku menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ada lho media yang dalam penulisan kata masih belum sesuai kata baku. Meski mungkin hanya berbeda huruf semisal sekadar dan sekedar, tetapi itu 'aturan penulisan'. Dan, sebuah media tentunya wajib mengikuti peraturan itu. 

Atas dasar itulah, tidak mengherankan bila Kompas menjadi referensi utama ketika muncul isu-isu skala nasional yang menjadi pusat perhatian khalayak. Singkat kata, bila ada berita dengan tema dimuat di Kompas dan media lain, ada banyak orang yang cenderung lebih percaya dengan apa yang disampaikan Kompas. Dan itu membuat Kompas memiliki posisi dan daya tawar kuat di mata pembacanya sehingga mereka loyal membaca Kompas. Harian Kompas dengan kekuatannya telah menemukan segmentasi pembacanya sendiri. Itu yang membuat Kompas tidak mudah ditinggalkan pembacanya.

Saya pribadi meyakini, sebuah media besar seperti Kompas punya saringan (filter) yang bertingkat sebelum memuat berita. Dari wartawan yang bertugas di lokasi, mereka sudah punya standar menulis berita seperti apa, lalu masuk ke editor, ke rapat redaksi hingga diputuskan menjadi berita. Karenanya, tidak mungkin berita bombastis yang sekadar menjual sensasi bisa muncul di Kompas.

Bersedia Mengoreksi (Bila Ada) Kekeliruan

Namun, meski sudah melalui saringan bertingkat, acapkali masih muncul kekeliruan. Karena memang, Harian Kompas sebagai produk olah pikir manusia, tidak selalu sempurna. Acapkali masih muncul kesalahan penulisan keterangan (caption) foto. Toh, dalam hal ini, Kompas memilih untuk mengoreksi secara terbuka dengan menyampaikan pemberitahuan/permintaan maaf di edisi esok harinya. Padahal, tidak mudah bagi sebuah media untuk melakukan hal seperti itu karena mungkin khawatir dicap tidak akurat atau apa lha.

Seorang kawan pernah bercerita, dia diprotes oleh narasumber karena keterangan foto dari berita yang dimuat di korannya ternyata keliru. Esok harinya, tidak ada pemberitahuan apapun perihal berita itu. Seolah berpikir waktu akan membuat pembaca lupa dengan sendirinya. Ah. (*Dirgahayu, Sugeng tanggap warsa Harian Kompas).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun